Jumat, 17 Oktober 2008

Perpustakaan dan Budaya Membaca

Perpustakaan merupakan gudang ilmu. Hampir setiap sekolah pada umumnya memiliki perpustakaan. Namun apakah perpustakaan dapat digunakan sesuai dengan fungsinya? Ada siswa mengunjungi perpustakaan untuk meminjam buku, membaca, mengerjakan tugas dari guru. Akan tetapi, ada siswa yang datang ke perpustakaan tidak tahu apa yang dibuatnya. Ada yang hanya sekadar ngobrol, duduk istirahat dan makan-makan, ikut-ikutan teman bermain, bahkan ada yang memakainya untuk pacaran.


Di kalangan siswa belum memiliki sikap untuk mencintai perpustakaan. Mengapa demikian? Ada sejumlah alasan yang kita jumpai antara lain : guru tidak mengarahkannya, petugas di perpustakaan yang kurang simpatik, kekurangan buku, ruangan kecil dan sumpek, dan sebagainya. Akan tetapi, di sana terdapat suatu kebiasan yang buruk, yaitu malas dan merasa rugi karena membaca tidak menghasilkan apa-apa. Kita hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan hasilnya sia-sia. Benarkah begitu?


Padahal kalau kita berpikir agak kritis, ada banyak manfaat membaca. Dengan membaca seseorang dapat menerima informasi, memperdalam pengetahuan, dan meningkatkan kecerdasan. Pemahaman akan kehidupan pun semakin tajam karena membaca dapat membuka cakrawala untuk berpikir kritis dan sistematis. Kita dapat mengenal pengarangnya dan memahami isi atau makna yang tertulis dalam buku. Membaca merupakan kegiatan sederhana yang dapat dilakukan siapa saja dengan modal meluangkan waktu, tetapi menuai begitu banyak keuntungan yang diperoleh. Jika kegiatan sederhana ini dilakukan sejak kecil dia akan membentuk suatu kebiasaan dan sikap dalam hidup pada orang tersebut.


Era globalisasi ini telah menciptakan iklim persaingan menuntut kita mencari ilmu yang banyak. Karena itu reading society dan learning society diperlukan untuk menciptakan kompetisi yang sehat, sekaligus membentuk suatu komunitas yang gemar membaca dan belajar. Melalui membaca dan belajar, komunitas sekolah dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dicita-citakan dapat terwujud.


Salah satu indikator penentu mutu pendidikan di suatu negara, yaitu tinggi atau rendahnya minat baca di kalangan peserta didiknya. Semakin tinggi minat membaca peserta didik semakin bersikap kritis. Sebaliknya, semakin rendahnya kebiasaan dan kemampuan membaca berpotensi menurunkan angka melek huruf. Hal ini akan mengakibatkan rendahnya minat baca di kalangan peserta didik kita. Jika para pendidik dan pendidikan tidak memperhatikan kegiatan membaca maka kualitas pendidikan dan sumber daya manusianya kurang dapat diandalkan. Mutu pendidikan dan kualitas pendidikan dari tahun ke tahun tetap menjadi pertanyaan yang tidak habis-habis. Untuk menjadikan kegiatan sederhana itu menjadi suatu kebiasaan bahkan membentuk sikap dan minat membaca tidak mudah. Maka perlu kerja sama setiap elemen baik di rumah, sekolah maupun masyarakat.


Sebagian besar keluarga telah masuk dalam budaya nonton (watching-culture). Budaya nonton menjadikan seseorang makhluk individual. Ia mengingkari bahwa manusia pada dasarnya makhluk sosial (homo socius) yang membutuhkan orang lain. Kebiasaan menonton yang tidak terkontrol dan berlebihan akan membentuk manusia individualistik dan bersikap amoral. Hal ini menjadi ancaman sekaligus peluang bagi keluarga-keluarga untuk segera menggantinya dengan budaya membaca (reading-culture).

Di rumah-rumah kita bukan saja hanya televisi diberi ruang yang bagus, tetapi juga disiapkan ruang untuk buku-buku (perpustakaan). Cicero, filsuf dan politisi Roma (106-43 sM) mengatakan “A room without books is like a body without soul”. Suatu ruangan tanpa buku ibarat badan tanpa jiwa. Buku dan bahan bacaan adalah roh keluarga. Keluarga yang hanya menonton televisi memperoleh hiburan dangkal. Akan tetapi, suatu keluarga akan lebih hidup dengan dan melalui membaca. Bacaan dapat memperkaya intelektual sekaligus menghibur. Hal itu seperti dikatakan Horatius, penyair Romawi kuno bahwa dalam membaca termaktub makna dulce dan utile (yang indah dan berfaedah). Tidak mudah menjadikan budaya membaca dalam keluarga karena berbentur dengan berbagai hal. Namun, orang tua menjadi kunci keberhasilan dan berperan penting dalam membiasakan anggota keluarga untuk membaca.


