Jumat, 19 September 2008

Sertifikasi Menjadikan Dehumanisasi Guru

Sistem pendidikan nasional saat ini mulai menjebak guru. Guru hanya sebagai obyek yang terus dipersoalkan dalam pendidikan tanpa ada solusi yang memuaskan. Saat ini para guru sedang dibelenggu kemiskinan intelektual, emosional, kultural, spiritual, dan finansial. Akibatnya guru sibuk dengan tugas sampingan dan tidak cukup waktu lagi untuk membaca, menulis, mendengarkan siaran berita dari radio, televisi, akses internet, merefleksi, dan belajar untuk meningkatkan diri. Di samping itu juga, guru terbebani dengan urusan administrasi sehingga cenderung berlaku kasar, mengumpat yang pada akhirnya hilang identitas dan integritasnya. Panggilan dan pekerjaan utamanya sebagai seorang pendidik, pengajar, pelatih untuk peserta didik terabaikan bahkan dilupakan.

Sistem dan aturan dalam pendidikan nasional kita hanya mendatang dehumanisasi bagi guru. Dalam diri para guru ditanamkan budaya takut. Guru tak sanggup membantah walaupun ia tahu sistem itu sangat tidak manusiawi. Guru hanya mengikuti apa yang dimaui penguasa. Mereka terposisikan sebagai perangkat dalam sistem dan takut membuat pembaruan atau perubahan demi masa depan peserta didik yang lebih baik. Guru dilatih untuk menghargai pengukuhan aturan sistem pendidikan di tanah air ini.

Ketakutan guru itu dapat terbaca secara multidimensional. Mereka takut terhadap sistem dengan segala perangkatnya. Mereka takut akan bentuk evaluasi terhadap murid yang diselenggarakan oleh badan penguasa. Juga mereka takut akan pengakuan atas profesionalnya berupa program sertifikasi maupun berupa penilaian kerja yang buruk dari kepala sekolah. Mereka hanya mampu menerima dan menjalaninya. Dan itu semua sangat menghambat guru menjadikan dirinya secara utuh demi pendidikan, pengajaran dan latihan bagi generasi muda bangsa ini.

Ketakutan itu semakin dalam ketika pemerintah menghendaki agar guru dijadikan suatu profesi. Problem profesional guru belum selesai digagas secara matang, tetapi justru program sertifikasi (portofolio) mulai diberlakukan. Bagaimana mungkin menggunakan berkas-berkas yang dikumpulkan untuk menilai kompetensi seorang guru? Apa benar dengan berkas-berkas itu dinilai layak dan menyandang sebutan profesional? Berkas yang mendapat nilai kurang maka guru harus mengikuti pendidikan kilat (diklat). Apa betul dengan mengikuti diklat (dengan sistem karbit itu) dapat menjadikan seorang guru profesional? Kalau mau jujur setelah seorang guru mengikuti diklat sertifikasi pertama-tama yang ia katakan, yaitu cape, lelah, jenuh, dan bosan. Dan apakah materi yang dilatih dalam hitungan jam dan hari itu membuat dia terampil menjadi pendidik, pengajar dan pelatih yang handal bagi peserta didik? Ternyata sertifikasi guru telah menimbulkan berbagai ekses buruk seperti manipulasi data yang sangat menodai profesi seorang guru. Sungguh dehumanisasi bagi para guru. Profesi guru itu merupakan suatu panggilan. Memang dewasa ini pergumulan dan perjuangan guru akan kesejahteraan hidup amatlah berat. Bahkan di sinilah yang membedakan guru sejati dari dan bagaimana dengan mereka yang memaknai profesi keguruannya. Yang satu menjalani keguruannya sebagai panggilan hidup dan yang lain hanya untuk mencari nafkah. Guru bukanlah hanya sekadar profesi atau tukang.

Dewasa ini dehumanisasi merupakan permasalahan yang sangat fundamental dalam pendidikan kita. Pendidikan saat ini tidak lagi menghormati dan menghargai martabat manusia dan segala hak asasinya. Realitasnya, dalam proses pendidikan kita mengamati peserta didik tidak tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subyek. Peserta didik dijadikan obyek demi ideologi, politik, industri, dan bisnis. Hal itu nampak dalam pembelajaran, yaitu apa yang diajarkan jauh lebih penting daripada siapa yang diajar. Dalam proses pembelajaran itu prestasi guru hanya diukur dari nilai peserta didik. Sangat disayangkan, ya?

Sebaik apapun sertifikasi profesionalitas guru hanya tetap sebagai suatu impian dan utopia. Bahkan istilah yang lebih tragis lagi, yaitu profesioalitas guru hanyalah fatamorgana saja. Hal ini karena sistem yang berlaku sekarang ini syarat dengan berbagai kepentingan dari berbagai pihak. Guru tidak diposisikan secara otonomi, bebas dan merdeka. Selama ruang gerak guru selalu dibatasi dan disumbat, kita tidak usaha terlalu muluk-muluk mengharapkan guru menjadi profesional dan memperbaiki mutu pendidikan di tanah air ini. Selama masih ada dehumanisasi kepada guru mutu pendidikan di tanah air ini sulit diwujudkan.
Br. Gerardus Weruin, MTB guru SMA St. Paulus Pontianak. (Minggu, 24 Februari 2008). Selengkapnya...