Senin, 20 April 2009

SMA Santo Paulus Dalam Kenangan

Apa yang masih dapat dikenang kalau orang-orang pada bincang-bincang tentang SMA Paulus? Tentu saja bincangan para alumni dari setiap angkatan akan berbeda. Akan tetapi, satu hal yang patut dicatat bahwa Paulus yang dulu telah mencatat suatu prestasi yang gemilang dan sangat kredibel di masyarakat. Namanya pun sangat harum di kawasan Pontianak dan mungkin Kalbar pada saat itu. Semuanya itu tidak diragukan lagi karena ada pengakuan bahwa sebagian besar alumni Paulus sudah pada sukses dan berhasil hidup di masyarakat. Memang ada juga sejumlah alumni yang kurang beruntung membangun hidup, namun satu dari sekian sehingga secara makro pada berhasil. Barangkali baik juga bila SMA Paulus yang sekarang dapat melihat kembali ke belakang apa yang dilakukan pada saat itu sehingga menjadi eksis sampai saat ini?
Pertama, Paulus pada saat itu sangat dikenal dengan DISIPLIN. Baik guru maupun siswanya sangat disiplin. Inilah factor keberhasilan itu. Disiplin waktu, kerja, dan sebagainya sehingga memberi kesan bahwa SMA Paulus begitu ketat. Tetapi sebenarnya tidak, tergantung kesadaran tiap pribadi. Jika mau berhasil harus sungguh-sungguh patuh pada setiap peraturan yang ada di sekolah. Justru dari kiat inilah Paulus mulai menumbuhkembangkan sumber daya manusianya. Sehingga di masyarakat sikap ini menjadi bagian dari cermin tiap pribadi keluaran Paulus.
Kedua, Paulus pada saat itu sangat familier – kekeluargaan. Baik guru maupun siswanya tidak ada rasa untuk membeda-bedakan yang namanya suku, agama, dan sebgainya. Semuanya menjadi akrab dalam relasi kekeluargaan. Relasi ini mencerminkan suatu misi-visi penyelenggara sekolah, yaitu persaudaraan. Setiap pribadi dihormati, dihargai dan dipercaya sehingga berpacu untuk memajukan sekolah. Dan pemberdayaan pada setiap pribadi karena setiap pribadi memiliki bakat dan talenta istimewa. Nah, bakat dan talenta itu dibaktikan demi keharuman nama Paulus, misalnya dalam bidang olah raga, pelajaran yang sangat di kenal dan termasuk disegani kala itu, yakni hitung dagang. Semua mendukung keunggulan itu dengan partisipasinya. Bahkan karena terasa begitu kental suasana kekeluargaan sehingga suasana dalam kelas pun kadang-kadang relasi itu dapat dialami seperti relasi orang tua kepada anaknya sendiri. Guru begitu pengertian, memperhatikan siswa sehingga para siswa tidak lagi macam-macam selain patuh kepadanya karena patut dicontoh dan diteladani. Perhatian itulah cara guru membangun ikatan emosional dengan siswanya sehingga ‘enak’ dalam belajar. Dan jangan lupa ikatan emosi itulah membuat relasi siswa tidak berhenti di dalam kelas berlanjut sampai di luar yang sekarang kita lihat relasi antar alumni.