Langkah berikut ini dapat membantu orang tua menciptakan budaya membaca dalam keluarga. Pertama, menjadi contoh dalam membaca. Orang tua menyukai buku-buku, berlangganan koran, majalah dan membaca-menikmati setiap hari. Lama-kelamaan kebiasaan itu tertular kepada anggota keluarga. Kedua, orang tua menyiapkan ruang atau tempat khusus untuk buku, majalah dan sebagainya. Orang tua mengkondisikan anggota keluarga untuk mencintai buku sebagai bahan bacaan, menyukainya, memetik hikmah dan hiburan segar dari bacaan itu. Ketiga, membaca bersama. Menentukan waktu untuk membaca bersama dalam keluarga. Setiap anggota keluarga sibuk dengan bacaannya masing-masing. Di lain kesempatan ada buku yang dapat dibaca bersama, dinikmati bersama, dan didiskusikan. Cara ini dapat membangun kedekatan satu sama lain dan tali pengikat keluarga. Keempat, hadialah dengan buku. Setiap anggota keluarga yang berulang tahun atau merayakan pesta tertentu diberi hadiah berupa buku. Hadiah sederhana itu akan membuatnya menyukai dan mencintai buku. Kelima, menentukan waktu untuk menonton televisi. Orang tua bersama anak menyepakati jam-jam dan mata acara menonton televisi. Orang tua harus mengontrol anak-anak bila mereka sedang menonton televisi. Kiranya dengan langkah itu keluarga pun turun berpartisipasi dalam menanamkan minat membaca pada peserta didik kita. Karena di keluarga anak pertama dan terutama mendapatkan pengalaman itu dari orang tuanya.


Begitu pula budaya membaca di sekolah. Hampir setiap sekolah mempunyai perpustakaan. Namun, sejauh mana perpustakaan memberi andil terhadap budaya membaca? Terlepas dari kekurangan dan keterbatasan perpustakaan sejauh mana para guru dan petugas perpustakaan menciptakan suasana yang kondusif untuk membaca? Apakah guru-guru juga memanfaatkan perpustakaan sebagai gudang ilmu pengetahuan dan bukulah jendela dunia? Yang jelas di sekolah sendiri belum memaksimalkan perpustakaan. Hal lain bahwa guru kurang memberi contoh dalam membaca, peserta didik kurang (tidak) dibekali teknik-teknik membaca sehingga terkesan monoton yang membuat mereka bosan dan malas. Selain itu, guru kurang memberi semangat dan motivasi kepada peserta didik untuk meraih kesuksesan hidup lewat banyak membaca. Untuk itu, para guru diharapkan memberi contoh dan membiasakan peserta didik untuk membaca terlebih di perpustakaan.


Lingkungan masyarakat turut berintervensi atas budaya membaca. Lingkungan masyarakat menjadi tempat sosial terjadi saling mempengaruhi gaya dan pola hidup. Di lingkungan masyarakat kita mudah kita menjumpai perpustakaan kota, perpustakaan keliling, dan taman bacaan. Di samping itu juga, ada banyak toko buku di kota kita. Fasilitas sudah mendukung namun buku dan membaca belum menjadi suatu kebutuhan hidup. Jika diurutkan barangkali ia menjadi yang ke sekian. Tidak ada cara lain menciptakan budaya membaca selain mengambil buku dan membaca. Walaupun ada sarana dan fasilitas tersedia lengkap, tetapi jika tidak ada kemauan orang untuk membaca maka mustahil mengharapkan ada budaya membaca di negeri ini. Maka persoalannya pada pribadi masing-masing, apakah membaca menjadi suatu kebutuhan hidup atau sekadar sisa waktu? Dengan demikian, setiap pribadi dalam masyarakat akan saling berpengaruh dalam pola dan gaya hidup di era globalisasi ini.


Perpustakaan yang megah dan lengkap fasilitasnya diharapkan mampu membangkitkan budaya membaca terlebih bagi guru-guru dan peserta didik. Kita tidak hanya mengharapkan budaya membaca itu dari keluarga dan masyarakat. Budaya membaca itu sebuah mata rantai yang dimulai dari keluarga (rumah) diteruskan di sekolah dan akhirnya dipraktikan di masyarakat atau keluarga lagi. Jika salah satu atau ketiga mata rantai itu macet maka sekarang tugas kita memperbaikinya. Mengingat era globalisasi ini penuh kompetisi hidup. Bila tidak membaca kita menjadi pribadi yang kurang bermutu dan kurang dalam pengetahuan, informasi dan sebagainya. Akhirnya kita selalu kalah dan menderita miskin dalam segala bidang kehidupan. Awalilah hidup dengan membaca, maka lama-kelamaan menjadi suatu budaya membaca baik di perpustakaan maupun di tempat lain. Isilah hidup ini dengan membaca dan membaca. Semoga.

Gerardus Weruin, MTB guru SMA Santo Paulus Pontianak.(pontianak, 5 Januari 2008).

Selengkapnya...

