Jumat, 22 Januari 2010

CARA MEMBUAT MAJALAH SEKOLAH

YUP, Kamu dan teman-temanmu sudah ngebet mo bikin majalah atau buletin sekolah. Sebenarnya Majalah dan Buletin itu memiliki perbedaan lho but any bus way tuk JOB DESCRIPTION kita standartkan saja ok’s. Cari Bocoran informasi dana dari Pembina majalah sekolah. Berdasar informasi tersebut, kamu dapat memprediksi majalah sekolahmu nanti kayak apa. Hal yang penting untuk dipersiapkan sekarang adalah menyusun kepengurusan beserta tanggung jawabnya alias tugas-tugasnya (penting nich: berdasarkan pengalaman penulis ini adalah pondasi awal yang harus dibentuk dengan sebaik mungkin), trus setelah itu membuat proposal.


Tugas-Tugas Pasukan
Sebelum berangkat ke medan tempur bikin majalah sekolah, kamu perlu nyiapin pasukan. Pasukan majalah sekolah kudu dirancang sedemikian rupa sehingga formasinya bagus agar misi bikin majalah sekolah ini berhasil dengan baik. Nah, ini dia formasi pasukan masel(majalah sekolah) beserta tugas-tugasnya, semoga ini bisa membantu. Ini nih perinciannya:
Pemimpin Umum, Biasanya kepala sekolah.
Pembina, Biasanya guru bahasa Indonesia atau orang yang mengerti jurnalistik .
Pemimpin Redaksi
Pemimpin redaksi bertanggung jawab terhadap mekanisme dan aktivitas kerja keredaksian sehari-hari. Ia harus mengawasi isi seluruh rubrik majalah sekolah yang dipimpinnya. Ia yang harus mengkoordinasi seluruh anggota tim majalah sekolah serta mengatur agar setiap kegiatan masing-masing anggota timnya berjalan selaras saling melengkapi. Ia juga yang kudu berkonsolidkasi dengan Pembina tentang kebutuhan atau kesulitan dalam penerbitan masel.

Redaksi
Yang dipimpin pemimpin redaksi tentu adalah tim redaksi. Namanya tim, tentu anggotanya enggak Cuma satu orang. Betapa berat beban bikin majalah sekolah jika yang menggarap Cuma 1 redaksi. Bagusnya, 1 anggota tim redaksi majalah sekolah Cuma bertanggung jawab terhadap 1 atau 2 rubrik. Lebih dari itu bisa mengganggu kewajiban belajar pelajaran sekolah. Intinya, redaksi bertanggung jawab terhadap penyediaan naskah. Naskah harus ia sediakan entah dengan menulisnya sendiri atau menyeleksi dari kiriman siswa-siswa lain. Jika menyeleksi dari kiriman siswa, ia juga diharuskan menyuntingnya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan redaksi.
Melihat kerja redaksi di atas, seorang redaksi hendaklah tahu -minimal punya rasa ingin tahu- bagaimana mengkomunikasikan ide dalam bahasa tulis yang mudah dimengerti. Ia juga harus punya rasa ingin tahu tentang bagaimana menggunakan bahasa yang baik dan benar, termasuk masalah tata tulis.
Sebenarnya, termasuk dalam redaksi ini adalah reporter dan desainer grafis. Agar lebih jelas, deskripsi tugas 2 kru terakhir ini dijabarkan tersendiri.

Tim Reporter
Ada yang berpendapat reporter merupakan bawahan redaksi. Dalam jurnalisme umum atau surat kabar bisa saja begitu. Tapi dalam jurnalisme sekolah, agak repot ‘membawahkan’ reporter. Lebih enaknya reporter itu ya bagian dari redaksi.
Lalu ngapain reporter ‘dibedakan’ dengan redaksi?
Kerja reporter lebih terfokus pada liputan berita, ia bertanggung jawab mencari, melaporkan atau meliput peristiwa atau pendapat penting sesuai dengan visi misi majalah sekolah. Reporter lebih banyak bekerja di lapangan. Walaupun demikian, ia hendaknya menyerahkan hasil liputan dalam bentuk artikel liputan yang sudah bagus alias siap tampil di majalah. Rubrik-rubrik di mana para reporter bertanggung jawab adalah liputan kegiatan sekolah, wawancara, liputan kegiatan luar sekolah, dan semacamnya.