Ketiga, Paulus pada saat itu ‘ringan tangan’ atau dikalangan siswanya dikenal dengan istilah saling membantu. Membantu atau menolong satu sama lain ketika ada yang mengalami kekurangan. Bantuan tidak hanya pada materi (uang-barang). Bantuan dapat juga berupa pikiran, perhatian, membagikan bakat atau talenta sehingga semua akhirnya dapat mengatasi persoalan itu. Dan itu terbawa terus sampai di masyarakat. Di antara alumni pun mereka masih saling membantu bahkan bukan hanya di kalangan alumni tapi merambah ke almamaternya. Bantuan sekecil apa pun jika diberikan dengan tulus dan ikhlas akan memberi semangat dan daya hidup paa orang yang bersangkutan.
Keempat, Paulus pada saat itu memiliki kredibel dan nilai plus di masyarakat. Tamatan dari Paulus tidak diragukan lagi. Masyarakat sudah kenal, tahu dan percaya. Mereka sudah mendapat kepercayaan sehingga sebelum tamat kantor atau perusahan sudah memesan siswanya. Apa yang disiapkan di Paulus paling tidak menjawabi kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja-pasaran juga. Dan itu tidak perlu tes atau melamar lagi, langsung masuk kerja. Bahkan mereka diberi pos-pos penting seperti pengambil keputusan dan sebagainya. Khusunya dalam bidang Hitung Dagang (akuntasi) sangat dibanggakan karena hanya satu-satunya yang ada di Paulus. Hitung Dagang telah mengharumkan nama Paulus. Perkembangan zaman sedikit demi sedikit telah menggeser Hitung Dagang. Maka Paulus sekarang mau menampilkan apa sehingga menjadi nilai plusnya?
Nah, kalau kita menggali terus tentu masih banyak hal yang membuat Paulus dikenal dan dipercaya oleh masyarakat. Namun, perjalanan waktu dan perkemangan zaman telah mengubah kondisi dan lingkungan hidup pada umumnya dan SMA Paulus pada khususnya. Paulus yang dulu telah berjuang dan berkorban memberi warna dan mengharumkan nama. Mereka meletakan dan membangun SMA Paulus dengan nilai-nilai tersebut sehingga terkenal. Semua usaha itu memang berat, tetapi lebih berat untuk bertahan. Memulai itu mudah, tetapi meneruskan dan mempertahankan itulah persoalan tersendiri. Kini kita pada posisi untuk meneruskan dan mempertahankan apakah sulit? Pernakah kita duduk bersama dan menengok ke belakang bahwa Paulus mempunyai jurus jitu yang tidak tersaingi oleh sekolah yang lain? Kini sudah banyak sekolah di Pontiank dan Kalbar dengan embel-embel sekolah plus, standar nasional, bertaraf internasional. Harga jual “Hitung Dagang” tidak zamannya lagi. Lalu kita mau jual apa yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat, lapangan kerja, atau dunia kampus? Semuanya itu kalau kita duduk bersama satu meja melihat kembali apa yang tidak kita perhatikan selama ini, kita lalai, lengah sehingga tak mampu bersaing. Bagaimana mekanisme kerja, manajemen pengelolaan sekolah, dan misi-visi, nilai-nilai yang mau kita perjuangkan? Semuanya tersimpan rapi dalam kata komunikasi . Mari kita mulai lagi dengan cara berkomunikasi yang baik dan sepantasan sebagai manusia yang disebut sebagai makhluk yang paling mulai karena ia memiliki pikiran dan hati yang terangkum dalam bahasa. Bahasa dapat kita ekspresikan dalam majalah kesayangan kita … Varia … inilah wajah dan kepribadian SMA Paulus. Semoga apa yang kita mulai hari ini tumbuh dan berbuah di kemudian hari. Semoga….