Dongeng : Menanamkan Empati pada Anak

Pendidikan di sekolah kita akhir-akhir ini lebih menekankan pada kognitif atau ilmu pengetahuan. Walaupun disadari bahwa manusia (siswa) tidak hanya memiliki kecerdasan inteligensi, tetapi memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Dalam proses pendidikan kecerdasan kognitif masih lebih diutamakan. Akibatnya kecerdasan emosional dan spiritualitas terabaikan. Penanaman kecerdasan kognitif pun tidak pada proses yang sebenarnya melainkan dengan cara-cara karbit atau instan. Siswa dibiasakan dengan menghafal dan menebak jawaban yang benar. Mereka tidak dibekali dengan cara-cara berpikir yang baik dalam menyelesaikan suatu problem. Bahkan jarang menemukan siswa yang menggunakan cara berpikir yang logis dan sistematis. Pengetahuan anak hanya sebuah karbitan belaka.


Dewasa ini guru dan orang tua mengeluh bahwa anak yang cukup cerdas namun kurang peka terhadap perasaan orang lain. Keluhan seperti itu wajar karena anak-anak dikondisikan berinteraksi serba kompetitif dalam hal kognitif (baca juara-rangking). Hal itu berpengaruh secara signifikan terhadap problem-problem emosional dan ketidakmampuan anak dalam berempati. Lantas, apakah dengan demikian anak yang salah, sekolah yang salah menanamkannya, ataukah orang tua dan lingkungannya? Cukup disadari bahwa kita belum memperhatikan kecerdasan emosional dan sosial-spiritual. Kita masih mengagungkan kecerdasan kognitif pada anak sehingga kecerdasan yang lain menjadi korban.


Kita dapat memaklumi bahwa sebagian besar institusi sekolah formal telah mengikuti arus sistem pendidikan itu. Maka patut kita refleksikan bahwa tidaklah bijaksana sekolah formal tenggelam dalam arus demi prestasi di tengah kompetisi dengan sekolah lain. Hal mendasar yang harus diperhatikan bahwa usia tertentu anak-anak merupakan episode penting dan kritis bukan hanya dalam membentuk kecerdasan kognitif melainkan kecerdasan emosional, sosial atau spiritual. Ketiga aspek tersebut sangat vital demi kelangsungan perkembangan hidup anak menuju kedewasaan dan kematangan sebagai pribadi. Aspek-aspek tersebut harus mendapat perhatian yang proporsional sehingga tidak membentuk kepribadian yang pincang.


Handal dalam kecerdasan kognitif itu penting untuk menopang kompetensi dirinya secara individual. Di sisi lain, handal dalam kecerdasan emosional, sosial, spiritual pun sangat penting perannya bagi anak. Dengan kecerdasan itu anak mampu mengembangkan kemampuan berempati dengan sesama dalam hidupnya. Kemampuan berempati adalah anak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, termasuk mampu untuk menempatkan diri dan merespon sesuai dengan perasaan dan situasi yang dialami orang lain. Kemampuan tersebut bersifat universal. Di sinilah diperlukan kebijaksanaan dan kearifan dari sang guru. Di satu pihak menjadi peluang dapat berdongeng dan bercerita-cerita, tetapi di pihak lain menjadi tantangan besar karena di lapangan sudah pusing dengan tuntutan dari birokrasi pendidikan.


Mengharapkan guru saja dalam menanamkan kecerdasan emosional dan sosial-spiritual sepertinya berat. Diperlukan berbagai pihak secara bersama untuk membentuk kecerdasan emosional dan sosial itu. Pertama dan terutama tentu peran orang tua di rumah. Momen masa peka dan kritis anak jangan sampai terlewatkan. Membentuk dan menanamkan kemampuan anak berempati dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya orang tua memberikan pola pengasuhan yang tepat, memberi contoh dengan tindakan konkret yang dilihat anak, mendongeng atau juga sharing bersama dalam keluarga. Selain itu, pola pengasuhan yang demokratis yakni interaksi dialogis, kehangatan, saling mendengarkan, menghindari disiplin yang kaku dan sistem hukuman dengan kekerasan. Hukuman dan kekerasan hanya menciptakan konsep diri yang negatif pada anak.


Lawrence Kutner PhD, ahli jiwa mengatakan dongeng dapat mengarahkan anak memasuki berbagai pengalaman kehidupan yang menyentuh. Anak dapat memetik hikmah dari dongeng tersebut. Anak juga dapat mengindentifikasikan dirinya dengan sang tokoh dalam dongeng tersebut. Hampir semua anak menyukai dongeng dan cerita-cerita. Tentu saja tema dongeng dan cerita-cerita itu disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia mereka. Di samping dongeng dan cerita, untuk menumbuhkan kemampuan empati pada anak dapat dirangsang dengan bermain peran (role playing). Anak bermain peran dan orang tua berperan sebagai patner atau fasilitatornya. Dengan bermain peran, anak secara langsung terlibat dalam situasi empati tertentu, baik sebagai pemberi empati maupun penerima empat. Mudah-mudahan guru-guru dan orang tua dapat mendongeng bagi anak-anak.

