Selasa, 09 Juni 2009

Mari Berpantun

Mari Berpantun
Oleh : Bernardus Anen

Anak ikan dan anak kerudu
Banyak terdapat dalam perigi
Kalau program kerawam terpadu
Tahun depan bertemu lagi

Kalau membeli batu asah
Pilih saja yang merah tua
Walau hati kita berpisah
Kita tetap seia sekata

Bersantai-santai waktu pulang
Karena semua sudah beres
Pandai-pandai cari peluang
Dalam menentukan capres

Agak dekat sarang penyengat
Itu tarang di dahan landai
Satukan tekad bulatkan semangat
Agar tahan menentang badai

Buah cempedak enak rasanya
Setelah di makan ludes segera
Walau tidak bertanda jasa
Tetap tekun dalam berkarya

Nasi kuah enak dimakan
Karena dicampur bumbu kari
Selamat berpisah selamat jalan
Semoga panjang umur dan murah rejeki

(Pantun ini merupakan kesimpulan dalam pertemuan Kerawam di Tirta Ria, pada tgl 4-5 Juni 2009) Selengkapnya...

Generasi Minimalis dan Ambivalensi

Anak-anak merupakan generasi penerus masa depan suatu bangsa. Segala perjuangan, cita-cita dan harapan bangsa ada di pundaknya. Mereka mejadi aset dan sumber daya manusia bagi keluarga dan bangsa. Harga berharga ini haruslah kita jaga dan pelihara, sehingga mereka tumbuh berkembang dan belajar hidup secara wajar dalam menatap mas depan yang penuh optimis. Tanggung jawab dan perhatian akan masa depan mereka bukan semata-mata urusan keluarga melainkan pemerintah, sekolah dan lingkungan masyarakat. Persoalan masa depan mereka juga merupakan bagian dari persoalan hidup kita semua.
Kak Seto Mulyadi mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai dan menghargai anak-anak karena anak-anaklah pemimpin bangsa masa depan. Kata-kata saleh dan bijak ini memposisikan anak sebagi pribadi yang bermartabat. Anak bukanlah objek untuk dieksploitasi, dijadikan kelinci percobaan, dan botol kosong yang harus diisi oleh siapa pun sesuai selera dan kehendaknya sendiri. Anak tidak boleh diperlakukan seperti orang dewasa mini. Dunia anak mempunyai kekhasan tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Ia dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Dia merupakan pribadi unik yang memiliki kebutuhan, minat, kemampuan, dan kegemaran secara unik pula. Namun, orang dewasa belum begitu mengenal dan memahami kebutuhan anak-anak.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Apabila di tempat yang jauh pun tetap dikenal jenis pohonnya. Buah tetap mempertahankan identitas pohonnya. Demikian pula, orang tua dan anaknya. Orang tua mengakui bahwa anak merupakan bauah hatinya. Buah hati mempresentasikan bahwa anak dekat dan bagian darinya. Orang tua memberikan perhatian, kasih sayang, kepercayaan, kepercayaan, keamanan, penghargaan, penghormatan akan martabat, motivasi, pujian dan sebagainya kepada anak. Orang tua mulai menanamkan nilai-nilai hidup seperti : disiplin, kejujuran, kepekaan, solider, toleransi, ulet, tekun, sabar, kerja keras, dan sebagainya kepada anak di dalam keluarga. Anak-anak dibiasakan oleh orang tua tentang moral, etika, estetika, sopan santun, keharmonisan, keadilan, dan rasa percaya diri sejak dini. Hal-hal itu mestinya dapat dialami dan dirasakan anak-anak pertama-tama dan terutama di dalam keluarga.
Namun, dunia telah berubah. Orang tua sekarang super sibuk (karier) di luar rumah, sehingga nilai-nilai itu dapat digantikan oleh pihak-pihak lain. Misalnya Baby sister dapat mengambil peran orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak. Play group, tempat penitipan anak, dan sebagainya telah membius tanggung jawab dan perhatian orang tua. Di samping itu, sejak dini anak-anak telah digiring untuk mengikuti les-les baik di rumah maupun di luar rumah. Terlepas dari minat dan kegemaran anak, suka tidak suka, mau tidak mau anak dipaksakan untuk mengikuti kehendak orang tuanya dengan mengorbankan dunia bermainnya. Anak-anak pun dimanjakan dengan materi-materi yang menggiurkan. Semuanya itu hanya untuk meredam dan mempersempit ruang gerak anak. Ternyata tawar-tawaran itu tidak semuanya memuaskan kebutuhan anak dan dapat menggantikan peran orang tua dalam keluarga.