Bruder Gerardus Weruin, MTB di hari kelahiran, Kamis, 6 Maret 2008.
(Ini sebuah cuplikan wawancara dengan Pak wakil wali kota Pontianak, alumni SMA Santo Paulus). Selengkapnya...

YPSB Menggelar Budaya Nilai





Yayasan pendidikan sekolah Bruder (YPSB) menggelar pembinaan bagi guru dan karyawan TK, SD, SMP dan SMA di Pontianak (10-13/2-’09). Pembinaan ini diikuti oleh guru-karyawan TK, SD SMP Bruder dan SMP Santo Tarsisius Singkawang, SMP Bruder Pontianak dan SMA Santo Paulus Pontianak. Kegiatan ini diadakan di gedung Bina Remaja dan ruang Multimedia SMA Santo Paulus. Pembinaan kali ini membahas tema ”Pendidikan Nilai atau Budaya Nilai”. Dalam kegiatan tersebut para guru dan karyawan dibimbing oleh tim Living Values, yakni Drs. MC Gunawan dan Drs. Petrus Damianus Subagya, MM dari Jakarta.
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari pembinaan sebelumnya yang mengangkat lima tema yang dianggap urgen berkaitan dengan tuntutan masyarakat. Kelima hal yang merupakan tuntutan masyarakat yakni, quality (kualitas pelayanan jasa), cost (biaya sebanding dengan perolehan), delivery time (tepat waktu, disiplin), safety ( aman, tercipta budaya sekolah), morale (etika, pendidikan nilai, moral terjalin secara terpadu). Tuntutan itu sekaligus menjadi refleksi YPSB, apakah sekolah kita masih mempunyai daya tarik, saing, dan bertahan di zaman global ini? Menjawabi refleksi itu maka tema moral menjadi prioritas untuk pembinaan bagi para guru dan karyawan di lingkungan YPSB.
Menurut Drs. PD Subagya pendidikan nilai sangat mendesak bagi anak didik kita. Hal ini bertolak dari masyarakat internasional dan nasional saat ini tumbuh dalam suasana yang tidak bernilai. Karena kehidupan sehari-hari diwarnai dengan kekerasan yang semakin meluas. Tindakan kekerasan telah melahirkan ketidakadilan dan penindasan terhadap sesama manusia. Kita hidup dalam suatu masa yang penuh persaingan dan saling menyingkirkan satu sama lain. Hal ini membuat hidup kita tidak aman, nyaman, damai, dan bahagia lagi. Kondisi tersebut sangat mengancam, sehingga kita harus cepat merespon supaya siswa tumbuh dan berkembang secara positif dan bertanggung jawab. Para guru dan karyawan harus memberikan penghargaan kepada anak didik, sehingga mereka dapat berubah. Bapak – Ibu guru diharapkan mulai dengan hal yang positif sedikit demi sedikit pada diri sendiri. Dengan demikian hal positif itu berpengaruh pada anak didik, sehingga merasa aman, bernilai, berharga, dipahami dan dicintai di lingkungan sekolah.
Sementara itu, Bapak Drs. M. Gunawan lebih menekankan bahwa dalam pendidikan nilai kita dapat belajar dari sang guru utama, Yesus Kristus. Ia memberi contoh dengan tindakan bukan hanya kata-kata. Ia merasa kasihan, iba lalu mengulurkan tangan baru berkata bukan sebaliknya. Yesus juga memberi kesempatan kepada orang berdosa- bersalah untuk diam berpikir, sehingga ada kesempatan untuk menjadi baik. Bapak Gunawan berharap agar para guru dan karyawan dapat mencontohi tindakan Yesus tersebut.
Kegiatan ini ditutup dengan Ekaristi yang dipimpin oleh Pastor Samuel Jumen, OFM Cap. Pastor Samuel berpesan walaupun pendidikan nilai ini belum berhasil, tetapi kita harus bersyukur ada yang mulai menggerakan kita. Sementara itu, Bapak Subagya menambahkan bahwa kita harus belajar burung Elang. Burung Elang mempunyai kebiasaan lain dengan semua burung. Ketika tiba saatnya, ia terbang ke gunung yang tinggi. Di sana ia melakukan transformasi diri, yakni menggantikan buluh, paruh, kuku yang tajam, sehingga menjadi baru kembali. Proses ini dilalui penuh dengan penderitaan. Namun, dengan cara itulah yang membuat dia bertahan hidup hidup lebih lama dari semua burung. Begitu pula dengan kita para guru-karyawan perlu melakukan transformasi diri. Setelah kita mengalami pendidikan nilai ini diharapkan supaya tim ini mulai ”membakar” Kalimantan Barat supaya sadar akan pentingnya budaya nilai. Mulailah dari diri sendiri! Budaya nilai tersebut akan menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah kita. Kemudian ketua YPSB, Br. Yanuarius, MTB menutup kegiatan pembinaan guru-karyawan itu dengan berpesan aga guru-karyawan dapat melaksanakan nilai-nilai yang sudah didapat dengan gembira bukan membuat masalah. Bapak Ibu guru jangan berharap anak melakukan cinta kasih, menghormati, memahami dan sebagainya jika tidak bermula dari gurunya. Nilai-nilai bukan sekadar diucapkan melainkan harus diwujudkan dalam tindakan, perbuatan dan sikap, sehingga menjadi kebiasaan, budaya nilai. Semuanya itu demi mencerdaskan anak didik kita sehingga mereka tumbuh dan berkembang dalam suasana aman, bernilai, berharga, dipahami, dan dicintai. Sang moderator, Bapak Bernard mengakhirnya kegiatan ini dengan berpantun :