Gerardus Weruin, mtb guru SMA Santo Paulus

Selengkapnya...

Bahasa Indonesia Dalam Tantangan Zaman


Bahasa Indonesia merupakan sebuah barometer kebudayaan dan jatidiri bangsa Indonesia. Sebagai sebuah barometer budaya bangsa, bahasa Indonesia saat ini menghadapi persoalan yang rumit dan kompleks. Kondisi zaman yang kosmospolit bergerak secara global dan mondial ini, bahasa Indonesia sedang diobok-obok eksistensinya. Ada tiga tantangan mendasar yang dihadapi bahasa Indonesia saat ini. Pertama, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara harus mampu menunjukkan jatidirinya yang beradab dan berbudaya dalam pergaulan antarbangsa di dunia. Berkaiatan dengan iut, mampukah ia tampil memperlihatkan jatidirinya yang beradab dan berbudaya? Hal ini agak mencemaskan ketika gaya modernisasi dan globalisasi mulai merasuki kehidupan bangsa. Roh-roh seperti nasionalisme, patriotisme, heroisme yang dipekikan dahulu kini mulai terancam virus modernisasi dan globaliasasi. Sebagai anak bangsa, mampukah roh-roh itu tetap menjadi basis moral yang kokoh dan kuat menghadapi tantangan moderniasi dan globalisasi? Di sinilah bangsa Indonesia harus mampu menampakkan kesejatian dan wujud hakiki bahasa Indonesia di tengah-tengah arus modernisasi dan globalisasi ini.


Kedua, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sanggupkah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengembangan iptek yang penuh wibawa dan terhormat sejajar dengan bahasa bangsa lain? Mampukah bahasa Indonesia berdiri tegak agar menerjemahkan dan diterjemahkan oleh bahasa lain dalam tatanan iptek dan industri? Apakah penuturnya masih setia dan bangga untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam berbagai wacana komunikasi terutama dalam iptek?


Ketiga, bahasa Indonesia dituntut bersikap luwes dan terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka untuk menjalankan peran interaksi yang praktis antara komunikator dan komunikan? Setiap komunikasi menggunakan media bahasa Indonesia harus dapat menciptakan suasana interaktif dan kondusif. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan salah tafsir dan makna. Kondisi zaman yang kosmopolit, arus global, dan mondial yang pesat ini, sanggup tidak bahasa Indonesia mewujudkan peran tersebut?


Memanipulasi Bahasa Indonesia


Fakta di lapangan perhatian dan kepedulian kita menggunakan bahasa yang baik dan benar masih jauh dari harapan. Sudah lama terdengar keluhan bahwa masih rendah mutu pemakaian bahasa Indonesia, tetapi belum ada usaha yang signifikan untuk meningkatkan mutu berbahasa Indonesia. Masih sebagian besar pejabat menggunakan kosakata dan kalimat yang salah sehingga menimbulkan kesalahan makna. Selain itu juga, para tokoh publik pun begitu mudah melakukan manipulasi bahasa. Saat ini ada suatu kecemasan besar bahwa kita terlalu mengagungkan nilai-nilai modern dan global. Hal itu membuat kita merasa terhormat dan terpelajar jika bertutur mengunakan setumpuk istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak antimodernisasi, ia terbuka menerima pengaruh bahasa asing tersebut. Akan tetapi, ada rasa rendah diri kita yang berlebihan dalam menggunakan bahasa Indonesia. Justru ini akan mencerminkan sikap masa bodoh yang dapat melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa kita sendiri. Maka kita dapat bertanya haruskah bahasa Indoensia disingkirkan sebagai tuan rumah di rumahnya sendiri?


Munculnya kecemasan dan kekuatiran tersebut dipicu oleh persepsi yang keliru di dalam masyarakat. Ada persepsi masyarakat bahwa dalam berbahasa yang penting dapat dipahami. Maka ketaatasasan terhadap norma atau kaidah bahasa yang berlaku boleh dilanggar. Kaidah seperti Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia sebagai normatif dalam berbahasa hampir tidak diakrabi lagi. Seolah-olah persoalan kaidah bahasa hanya urusan para pakar, pemerhati, peminat masalah kebahasaan, dan guru bahasa Indonesia saja. Bahkan ada anggapan bahwa kaidah kebahasaan itu hanya membuat suasana komunikasi menjadi kaku dan tidak komunikatif saja. Para “elite” yang diharapkan menjadi “patron” berbahasa yang baik dan benar ternyata memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya. Dampaknya masyarakat kita latah bahkan merasa tidak “berdosa” menirunya. Justru masyarakat merasa bangga meniru bahasa kaum elite tersebut.


Di samping itu, kurang perhatian pemerintah (Pusat Pengembangan Bahasa) dalam mensosialisasikan kaidah bahasa Indonesia. Pemerintah tidak serius memperkenalkan kaidah atau norma-norma bahasa Indonesia kepada masyarakat. Kita dapat menghitung seberapa banyak usaha pemerintah dalam mensosialisasikannya? Yang ada hanya sekadar slogan dan serimonial pada Bulan Bahasa. Maka pada Bulan Bahasa munculah slogan-slogan di media cetak dan elektronik, yaitu “Gunakan Bahasa yang Baik dan Benar”. Slogan itu dimunculkan untuk menutupi ketidakperhatian dan ketidakpeduliannya terhadap masalah-masalah kebahasaan.