Dunai anak bukanlah dunia orang dewasa yang dibuat super sibuk untuk mengejar sesuatu. Dunia anak adalah bermain. Bermain yang diwarnai dengan keceriaan, kreatif, spontanitas, suka bertanya, punya imajinasi yang tinggi. Peta perhatian orang tua kepada anak tidak lagi pada for the best interest of the chlid, melainkan pada the best interest in the parent. Demi ambisi dan gensi orang tua akan masa depan anak, maka anak “dipaksakan” mengikuti kemauan orang tua. Apabila anak melakukan dalam keadaan terpaksa, takut, terancam, dan tidak bebas tentu saja hasilnya pun sangat minimalis. Ia melakukannya demi kesenangan dan kebanggaan orang tua agar tidak dimarahi dan dihukum. Berhadapan dengan nilai-nilai penghargaan dan penghormatan akan martabat, kepercayaan, mandiri, disiplin, jujur, kerja keras, dan sebagainya anak menjadi semakin ambivalensi dalam hidupnya. Memang tidak semua anak dan orang tua. Akan tetapi, orang tua belum sungguh-sungguh memahami dan mengenal akan kebutuhan, minat, kemampuan, kemauan, dan masalah-masalah yang dihadapi anak-anak pada zaman ini. Kegagalan ini mengisyaratkan suatu gejala bahwa pola dan gaya-gaya anak-anak pada zaman ini bermental minimalis dan ambivalensi.
Kegagalan pendidikan dalam keluarga belum terobati di sekolah. Lingkungan formal ini belum mampu sebagai jembatan antara rumah dan masyarakat. Sekolah belum (tidak) mampu menjadi wadah dan memberikan kesempatan kepada anak untuk tumbuh dan berkembang supaya belajar secara integrasi-holistik. Dari pihak pemerintah sampai pada para guru di sekolah hanya sibuk mengotak-atik perihal sistem pendidikan, kurikulum, buku pelajaran, materi pembelajaran, sistem penilaian, profesional guru, menejeman sekolah, dan sebagainya. Anak hanya mendapat sebutan subjek , tetapi makna ke-subjek-an-nya sungguh-sunggu tidak terpahami secara baik dan benar. Konteks kehidupan, kebutuhan, , minat, kemampuan anak, dan anak-anak yang dihadapi anak tidak terselami. Mencermati kebijakan pemerintah dan pelaksana kebijakan di sekola-sekolah bukan pertama-tama mengabdi kepada anak, tetapi justru mengabdi kepada atasan. Maka tidak heran pendidikan dan pengajaran bukan memberi kesempatan dan kepercayaan kepada calon pemimpin bangsa- generasi penerus bangsa, melainkan demi pihak yang berkuasa.
Anak dididik dan diajarkan bukan dengan tujuan untuk hidup yang bermoral, beretika, berestetika, sopan santun, etiket, menggunakan emosi yang baik, memiliki jiwa spiritual yang tinggi, berbudaya, tetapi lebih pada alasan ekonomi belaka. Fenomena itu memunculkan adagium bahwa buat apa sekolah bila tujuannya mencari uang? Andrias Harefa (2002) telah melontarkan kritikan bahwa sekolah kita hanya melahirkan ”generasi sarimi” yang ”ketagihan sekolah”. Dalam bukunya Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, ia memaparkan bahwa generas kita telah kehilangan daya kritis dan kreatif bila memasuki dunia kerja. Mereka seperti monyet yang terlatih mengikuti intruksi dan perintah sang majikan agar kebagian ”hadiah” (uang, jabatan, proyek KKN, dan sejenisnya).
Menurut Harefa, penjara adalah ”sekolah” para bandit dan penjahat tulen. Sebagian besar bandit yang keluar dari penjara tidak menjadi manusia yang insaf dan bertobat, tetapi semakin mahir melakukan kejahatan dan semakin sering melakukannya tnpa harus ditangkap. Mungkin ada benarnya, karena sistem pendidikan kita ini lebih menekankan aspek kognitif (kepandaian otak), sedangkan asfek afektif (emosional) dan psikomotoriknya terabaikan. Maka salah kaprah bila kita mengukur tingkat keberhasilan anak berdasarkan hasil nilai ujian nasionalnya. Kita telah terjebak oleh reka-reka dan yasa-yasa proyek itu. Kehadirnya UN telah banyak menyedot perhatian, tenaga, waktu, bagi guru dan peserta didik serta tidak sedikit uang demi proyek itu. Guru-guru dan anak-anak telah dihipnotis dengan gaya UN standar tertentu yang hampir setiap hari bukan belajar melainkan latihan soal dan latihan menyontek. Bahkan dengan adanya standar UN tertentu membius orang tua siswa sehingga mencari les-les tambahan dan try out bagi anaknya dalam menghadapi UN. Semuanya itu dihantui rasa takut, khawatir, dan cemas akan nasib anak-anaknya. Sementara anaknya sendiri berusaha semangat minimal karena tidak mampu lagi, tetapi dipaksakan supaya bisa. Ternyata dari hasil NEM tercium ada praktik yang amoral, segala cara bisa ditempu yang penting halal. Sungguh suatu tindakan yang membuat citra pendidikan yang semakin kehilangan identitas dan kepercayaan dirinya. Anak-anak menjadi semakin ambivalensi menyaksikan sandiwara tujuan dan arah pendidikan bangsa ini. Kita kehilangan makna dan hakikat proses pembelajaran yang hanya memburu selembar kertas (ijazah dan NEM) bukan keterampilan dalam hidup. Proses pembelajaran dalam arti sesungguhnya telah direduksi maknanya. Sangat disayangkan anak belajar dalam suasana dan kondisi yang minimalis dan ambivalensi.