Orang bujang hatinya panas
sehingga terlihat mukanya merah
Selamat berjuang, selamat bertugas
raihlah masa depan nan cerah.

Bersantai-santai waktu pulang
karena semua sudah lurus
pandai-pandai cari peluang
supaya Anda meraih sukses.



Br. Gerardus Weruin, MTB (sudah dimuat di majalah EDUCARE Edisi Maret 2009).
Selengkapnya...

Guru Itu Panggilan

Menjadi guru itu suatu panggilan. Bahkan dalam iman Kristiani, guru itu panggilan dari Tuhan sendiri. Guru dipanggil untuk mengembangkan anak menjadi pribadi yang utuh. Selain itu, guru juga dapat membawa pembebasan bagi tawanan, penglihatan bagi orang buta khususnya bagi anak didik. Hansen dalam bukunya Call to teach mengemukakan bahwa tugas guru merupakan panggilan seperti dokter dan perawat. Guru membantu anak untuk mengembangkan diri dan menemukan kebahagiaan sehingga pada akhirnya dia pun merasa bahagia. Demikianlah motivasi, hiburan dan peneguhan dari Rm. Paul Suparno, SJ bagi guru karyawan SMA Santo Paulus, Pontianak dalam workshop di ruang Multimedia (31 Oktober- 1 November 2008). Workshop tersebut merupakan rangkaian kegiatan dalam merayakan hari ulang tahunnya yang ke-45 (lustrum IX). Adapun tema perayaan tersebut, yakni SMA Santo Paulus eksis, dinamis, kualitas dan favorit di Pontianak, Kalimantan Barat.
Dalam acara tersebut, Rm. Paul mengajak guru dan karyawan berefleksi bahwa menjadi guru tidak sekadar profesi, tetapi panggilan. Guru dipanggil untuk membantu siswa supaya menjadi cerdas dan baik. Guru membantu siswa menjadi manusia yang utuh dan sempurna (holistik). Guru tidak mengikuti arus zaman sekarang yang hanya mendewakan kognitif sehingga aspek emosi, estetika, sosial, religius dan moral terabaikan bahkan kurang mendapat perhatian lagi. Tugas guru membantu siswa supaya mengetahui yang baik dan tidak, dan pada akhirnya dapat mengambil keputusan secara benar. Rm. Paul menantang para guru karyawan bahwa kalau ternyata dalam membantu siswa guru karyawan tidak merasa bahagia, damai, merasa berarti itu bukanlah panggilan. Bapak Ibu guru mungkin salah alamat, lebih baik berhenti sebelum terlambat karena guru tidak akan menjadi jutawan atau milioner.
Zaman sekarang banyak persoalan dalam pendidikan. Untuk menjadi pendidik yang baik, guru harus memiliki cinta. Cinta membuat guru tidak cepat marah, putus asa, mengeluh dan mandek. Cinta memberikan semangat berjuang, mau berkorban demi anak, dan merasa empati kepada anak. Dengan cinta guru rela diganggu, direpoti anak, seperti Yesus mencintai anak-anak … “Biarlah anak-anak datang kepadaKu jangan menghalangi mereka”. Dengan cinta, guru dapat memprioritaskan perhatiannya kepada siswa yang lamban, bermasalah, kecil, tersingkir, sakit, dan menderita.
Cinta akan tugas dan profesi ini membuat guru akan terus maju dan berkembang. Banyak guru hanya mengeluh dan terus mengeluh; mengajar sejak dulu sama saja, tidak kreatif. Guru bukanlah tukang, tetapi dia seorang intelektual yang kreatif dan inovatif. Maka guru dituntut supaya terus belajar mengembangkan diri. Dengan demikian guru diharapkan terus belajar berpikir kritis, bebas, rational, mengembangkan angan-angan, berimajinasi, berani bertindak dan bertanggung jawab, memperjuangkan keadilan dan kebenaran serta selalu refleksi atas tugas pelayanannya.
Selain itu, guru juga harus proaktif, inisiatif, berani bicara dan mengungkapkan gagasan, membangun kerja sama dengan sesama guru, siswa serta dapat berelasi dengan kepala sekolah, yayasan, diknas dan orang tua. Ada beberapa guru masih suka main otoriter, diktator dan memaksakan kehendaknya. Zaman ini sudah demokrastis maka pendidikan pun harus menyesuaikannya. Kebebasan lebih mengembangkan anak menjadi pribadi yang jujur dan tidak bertopeng. Guru perlu membebaskan siswa, mengembangkan talenta yang dimiliki siswa dan mencintai semuai siswa walaupun ada ilalang dan gandum. Dengan menyadari guru sebagai suatu panggilan dari Tuhan, guru diharapkan membantu dan mengantar siswa untuk mengenal Tuhan secara pribadi.
Setelah berefleksi dan sharing, acara itu ditutup dengan Ekaristi. Kemudian dilanjutkan dengan foto bersama dan ramah tamah sederhana bersama. Selamat berulang tahun ke-45 semoga SMA Santo Paulus tetap eksis, dinamis, kualitas dan favorit di Pontianak, Kalimantan Barat.