Sosialisasi kaidah bahasa dimaksudkan untuk menjaga kesamaan persepsi dalam pemakaian bahasa. Selain itu, untuk menciptakan kesepahaman makna antara komunikator dan komunikan. Untuk itu, para pakar atau perancang kaidah bahasa harus mengacu pada kecenderungan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sehingga kaidah tersebut tidak kaku dan dipaksakan. Masyarakat saat ini cenderung menggunakan istilah asing baik lisan maupun tulis. Para perancang bahasa harus menyerap dan mengakomodasikan sebagai masukan yang berharga dalam merumuskan kebahasaan pada masa mendatang. Kecenderungan masyarakat modern dan global itu harus disikapi secara bijaksana dan arif. Artinya, modernisasi sangat diperlukan dalam menghadapi era globalisasi dan mondial, sehingga bahasa Indonesia benar-benar mampu menjadi bahasa komunikasi yang praktis, efektif, luwes dan terbuka. Ada bahaya bahwa modernisasi bahasa yang berlebihan akan melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebaggaan kita terhadap bahasa nasional dan negara.Tanpa sosialisasi yang baik terhadap kaidah bahasa Indonesia di masayarakat, pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar hanya sebatas slogan dan retorika saja. Apalagi mengharapkan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Generasi sekarang harus dilatih dan dibimbing secara sungguh-sungguh sehingga berbahasa yang baik dan benar. Karena berbahasa mencerminkan suatu kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Untuk itu, kita membutuhkan lahirnya sebuah generasi yang sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis dan taat asas.


Berkaitan dengan hal tersebut kita memerlukan cara untuk menghadapi tantangan zaman. Pertama, menjadikan lembaga pendidikan (sekolah) sebagai basis pembinaan berbahasa. Lembaga pendidikan merupakan sarana yang membentuk generasi yang memiliki kepekaan, emosional, sosial, dan intelektual. Bahasa akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak bangsa dilatih dan dibina secara serius dan intensif. Bukan menjadikan mereka pandai dalam teori bahasa saja, melainkan dan terutama menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragamlisan maupun tulis. Maka diperlukan guru yang profesional untuk membimbingnya. Selain itu, diperlukan sarana dan fasilitas berbahasa yang memadai dan mendukungnya.


Kedua, kita dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk merangsang anak berbahasa yang baik dan benar. Media televisi yang begitu akrab dengan anak-anak harus mampu memberikan contoh penggunaan bahasa yang baik. Bukan sebaliknya malah merusak bahasa melalui ejaan, kosakata, sintaksis, morfologi yang selama ini kita saksikan. Media cetak dan radio pun demikian. Selain itu, orang tua (dibaca dewasa) juga diharapkan memberikan contoh dan teladan berbahasa yang benar dan baik serta lingkungan publik anak itu sendiri.


Ketiga, kita dapat menyediakan buku bacaan yang sehat dan mendidik anak-anak. Hindari buku bacaan yang masih menggunakan bahasa yang kurang baik dari sentuhan anak-anak. Proyek pengadaan perbukuan nasional harus benar-benar cermat dan teliti dalam menganalisis buku dari aspek bahasanya.


Dengan mencermati tantangan, masalah dan cara yang ditempuh tersebut kita berharap agar menumbuhkan dan membentuk generasi yang maju, mandiri, modern. Pada akhirnya mereka akan benar-benar menjadikan bahasa untuk berkomunikasi yang praktis dan efektif di tengah-tangah peradaban global yang gencar menawarkan perubahan dan dinamika kehidupan dengan tidak melupakan budaya dan jatidirinya. Jadi, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang modern, namun tetap menjadi jatidiri dari sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya.

Gerardus Weruin, mtb guru SMA Santo Paulus

Selengkapnya...

Eksistensi Bahasa Indonesia Menghadapi Globalisasi

Era globalisasi membawa dapak baik positif maupun negatif. Hal-hal positif dapat membawa kita pada perkembangan menuju suatu masyarakat yang berkembang dan beradab. Akan tetapi, tidak sedikit membawa dapak yang negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu sisi negatif yang sangat dirasakan adalah Bahasa Indonesia. Dengan adanya globalisasi ini bahasa Indonesia mengalami diskriminasi dari para penuturnya sendiri. Era globalisasi boleh datang, namun kita hendaknya tetap mempertahankan identitas bangsa, yakni bahasa Indonesia yang sebagai bahasa persatuan, negara dan nasional kita. Kita sedapat mungkin menggunakan bahasa-bahasa asing sesuai dengan proporsional. Bahasa asing tetap kita gunakan untuk ahli teknologi atau berkomunikasi antarbangsa.