Apakah tim reporter harus dibuat secara khusus?
Bisa ya bisa tidak. Dalam praktiknya, ada rubrik yang kurang membutuhkan peliputan. Misal, rubric iptek, agama, opini, kiat, dan sebagainya. Seorang redaktur bisa membuatnya tanpa angkat kaki dari sekolah. Ia bisa memperoleh sumber penulisan rubric semacam di atas dari buku atau browsing internet. Ada juga rubrik yang butuh banget sama peliputan: misal laporan kegiatan sekolah atau wawancara tokoh tertentu. Ada juga rubric yang kudu digarap bersama, antara reporter dan redaksi non-liputan, missal: bahasan utama atau tema utama.
Dengan ilustrasi kerja yang demikian, baiknya, tim reporter dibuat secara khusus agar kerja mereka lebih fokus. Deskripsi tugas mereka adalah meliput suatu berita dan mengemasnya sampai siap tampil di majalah. Untuk kerja reporter, hendaknya dipilih kru redaksi yang berani, bersemangat, optimis, tahu sopan santun, dan mampu membangun komunikasi dengan orang lain (baca: asing/belum dikenal) dengan baik.

Tim Desain
Sebenarnya teman-teman yang berada dalam tim ini masih termasuk lingkup redaksi. Dalam jurnalisme umum, mereka biasa disebut sebagai redaktur artistic. Tugas mereka adalah menata letak tulisan-tulisan dari redaktur agar tampil apik dibaca. Mereka pula yang bertugas untuk memberi ilustrasi pada setiap rubrik. Desain per rubrik juga menjadi tanggung jawab mereka. Yang dimaksudkan dengan desain di sini adalah apakah pada rubrik anu itu memakai gambar latar belakang atau tidak, diberi header/footer atau tidak, dan sebagainya. Termasuk tugas tim ini adalah bikin cover majalah.
Sebaiknya, tim desain ini pula yang mengurus segala hal berkaitan majalah sekolah sampai sebelum naik cetak alias naskah siap cetak. Soalnya, kadang-kadang komputer yang kita gunakan tidak sesuai dengan standar komputer percetakan, akibatnya bisa saja warna jadi berubah (terlalu tua, terlalu muda), font hilang, gambar geser, dan lain sebagainya.
Para kru tim desain ini hendaknya orang yang memang bakat dalam bidang desain grafis. Di antara mereka sebaiknya ada yang pinter menggambar manual, teman kita yang seperti ini cocok dipasang sebagai illustrator. Selain illustrator, sebaiknya ada juga yang bisa mengoperasikan perangkat lunak desain seperti Adobe Indesign, Photoshop, Freehand, CorelDraw. Sebaiknya tidak sekadar bisa saja, ia tetap harus punya sense of art. Perangkat-perangkat lunak seperti itu hanyalah alat. Yang penting tetap saja the man behind the gun-nya.
Jadi, tim desain tapi belum bisa menggunakan perangkat lunak seperti itu? Buku-buku yang memberi petunjuk pengoperasian perangkat lunak seperti ini mudah didapat di toko-toko buku dan jalan terakhirnya kamu minta desainkan sama orang lain/percetakan.