Br. Gerardus weruin, MTB (sudah dimuat di Majalah HIDUP). Selengkapnya...

Bahasa Indonesiaku Sayang, Tapi Malang

Sungguh menarik, kita membaca tulisan sang editor, Agus M. Irkham tentang Pudarnya Pesona Bahasa Indonesia (Kompas, 12/1). Di era modern dan global ini masih ada putra bangsa yang merasa cemas dan prihatin yang intens atas eksistensi dan martabat Bahasa Indonesia. Kiranya generasi muda (siswa) bangsa ini peduli akan kecemasan dan keprihatinan sang editor tersebut.
Mari kita bayangkan kalau orang muda anonim pencetus sumpah pemuda itu bangkit dari kubur dan mendapati generasi muda sekarang ketika berbicara dan menulis lebih suka menggunakan bahasa Inggris. Reaksi mereka tentu kecewa dan marah bahwa usaha dan perjuangannya kurang dihargai dan dihormati. Namun, ada reaksi lain bahwa mereka tentu bingung melihat generasi muda sekarang agak kebaratan (nginggris). Dan bukan hanya Inggris, tetapi masih ada yang lain, seperti Mandarin, Jepang, Korea, Arab dan sebagainya. Mestinya mereka tidak kecewa, marah bahkan bingung menyaksikan itu semua. Karena setiap generasi mempunyai pola pikir, pergaulan, lingkungan, dan perkembangan tersendiri. Bisa jadi timbul keheran-heranan dalam diri mereka. Sebab mereka belum mengenal komputer, internet, email, HP dengan gaya SMS yang sungguh tidak dimengerti dalam berbahasa, aneka cenel televisi, berbagai produk surat kabar, majalah, buku-buku, dan sebagainya. Dan saya kira mereka akan memaklumi dan menerimanya.
Pembelajaran Bahasa Indonesia
Walaupun siswa dalam berbicara dan menulis itu ada kecenderungan nginggris, mereka masih cinta dan sayang pada Bahasa Indonesia. Tidak proporsional mencap siswa kini menempatkan bahasa Indonesia pada nomor urut sepatu. Selain itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak favorit, sehingga tidak penting untuk dipelajari. Soal favorit itu relatif karena minat dan kegemaran siswa berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari faktor kecerdasan yang dimilikinya. Berkaitan dengan rendahnya minat siswa memilih jurusan bahasa Indonesia di perguruan tinggi tentu saja bukan indikasi dari nilai ujian nasional (UN). Nilai UN itu hanya permukaannya saja, sedangkan yang tidak kelihatan justru menyimpan permasalahan yang begitu kompleks. Ambil contoh apakah memilih jurusan bahasa Indonesia menjanjikan masa depannya? Maka, di sini berkaitan dengan lapangan pekerjaan. Untuk itu, kita perlu mengkaji kembali.
Sebenarnya yang membuat pesona bahasa Indonesia ini menjadi pudar bukan semata UN. Memang UN menjadikan cara dan sistem pendidikan ini kehilangan identitas dan jati diri bangsa Indonesia. Karena UN lebih menekankan kuantitatif daripada kualitatif. Padahal pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu proses yang harus dialami atau dilakukan oleh siswa. Realitasnya pembelajaran bahasa Indonesia hanya mengerjakan soal-soal dalam buku latihan kerja siswa (LKS), latih soal-soal dalam buku paket dan soal-soal try out sebagai persiapan UN. Itu semua sangat membosankan bagi siswa, sehingga “terpaksa” harus dipelajari. Kalau orang melakukan sesuatu dengan terpaksa, alhasilnya pun tidak memuaskan dan sempurna. Guru dan siswa mau mengembangkan pembelajaran seperti yang dianjurkan sang editor. Hanya kita akan merasa kasihan melihat hasil UN siswa akan lebih buruk lagi dan tentu mematikan semangat mereka.