Bahasa asing memang penting namun jangan sampai terjadi diskriminasi. Artinya bahasa Indonesia tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. Ia tidak lagi menjadi bahasa persatuan, negara, dan nasional yang seutuhnya. Bahasa Indonesia digunakan sebagai pilihan utama dan pertama daripada bahasa asing. Akan tetapi, dalam kenyataan kita tidak konsisten dan berkomitmen mempertahankan bahasa Indonesia. Sebagai contoh kita dapat membaca papan nama atau petunjuk arah di hotel-hotel atau bandara menggunakan bahasa asing lebih dahulu baru BI. Dalam pendidikan kita menjumpai sejak TK, SD, sudah diajarkan bahasa asing sementara bahasa Indonesia ala bisa karena biasa mendengarkan orang lain. Dan menjadi suatu ironis memang, yaitu ada kebijakan yang mengharuskan sekolah Indonesia berstandar international menggunakan bahasa Inggris dalam menyampaikan pelajarannya. Bahkan dalam menentukan kelulusan, bahasa Inggris ikut menjadi faktor penentu lulusan.


Semua hal tersebut membawa dampak bahwa BI cenderung ditinggalkan. BI mulai terasa kehilangan wibawa dan kebanggaan sebagai identitas bangsa Indonesia. Kecenderungan itu dapat kita amati di kota-kota besar, misalnya nama gedung, kompleks perumahan atau pertokoan dan papan-papan iklan menggunakan bahasa asing. Bahkan yang paling buruk kita rasakan dalam komunikasi sudah sebagaian besar mulai menggunakan bahasa asing. Dan lebih parah di kalangan orang muda yang menggunakan campuran dan bahasa prokem.


Kita memutuhkan UU kebahasaan yang tegas dalam mengatur penggunaan BI di berbagai bidang-sektor. Hal ini karena para penutur BI sendiri tidak tertib dan disiplin dalam menggunakannya. Diharapkan UU tersebut memberi kesadaran bahwa dengan berbahasa mengungkapkan identitas bangsa, diri sendiri, budaya, dan sopan santu kita sebagai suatu bangsa.


Makna dan nilai-nilai yang syarat dalam bahasa dan sastra Indonesia lambat laun akan ditinggalkan. Ada tiga hal yang akan ditinggalkan, yakni pertama menyangkut kaidah berbahasa. Kaidah berbahasa terutama mengenai ejaan yang disempurnakan (EYD) itu mulai kacau balau- ambulradul. Bahkan salah menggunakan dalam karya ilmiah atau dalam forum resmi pun sah-sah saja. Kedua, berkaitan dengan etika berbahasa, sopan santun berbahasa (pragmatik berbahasa). Dalam sapa menyapa, yang tua dan muda, cara mengungkapkan emosional, pikiran dan pendapat, menanggapi, kritik dan sebagainya. Semuannya itu perlu suatu kiat yang seni sehingga santun dan sopan sebagai ciri budaya kita. Ketiga, nilai politis bahasa bisa membahayakan bahkan dapat punah. Nilai politis ini terutama dari pemerintah (pemimpin) atau pengambil kebijakan. Terutama dalam pendidikan, kita lihat mulai dari TK, SD anak-anak sudah diajarkan bahasa asing. Hal itu boleh saja. Namun dampak negatif bahwa anak merasa lebih bangga dan senang bila ia menggunakan bahasa asing. Pembelajaran bahasa asing sungguh-sungguh diperhatikan, sarana dan prasaran dilengakpi atau diadakan. Pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan siswa, minat, kemampuan dan lingkungan anak-anak. Sementara bahasa Indonesia dianaktirikan. Secara politis kita menanamkan dikotami dan diskriminasi antara bahasa Indonesia dan asing. Maka tidak heran kaum muda merasa diri lebih keren menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Lagi-lagi eksistensi bahasa Indonesia terus-menerus terusik di dalam pembelajaran dan pemakaian dalam komunikasi.


Bagaimana usaha kita menyelamatkannya? Kita mulai dari keluarga. Peran orang tua sangat penting mengajar dan menanamkan cara berbahasa yang baik dan benar kepada anak-anak. Juga selektif dengan acara sinetron-sinetron yang seringkali menggunakan bahasa kekerasan, intimidasi, teroris dan sebagainya. Di sekolah pembelajaran yang dirasakan momok selama ini segera ditinggalkan. Kita tidak lagi belajar tentang (pengetahuan-ilmu) bahasanya melainkan bagaimana berbahasa. Maka di sana tujuan dan arahnya adalah keterampilan anak menggunakan bahasa dalam situasi yang kontekstual. Strategi pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga mengembangkan keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis dengan baik. Dan semua aspek itu pertama-tama bukan untuk mendapat nilai melainkan supaya penutur dapat berkomunikasi dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran harus memberi ruang gerak yang banyak kepada anak untuk berlatih, sedangkan guru memfasilitas, memotivasi dan memperbaiki, menunjukkan kesalahan kepada mereka. Belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar, dikolaborasikan dengan semua mata pelajaran. Karena bahasa Indonesia merupakan pintu masuk ilmu pengetahuan. Praktik dan latihan itu bertolak dari kebutuhan, minat, kemampuan dan lingkungan siswa. Pembelajaran pertama-tama melayani kebutuhan anak bukan kepada pemerintah, penyelenggara pendidikan dan sebagainya. Lingkungan masyarakat pun punya andil bahwa bahasa bisa membahayakan, tetapi juga menyejukan. Hal ini tergantung bagaimana lingkungan masyarakat membangun komunikasi bersama dengan menggunakan BI.