Kru Opsional
Selain kru utama di atas, sebuah majalah sekolah boleh saja punya kru tambahan atau opsional -boleh punya, boleh juga tidak.
Contoh kru opsional yang mungkin saja diperlukan adalah bagian iklan. Siapa tahu Pembina majalah sekolahmu mengizinkan majalah sekolah untuk cari dana selain dana dari sekolah. Nah, kalo demikian, tentu iklan jadi bagian penting buat kelancaran hidup majalah sekolahmu. Untuk menangani iklan dengan baik, perlu dibentuk tim tersendiri.
Membuat JADWAL KERJA
Buatlah jadwal kerja, mulai rapat redaksi hingga naik cetak. Ikuti alur kerja berikut:

* News planning (rapat redaksi, membahas rencana isi masel atau bulletin, missal tiap tanggal 1 sekaligus evaluasi edisi sebelumnya).
* News hunting (pengumpulan data atau bahan-bahan tulisan, bisa melalui wawancara atau studi literature).
* News writing (pengolahan bahan tulisan menjadi tulisan alias menulis naskah)
* News editing (penyutingan naskah, koreksi, dan penyesuaian naskah dengan space/kolom yang tersedia).
* Lalu masuk ke Design Graphic (layout, artistic, ilustrasi) dan masuk ke percetakan (printing).
Dengan alur kerja seperti itu, insya allah kegiatan belajar tidak terganggu. Tentukan jadwal, misalnya rapat redaksi tiap tanggal 1, deadline tanggal 20, layout tanggal 21-22, masuk percetakan 23-24, selesai dah tinggal membagikan!

Bikin Proposal
Setelah kru terbentuk, susunlah proposal penerbitan majalah sekolah. Proposal ini penting buat bukti kalo kamu mo serius ngurusinnya. Terus juga buat semacam panduan kerja kamu untuk sementara.
Apa saja isi proposal penerbitan majalah sekolah ini?
Yang penting, proposal itu harus mengandung unsur-unsur berikut ini:

Latar Belakang
Bagian ini merupakan pengantar proposal. Jelaskanlah di sini mengapa sekolah kamu sudah memerlukan adanya majalah sekolah. Misalnya, karena siswa-siswa sudah membutuhkan media untuk menyalurkan aspirasinya, atau karena media majalah dinding sudah dianggap tidak mencukupi lagi untuk menampung aspirasi dan kreativitas siswa.
Sebutkan juga alasan kamu memilih bentuk majalah untuk mewujudkan media penerbitan berkala di sekolah ini. Kamu bisa mengutip tulisan di rubric ini sebelumnya tentang plus minusnya bentuk majalah sekolah. ?

Tujuan Pembuatan Majalah Sekolah
Sebutkanlah tujuan dan manfaat adanya majalah sekolah, misal: mewujudkan media sebagai tempat mengasah ketrampilan berbahasa yang baik dan benar, menjembatani jurang komunikasi antarsiswa, antara siswa dan guru, antara siswa dan alumni, dan antara itu semua, dan sebagainya.
Nama dan Slogan
Ketika proposal penerbitan dibikin, majalah sekolah kamu (se)harus(nya) sudah punya nama. Masak di proposal belum ada namanya? Masalah nama bisa kamu rapatin sesama timmu dan juga jangan lupa diusulkan dulu ke Pembina lho. Soalnya, nama ini juga masalah sensitive. Nggak boleh berkonotasi negative, bermuatan merendahkan kehormatan orang/kelompok lain, dll, dsb. Terus, sebutkan juga mengapa kamu memilih nama tersebut. Tentu dong nama majalah sekolahmu harus punya arti dan filosofi. Masak pilih nama begitu saja?
Slogan seharusnya juga punya. Slogan adalah kata-kata atau seruan yang mengekspresikan ide, motivasi, semangat, dan tujuan suatu organisasi -dalam konteks ini adalah majalah sekolahmu itu. Terangkan pula makna sloganmu itu apa.
Oh, ya, masalah slogan ini juga kamu rembug bersama dan kamu komunikasikan dengan bapak ibu Pembina.

Karakteristik Majalah
Sebutkan karakteristik fisik majalah sekolah yang ingin kamu buat itu. Sebutkan ukurannya (berapa mm kali berapa mm), posisinya tegak atau landscape, tebalnya, jenis kertas kovernya, jenis kertas isinya, halaman warna berapa persen, jilid pake lem atau benang atau stapler. Terangkan pula periode penerbitannya (berapa bulan sekali), waktu penerbitannya kapan, juga sekali terbit berapa eksemplar.