Di sisi lain, orang tua dalam keluarga menanamkan konsep yang keliru pada anak-anaknya. Anak-anak sejak kecil sudah “dipaksakan” belajar bahasa Inggris, Mandarin dan sebagainya lewat kursus, les privat atau bimbingan belajar. Sekolah pun memperlihatkan bahwa ada gradasi pembelajaran bahasa Indonesia dan Inggris. Sarana penunjang bahasa Inggris disiapkan sementara bahasa Indonesia tergantung dari kreativitas gurunya. Belum lagi anak menyaksikan di lingkungan masyarakat. Lewat televisi mereka mendengarkan contoh omongan sang figur dan tokoh-tokoh yang bergaya keinggris-inggrisan. Mereka juga membaca tulisan di media massa dan di tempat-tempat umum yang cenderung menggunakan bahasa Inggris. Semuanya menjadi tekanan dan tuntutan bagi siswa di zaman modern dan global ini. Akhirnya mereka mengikuti gaya dan trend zaman itu. Mereka berguru dari kita penutur bahasa Indonesia ini.
Perlu Arif, Konsisten, dan Telandan
Gaya, trend, dan kecenderungan siswa itu hendaknya diterima dan dipahami. Bukannya kita cepat mencap yang negatif dan mengadili mereka. Yang sudah salah dipersalahkan lagi akan menjadi fatal. Secara arif kita mendamping dan membina mereka dalam proses penyadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ini memerlukan waktu yang lama bukan dikarbit.
Dalam berbahasa Indonesia kita harus konsisten. Artinya kita berpedoman pada kaidah yang sudah ada seperti Ejaan Yang Disempurnakan, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia dan sebagainya. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus dikemas secara menarik dan menyenangkan sehingga lebih hidup, dinamis dan penuh kejutan. Itulah menjadi harapan kita semua. Jika pembelajaran demikian dengan menekankan empat ranah, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, penilaiannya pun dilakukan secara integral dan komperhensif. Penilaian bukan membuat siswa merasa cemas dan takut karena menekankan aspek kognitif semata. Penilaian dilakukan sesuai dengan model pembelajaran seperti yang sudah digariskan dalam kurikulum tingkat satuan pelajaran. Siswa diharapkan memiliki kompetensi bukan nilai (angka-angka). Maka model UN perlu ditinjau kembali atau bahkan ditiadakan saja.
Di samping arif, dan konsisten, siswa memerlukan suatu teladan dalam berbahasa. Ini bukan semata tugas guru bahasa Indonesia. Semua guru wajib memberi teladan berbahasa yang baik dan benar. Begitu juga orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, media massa, buku-buku yang diterbitkan mempunyai andil yang besar untuk memberikan teladan dalam berbahasa.
Kiranya kekecewaan dan keprihatinan sang editor ini tidaklah berlarut-larut. Kita semua masih sayang dan cinta pada Bahasa Indonesia. Kita juga prihatin melihat nasibnya yang malang. Tugas dan tanggung jawab kita semua dalam mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia kepada generasi penerus bangsa ini. Mereka harus didampingi dan dibina agar menghargai dan menghormati bahasanya sendiri. Di tengah kompetisi modern dan global siswa kita tidak merasa inferior, tetapi merasa bangga dan percaya diri. Bahwa bahasa Indonesia menjadi identitas diri dan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Dengan demikian, kita diharapkan lebih giat dan proaktif dalam membina dan membiasakan siswa untuk belajar bahasa dan sastra Indonesia yang baik dan benar, sehingga Bahasa Indonesia jangan sampai pudar oleh ulah kita sendiri. Semoga.