Kiranya beberapa hal yang dikemukan itu dapat berguna bagi perkembangan dan peradaban bangsa kita. Satu kata bisa mengubah dunia. Satu kata dapat menggoyangkan dunia. Tergantung kata itu mempunyai nilai yang baik atau buruk. Semoga apa yang diperjuangkan dan dicetuskan para pendahulu kita tetap kita lestarikan dan pelihara baik-baik. Ingat! Bahasa menunjukan bangsa, identitas bangsa, dan cermin budaya kita. Semoga BI tetap eksis dalam menghadapi era globalisasi ini.

Gerardus Weruin, mtb guru sma st. Paulus, Pontianak. (14 Februair 2008).

Selengkapnya...

Ke manakah Tujuan Pendidikan Kita?

Dalam UUD 1945 termaktub bahwa tujuan pendidikan kita, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kata cerdas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti dsb.), tajam pikiran. Mencerdaskan bermakna mengusahkan supaya sempurna akal budinya. Pendidikan di sekolah seharusnya memahami benar arti kata cerdas dan mencerdaskan itu. Sebab tujuan orang tua menyekolahkan anaknya supaya cerdas, secara sempurna baik pikiran, akal maupun budi (perilaku-sikap). Namun demikian, orientasi pendidikan di sekolah-sekolah kita belummengarah kepada mencerdaskan peserta didik dalam arti yang benar. Peserta didik menurut teori pembelajaran mutakir adalah subjek namun tetap saja ddiperlakukan sebagai objek, sehingga dari hari ke hari masih saja keluhan tentang perilaku siswa-siswi di sekolah.

Ada terobosan membuat kita lebih bergairah di abad ke-21 ini. Pertama-tama bukan karena perkembangan teknologi yang modern melainkan sebuah perkembangan konsep tentang apa artinya menjadi manusia. Ambil contoh orang gila masih sadar bahwa mencuri itu tidak baik, tetapi orang waras yang tahu bahwa mencuri itu tidak baik, tetap saja ia lakukan. Manakh dari kedua perilaku kedua orang itu disebut manusia? Membicarakan apa artinya menjadi manusia bukan sekarang baru muncul. Sejak zaman Socrates (470-399 SM) sudah dibicarakan. Begitu pula N. Driyarkara tokoh filsafat pendidikan dan kajian humaniora sudah lama menempatkan manusia dan kemanusiaan dalam gerak peradaban suatu bangsa sangat penting. Penulis seri buku Megatrends 2000 , John Naisbitt dan Aburdene begitu getol mengangkat tema tentang manusia. Romo Y.B. Mangunwijaya, arsitek-sastrawan-pendidik mencoba berjuang memberi ruang gerak kebebasan kreatif bagi anak-anak agar memiliki kemandirian sebagai manusia lewat sekolah Mangunan-nya. Ahli filsafat M. Sastrapratedja mengutip kembali pendapat Naisbitt dalam suatu esainya, “Apa dan Siapakah Manusia?” menegaskan kembali bahwa kesadaran akan eksistensi manusia dan kemanusiaannyalah yang menjadi titik sentral dalam hidup (baca sekolah-pendidikan).

Menurut Sastrapratedja sepanjang sejarah kita berusaha menjawab pertanyaan yang diajukan kepada diri sendiri : apa dan siapakah manusia itu? Pertanyaan tersebut lalu bersentuhan dengan kebudayaan terutama yang dikembangkan dalam dunia pendidikan (sekolah) kita. Budaya apa yang kita tanamkan dalam pendidikan di sekolah? Budaya akal-pikiran ataukah budi? Paradigma kajian humniora, hakikat pendidikan harus dapat mengembangkan potensi peserta didik dalam aneka segi kemanusiaannya. Maka pendidikan tidak hanya mengembangakan ranah kognitif (akal-pikiran), tetapi juga ranah afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Di sinilah pertaruhan dedikasi seorang guru yang bukan sekadar profesi guru sehingga dapat mengembangkan ketiga aspek itu secara simultan-seimbang, tidak mendewakan salah satunya. Dengan demikian sungguh memprihatinkan bila dalam pendidikan (sekolah) kita hanya mendewakan aspek akal-pikiran (kognitif) saja.