Rubrikasi
Datalah rubrik apa saja yang kamu rencanakan untuk tampil di majalah sekolahmu. Tidak hanya namanya saja, tapi juga deskripsi rubric tersebut. Misal rubric Iptek, membahas tentang informasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Nama rubrik tidak harus lugas. Misal saja, rubrik Iptek tidak harus bernama iptek, bisa saja: saintika.

Struktur Organisasi
Tulislah kepengurusan majalah sekolah ini, jabatan apa dipegang oleh siapa. Tulis juga masa jabatannya, biasanya setahun. Yang ini bisa juga diletakkan di lampiran.

Anggaran
Ini penting. Jangan lupa. Tuliskan pemasukan danamu berasal dari mana saja. Tulis juga pengeluaran danamu untuk biaya apa saja. Pihak sekolah tentu akan perhatian banget dengan yang ini.

IKLAN
Iklan ini berguna bagi pemasukan majalah sekolah kamu. Caranya kamu buat proposal seperti diatas dan tambahkan perjanjian-perjanjian harga kesepakatan, surat kesepakatan. Untuk mencari iklan, pasang dulu iklan pancingan, gratis dulu bila perlu. Kamu juga harus memperhitungkan iklan-iklan apa saja yang layak di iklankan, jangan sampek iklannya rokok misalnya, bisa berurusan sama pihak sekolah nanti. Selamat bikin majalah sekolah dan buletin!

Elvigto (Sumber: pengalaman penulis, www.huzaifah.org, www.irvansyaiban.wordpress.com)


Selengkapnya...

UN Meningkatkan Mutu Pendidikan?

Harap-harap cemas, takut, pesimis itulah perasaan peserta didik dalam menanti hasil ujian nasional (UN). Bukan hanya peserta didik saja, tetapi para guru, kepala sekolah, orang tua murid, dan pihak yang terkait (stakeholder) pun merasakan yang sama. Perasaan ini karena hasil UN sangat berpengaruh untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, seperti dari SD ke SMP, SMA dan perguruan tinggi. Hasil UN juga menjadi tolak ukur kinerja para guru dan kepala sekolah. Sumber daya guru dan kepala sekolah menjadi pertaruhannya, sedangkan sekolah mendudukan prestasi UN sebagai ajang pertarungan reputasinya di mata masyarakat dan pemangku kepentingan (dinas pendidikan dan pemerintah daerah). Selain itu, hasil UN menjadi indikator mutu pendidikan sekolah-sekolah di tanah air kita.

Namun, pernahkah kita berintrospeksi atas eksistensi UN? Jika UN tetap dipertahankan, kita akan bertanya-tanya ke manakah arah pendidikan di tanah air ini? Umpan balik dari UN selama ini tidak memberikan kontribusi yang handal, cerah ke arah peningkatan mutu pendidikan yang signifikan dan komprehensif. Bahkan justru UN mematikan roh pendidikan kita. Tidak sedikit dampak negatif yang dialami dalam pendidikan. Dalam realitas, UN hanya mengaburkan proses pembelajaran, peserta didik, dan pendidik itu sendiri.


Dalam Proses Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran peserta didik hanya menjalani latihan soal. Selama di kelas terakhir peserta didik dibekali dengan prediksi, bayangan soal-soal, cara cepat dan tepat dalam menjawab. Tidak cukup waktu di dalam kelas, peserta didik harus mengikuti bimbingan belajar baik di sekolah maupun luar sekolah. Selain itu, ada juga peserta didik mengikuti les privat. Setelah menempuh cara-cara belajar yang demikian itu, peserta didik mengikuti try out. Bahkan try out diadakan beberapa kali. Alhasil, bukannya meningkat malah semakin menurun, hanya beberapa peserta didik yang siap.