Br. Gerardus Weruin, MTB guru SMA Santo Paulus Selengkapnya...

Guru : Model Pembelajaran BSI

Guru : Model Pembelajaran BSI

Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (BSI) di sekolah, guru memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi keberhasilan siswa. Walaupun sekolah mempunyai kurikulum yang baik, sarana dan prasarana yang lengkap, siswa yang pandai dan cerdas, tetapi guru kurang memiliki kemampuan dan kecakapan BSI, pembelajaran itu gagal. Sebaik apa pun kurikulum, sarana-prasarana yang lengkap, anak-anak yang kreatif, jika tidak ditunjang kompetensi guru, kemampuan berbahasa siswa tetap gagal.
Guru BSI tidak hanya menguasai konsep-teori, dan materi ajar. Guru harus memiliki kemampuan dan kecakapan berbahasa, sehingga menjadi model bagi siswa. Tujuan pembelajaran BSI bukan sekadar menguasai konsep-teori melainkan supaya siswa cakap dan terampil berbahasa. Pembelajaran BSI di sekolah saat ini masih menekankan konsep-teori yang berorientasi pada kognitif. Pengetahuan diperlukan siswa untuk membantu kelancaran dalam berbahasa. Siswa memiliki banyak pengetahuan BSI, tetapi tidak cakap dan trampil dalam berbahasa. Paradigma ini diubah karena pembelajaran BSI tidak terarah pada hakikat dan tujuannya.
Pembelajaran BSI sangat penting dalam kehidupan siswa. Dengan bahasa siswa dapat menyampaikan ide, gagasan, pendapat, perasaan dalam berkomunikasi sehari-hari. Melalui aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulislah, siswa dapat mempelajari ilmu pengetahuan. Akan tetapi, dalam pembelajaran BSI keempat aspek itu belum mendapat porsi yang maksimal. Siswa masih diajarkan konsep-teori dan materi tentang bahasa dan sastra. Bahkan pembelajaran BSI menjadi momok dan sangat membosankan karena siswa dijejal dengan latihan soal di buku lembaran kerja siswa (LKS) dan membahas soal untuk ujian nasional. Bagaimana mungkin siswa memandang pembelajaran BSI itu penting dalam hidupnya?
Untuk itu, guru harus menjadi model dalam pembelajaran BSI. Artinya guru harus menjadi contoh dalam hal menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan bersastra. Guru menjadi penyimak, pembicara, pembaca, penulis dan penggemar sastra yang baik, sehingga siswa lebih percaya akan apa yang diajarkan. Akan tetapi, tidak semua guru BSI cakap dan mampu. Bahkan sebagian guru BSI agak memaksa siswa supaya cakap dan terampil sementara ia sendiri tidak. Guru hanya terpaku pada halaman demi halaman buku pelajaran yang sudah siap pakai.
Taufik Ismail prihatin atas kondisi pembelajaran seperti itu. Terlebih dalam sastra ia mengharapkan agar ada paradigma baru pengajaran sastra. Guru harus membimbing siswa memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira. Kondisikan supaya sastra menjadi hal yang menyenangkan, sehingga siswa antusias dan merasa penting. Biasakan siswa menyimak, berbicara, membaca, dan menulis karya sastra berupa : puisi, pantun, cerita pendek, novel, roman, drama, dan esai. Guru mengajak siswa mengunjungi perpustakaan untuk membaca, mendiskusikan karya sastra. Selain itu, guru mengkondisikan kelas yang menyenangkan siswa untuk mengarang-menuliskan karya sastra. Pembelajaran BSI mestinya menyemaikan nilai-nilai positif dalam batin siswa sehingga merasa bangga, mencintai, dan pentingnya BSI dalam hidupnya.
Paradigma itu akan terlaksana bila guru menjadi model dalam pembelajaran BSI. Guru tidak hanya menyampaikan materi dari halaman-halaman buku teks dan pengetahuannya saja, tetapi harus bertolak dari pengalaman berbahasa dan bersastranya. Guru menceritakan pengalamannya menikmati bahasa, isi sastra, sehingga kegemarannya itu tergambar dalam dirinya. Nilai positif itu dipraktikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari dalam pembelajaran BSI sehingga menjadi panutan yang menyemaikan nilai-nilai positif di batin siswa.
Untuk melatih empat kecapakan dan keterampilan BSI kepada siswa, guru harus memberi contoh. Guru menjadi model dalam hal kebiasaan membaca, membacakan puisi di depan para siswa dengan suara, sikap, dan penjiwaan yang baik. Juga ia dapat membacakan cerita dengan intonasi dan bahasa yang tepat sehingga tokoh-tokohnya hidup dan mampu menarik perhatian siswa. Guru juga menjadi model pembicara yang baik. Ia dituntut terampil dalam berpidato, membawakan acara, diskusi, berpendapat, sapa-menyapa dengan berbahasa yang baik, kritik, dan sebagainya. Demikian juga, guru menjadi model dalam menulis, terampil menulis, dan menyajikan karya tulisnya. Dari karya tulis itu siswa dapat belajar bagaimana menggunakan tanda baca, menempatkan huruf kapital, membagi paragraf, menyusun paragraf, dan wacana. Guru dapat menulis bahan ajar, karya ilmiah, artikel, surat (email, blog dan web). Guru juga menulis sastra berupa puisi, pantun, cerita pendek, novel, drama, dan sebagainya. Contoh-contoh pengalaman berbahasa-bersastra guru tersebut setidak-tidaknya dapat menyakinkan dan mempengaruhi siswa mengikutinya. Hal itu karena guru tidak hanya bertolak dari materi di buku teks melainkan keluar dari pengalaman-pengalaman yang sangat berguna bagi siswa.