Lingkungan masyarakat mempunyai andil yang sama. Ia bukan menjadi tempat bersosial yang aman, sejuk dan hangat bagi anak-anak untuk berekspresi kebebasannya. Anak justru terjerumus dalam lembah hitam. Kekerasan, teroris, obat-obat terlarang, pergaulan bebas, semaraknya perselingkuhan dan perceraian, perjudian, korupsi, dan eksploitasi lingkungan hidup yang disaksikan anak. Belum lagi gaya hidup zaman modern yang diwarnai dengan materialisme, konsumerisme, hedonisme, dan mengagung-agungkan prestasi, gelar kekuasaan yang diperoleh dengan uang. Nilai uang menjadi penentu segala kesuksesan dan tujuan hidup. Relasi antarsesama dibangun bukan pada tataran solider, toleransi, persaudaraan, melainkan pada perhitungan ekonomis (uang). Di sisi lain, tayangan iklan-iklan di tv telah mengubah identitas diri anak-anak. Mereka lebih percaya diri bila tampil seperti dalam layar kaca yang maya. Iklan memberi mereka sebuah gambaran diri dan hidup yang palsu, yang lebih mendewakan tubuh dari pada penerimaan diri apa adanya. Sadar tidak sadar semuanya itu telah membentuk kepribadiannya sebagai generasi penerus keluarga dan bangsa ini. Menyaksikan itu semua mereka menjadi sangat minimalis dan ambivalensi.
Apa yang didapat dari keluarga, sekolah, dan lingkungan masyrakat sangat kontradiksi dengan realitas hidupnya. Tidak ada suatu kebenaran yang pasti. Ia hanya bergulat dengan dirinya yang dari hari ke hari tiada terbebaskan dengan masalah. Ia harus tumbuh-berkembang dan belajar hidup dalam keterpaksaan demi kehendak dan kemauan orang lain. Rasa takut, cemas, bingung, stres, depresi dan bunuh diri sudah enjadi bagian dari hidupnya. Ia berusaha bertahan dalam hidup dengan sikap yang minimalis dan ambivalensi tanpa ada yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan dan persoalan hidupnya. Dunianya adalah dunia orang dewasa mini. Sampai kapankah anak harus tumbuh dan berkembang serta belajar hidup seperti ini?
Begitu banyak paradoksal di depan orang dewasa yang disaksikan anak setiap hari. Anak mulai merekam, menyimpan bahkan meniru perilaku orang dewasa. Hidup mewah, mandiri, tetapi tidak merasa bahagia. Mereka mencari makna hidup ke mana-mana termasuk narkoba, pergaulan bebas, namun tidak menemukannya. Hidup mewah dan modern justru menyebabkan mereka ’lapar dan haus’ akan banyak hal. Krisis spiritual, kasih sayang, ketenangan jiwa, hidup yang tidak bermakna (meaningless life) banyak melanda anak-anak. Ia ada di pihak lemah yang tidak mampu melawan. Sebutannya subjek namun diperlakukan sebagai objek yang kurang dihargai, dicintai, dan dipercayai.
Khalil Gibran pernah berkata anak bukan milik kita. Mereka adalah anak panah dan kita busurnya. Kebebasan anak tidak boleh dirampas oleh arah busur hidup yang salah. Hari depan mereka jangan disesatkan oleh ambisi dan keinginan orang dewasa. Pesan ini membuka cakrawala kita bahwa kita harus belajar memahami dan mengenal dunia anak. Kita harus belajar menyelami kebutuhan, minat, kegemaran, dan kemampuan anak. Dengan demikian, kita memberi ruang gerak kesempatan dan kepercayaan kepada generasi penerus bangsa ini untuk tumbuh-berkembang dan belajar hidup secara benar. Jika tidak generasi mendatang sangat minimalis dan ambivalensi. Untuk itu, kita perlu mengagendakan dan memetakan program pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebutuhan dan kemampuan anak sesuai perkembangan globalisasi ini dengan tidak mehilangkan budaya kita. Apabila terabaikan generasi masa depan ini akan terasing dengan budayanya sendiri dan kehilangan identitas dirinya.

Br. Gerardus Weruin, MTB Selengkapnya...