Proses pembelajaran lebih berkonsenrasi dan berorientasi pada UN. Pembelajaran dikondisikan bergaya instant, karbit, tanpa cara berpikir yang benar, dan nilai-nilai hidup. Cara ini menciptakan peserta didik untuk bersikap curang. Bahkan guru, kepala sekolah dan pihak terkait pun ikut curang. Demi mencapai target angka lulus kita mendengar ada yang menyontek, boncoran jawaban, dan sikap tidak jujur pun tetap ditempuh. Pelaksanaannya hanya mendatangkan ‘sakit’ bagi peserta didik dan guru. Secara fisik peserta didik mulai sakit seperti flu, demam dan pusing. Secara psikis siswa dan guru pun merasa takut, grogi dan stres. Sangat disayangkan, peserta didik dalam proses pembelajaran sampai dengan evaluasi harus ‘menderita’ baik fisik maupun psikis. Inikah cara kita meningkatkan mutu pendidikan?
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mengisyaratkan model pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran berpusat pada peserta didik. Pendidik sebagai fasilitator dan motivator, sehingga peserta didik menjadi inisiatif, aktif, kreatif, dan inovatif. Maka proses pembelajaran dan penilaian harus integral. Model penilaian harus bertolak dari proses pembelajaran. Jika proses pembelajaran dengan fasilitas, sarana prasarana yang sangat terbatas di setiap daerah, SDM guru yang berbeda, kemampuan peserta didik yang heterogen, kita perlu berpikir lagi tentang UN. Karena UN hanya menetapkan standar nilai yang harus dicapai siswa. Apalagi soal-soal UN sangat terbatas (limitative), sehingga tidak terakomodasi kemampuan peserta didik yang komperhensif. Bahkan UN kurang adil karena membuat dikotomi terhadap mata pelajaran yang dipelajari peserta didik. Ada sejumlah mata pelajaran, tetapi yang diujikan hanya beberapa saja. Maka sebenarnya UN mengabaikan disparitas kondisi di tiap daerah. Standar bukan soal nilai-angka kelulusan melainkan fasilitas, sarana prasarana dan SDM guru-guru yang berkualitas.

Dalam kelas pendidik tidak lagi mengikuti rambu-rambu dalam KTSP. Semuanya itu karena tuntutan UN lain. Demi UN, pendidik melaksanakan pembelajaran dengan model latihan dan membahas soal-soal baik dari buku teks, LKS ataupun soal-soal UN yang silam. Bahkan pembelajaran hanya terfokus pada kisi-kisi materi UN. Tidak heran pembelajaran sangat monoton dan membosankan peserta didik. Bentuk pembelajaran seperti itu hanya menurunkan kredibilitas pendidik, sehingga peran ini ‘tergantikan’. Masyarakat mulai membuka praktik ‘bimbingan belajar’ bagi peserta didik untuk menghadapi UN. Bahkan peserta didik lebih mengandalkan bimbingan belajar daripada pembelajaran di dalam kelas lagi.
Di sisi lain, kredibilitas pendidik semakin diragukan manakalah pemerintah melibatkan pihak-pihak lain untuk mengawas-memantau pendidik dalam pelaksanaan UN. Pihak pemantau independen dari perguruan tinggi, kepolisian, dinas pendidikan secara bersama mulai memantau kerja pendidik dalam UN. Akibatnya pendidik pun menjadi takut, grogi dan tidak bebas lagi dalam bertugas. Hasil pekerjaan siswa tidak dikoreksi guru, tetapi dengan scan. Walaupun canggih dan baik harus diakui scan tetap ada kekurangannya. Dan hasilnya tidak pernah dikembalikan kepada siswa atau guru. Mereka hanya mendapat nilainya di atas kertas. Apa motif semuanya ini? Yang jelas pendidik sudah mulai kehilangan akan wibawa dan kredibilitasnya. Jika sistem pendidikan dan pengajaran kita seperti ini, benarkah UN itu meningkatkan mutu pendidikan? Realitas pembelajaran di sekolah dan sistem pendidikan yang berlaku sangat kontradiksi. Pendidikan kita tidak lagi konsisten dan komitme dalam pembelajaran dan penilaian, bagaimana mungkin UN menjadi tolak ukur mutu pendidikan?