Pembelajaran BSI dewasa ini sepertinya kehilangan jejak bagi siswa. Ia mengetahui konsep-teori BSI, namun tidak cakap dan terampil berbahasa. Guru yang menjadi model untuk dicontohi ternyata gagal. Orang dewasa yang menjadi panutan pun susah. Siswa kehilangan model dan contoh berbahasa yang baik lagi. Model dan contoh berbahasa yang baik dan benar dalam pembelajaran BSI sangat diperlukan siswa saat ini. Karena ada gejala siswa-siswa kurang tertarik dan merasa penting belajar BSI di sekolah.

Di tengah hilangnya model dan contoh berbahasa ini, guru BSI-lah yang menjadi tumpuan bagi siswa dan masyarakat. Pembelajaran BSI harus memberi ruang gerak untuk latihan menyimak, berbicara, membaca, menulis dan bersastra. Pengetahuan BSI memang perlu untuk membantu latihan atas keempat ranah itu. Keberhasilan pembelajaran BSI di sekolah sangat ditentukan oleh guru bahasa dan sastra Indonesia. Guru yang memiliki kemampuan berbahasa yang baik akan menjadi model bagi siswa. Pembelajaran BSI akan berhasil baik kalau berpusat pada siswa. Karena bila siswa cakap dan terampil berbahasa akan menumbuhkan kecakapan dan keterampilan hidup berupa pengenalan diri, berpikir rasional, hidup sosial, akademik, dan dunia kerja.


Br. Gerardus Weruin, MTB guru SMA Santo Paulus Selengkapnya...