Pengetahuan intelektual memang penting, tetapi bukanlah yang terpenting dalam kehidupan anak sebagai manusia. Masih ada aspek lain yang harus dikembangkan seperti olahraga, bakat-bakat seni, religiositas, moral, sikap sosial dan sebagainya. Menurut Mangunwijaya kreativitas dan sikap ingin tahu pada akhirnya menuntut model pendidikan yang eksploratif. Slain itu, prinsip pendidikan adalah mengembangkan kepribadian secara utuh, bakat dan potensi anak secara total-integral. Semuanya itu demi pembentukan dan perkembangan kepribadian yang seimbang. Maka kita boleh bertanya dan refleksi sudahkan sistem pendidikan kita memberi iklim dan ruang gerak kepada pembelajar supaya sungguh-sungguh mengembangkan potensi diri dari berbagai segi kemanusiaannya? Dan apa yang dapat kita lakukan kalau sistemnya justru membelenggu?

Paradigma pedagogis dan didaktik meyakini bahwa penembangan kreativitas manusia (peerta didik) mensyaratkan pendidikan itu sebagai suatu proses. Slain itu juga, pendidikan itu sebagai sarana utama untuk memanusiakan manusia. Keyakinan ini segera pupus manakalah kebijakan pendidikan di tanah air ini justru menghambatnya. Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai suatu proses pemanusiaan, melainkan produk hasil akhirnya. Pendidikan diperlakukan sebagai komoditas ekonomi, seperti dalam dunia industri yang terpenting produk akhirnya. Pemerintah tidak mau tahu bagaimana produk itu diproseskan. Hal itu sangat jelas ketika Wakil Presiden Yusuf Kalla menanggapi kritikan para ahli pendidikan tentang ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan. Yusuf Kalla mengillustrasikan dunia pendidikan seperti produk pakaian jadi. Sebagai konsumen, ia tidak peduli bagaimana proses pembuatan pakaian, karena yang terpenting adalah setelah jadi baju tersebut bagus atau jelek. Fenomena besar UN yang terjadi justru lebih banyak dilakukan dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang baik. Malah memberi citra dan budaya yang amora pada dunia pendidikan itu sendiri, bahkan mencoreng wajah dunia pendidikan, sehingga tujuan pendidikan kita dipertanyakan.

Begitulah potret pendidikan kita sampai saat ini. Kita merindukan apa yang ddiwacanakan mantan Menteri Pendidikan Nasional, A. Malik Fadjar bahwa kembalikan kelas sebagai tempat belajar yang menyenangkan. Di sanalah kehidupan miniatur manusia yang harus dimanusiakan. Bagaimana kelas menjadi tempat belajar yang menyenangkan jika anak dan guru selalu dibayangi oleh soal-soal UN yang akan mereka hadapi? Anak selalu dibayangi tentang ujian dan apa yang diujikan, lulus atau tidak? Maka tidak cukup hanya dengan latihan mengerjakan soal-soal di dalam kelas, tetapi setelah selesai sekolah mereka harus mengikuti bimbingan belajar, les privat, dan sebagainya. Sungguh-sungguh menyedihkan. Anak-anak kehilangan waktu untuk berekspresi diri dan menikmati dunianya. Bahkan demi UN mata pelajaran yang lain dianaktirikan. Jika demikian, nurani kita akan menggugatnya, untuk apa pendidikan (sekolah) diselenggarakan? Untuk mengejar nilai UN ataukah mencerdaskan kehidupan bangsa? Jika de facto demi UN, barangkali tujuan pendidikan dalam Pembukaan UUD 1945 itu perlu dirumuskan kembali. Karena mencerdaskan bangsa itu sangat abstrak maka harus diganti untuk UN saja.

Peserta didik mempunyai kepribadian yang utuh. Bkan hanya kepala (akal-pikiran) saja yang diperhatikan. Kita boleh merasa bangga karena menang dalam olimpiade sain di tingkat internasional. Itu pun satu dari sekian juta anak di Indonesia. Namun lebih memprihatinkan bila kita melihat moral, sikap, dan watak peserta didik. Pembelajaran kurang memberi ruang gerak kepada siswa untuk berinovasi, kreasi dan berkreativitas, semuanya disapu olej pembelajaranmodel “penyekapan” atau sistem drill, latihan soal-soal untuk UN. Jika demikian, sekolah untuk apa dan siapa? Bukankah tujuan dan arah pendidikan supaya membekali siswa sehingga mampu mandiri, mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam kompetisi dunia internasional? Jauh sebelumnya sinyalemen itu sudah ditangkap oleh Mangunwijaya bahwa dunia pendidikan – historis empiris selalu menjadi instrumen para penguasa untuk mengkonsolidasi dan melegitimasi kemapanan mereka. Selain itu, demi reproduksi sikap danmental yang melestarikan dan memperkuat status quo kekuasaan mereka. Kini krisauan Francis Bacon menjadi kenyataan, bahwa knowledge is power! Sungguh-sungguh memprihatinkan pendidikan di tanah air ini, berjalan tanpa tujuan dan sepertinya kehilangan jejak pendidikan itu sendiri.

Gerardus Weruin, MTB guru SMA Santo Paulus

Selengkapnya...