Dampak bagi Sekolah

UN memberi dampak bagi sekolah secara positif dan negatif. Jika persentase kelulusan UN mencapai 100%, sekolah tersebut dinilai bermutu. Reputasinya baik dan dipercayai masyarakat. Orang tua akan antean mendaftarkan anaknya. Sekolah tersebut akan mendapat peserta didik yang terselesksi (bibit unggul). Sebaliknya, jika persentase kelulusan tidak mencapai 100% sudah jelas sekolah itu tidak bermutu. Masyarakat kurang percaya lagi pada sekolah tersebut. Maka orang tua pun ragu-ragu menyekolahkan anaknya. Apalagi dalam pelaksanakan UN terendus sekolah itu curang (tidak jujur) kepala sekolah siap diganti atau pindah dan sebagainya.
Benarkah mutu pendidikan sekolah hanya diukur dengan hasil UN? Masih banyak unsur yang harus dicermati lagi. Aspek kemampuan peserta didiknya, keprofesionalan pendidik, penerapan kurikulum dan model pembelajaran, sarana dan prasaran pendukung, dana dan sebagainya perlu ditinjau lagi. Pendidikan tidak mengejar target nilai atau angka yang distandarkan supaya lulus, tetapi membantu peserta didik dalam kehidupannya. Non schole set vite dicimus. Itulah tugas esensial pendidikan di sekolah. Sebab kalau tidak disiapkan dengan baik, peserta didik tidak mampu bersaing yang pada akhirnya menambah pengangguran dalam masyarakat. Selain itu, peserta didik akan kehilangan identitas dirinya, budaya bangsanya karena nilai-nilai kemanusiaannya terabaikan.

Perbaiki Mutu Pendidikan

Usaha memperbaiki mutu pendidikan di tanah air ini bukan semata-mata dengan mengadakan UN. Usaha itu sangat tidak substansial. Yang patut diperhatikan bersama, yakni kita harus konsisten dan komitmen antara kurikulum, kebijakan, dan sistem pendidikan. Jika tetap rancu dan ambivalen, pendidikan kita tetap terpuruk dan tidak mampu bersaing dalam percaturan global dan modern ini.
Untuk itu, perlu revitalisasi dan restrukturisasi UN dalam pendidikan kita. Pelaksanaan UN harus ditinjau kembali. Selain itu, perlu adanya perubahan paradigma bahwa UN bukanlah cermin mutu pendidikan. Bebaskan UN dari berbagai kepentingan dalam pendidikan. Karena UN tidak ‘adil’, ia telah mengikis nilai-nilai pendidikan bagi peserta didik. Untuk memperbaiki mutu pendidikan, konsentrasi dan orientasi kita bukan pada UN, tetapi lebih pada pendidik, fasilitas, sarana dan prasarana serta dana yang memadai.

Perhatian berikutnya, yaitu pendidik. Karena guru merupakan garda terdepan pendidikan formal. Kita mempunyai kurikulum yang bagus, sarana dan prasarana yang lengkap, dana yang cukup, tetapi pendidik tidak profesional tetap nihil. Kita membutuhkan figur pendidik bukan hanya profesional, tetapi mempunyai hati untuk mendidik dan mengajar. Maka perlu pemberdayaan sang guru dalam tugas pendidikan dan pengajaran. Pengembangan diri sang guru menjadi profesional, sehingga menjadi kritis, kreatif, inovatif, dan kompatibel menghadapi tantangan zaman ini. Selain itu, guru juga dibekali dengan nilai-nilai hidup, sehingga ditularkan kepada peserta didiknya. Dalam bertugas, guru harus otonomi tanpa intimidasi dari berbagai pihak demi kepentingan tertentu.

Akhir kata, perlu ada perubahan paradigma tentang UN. UN bukan untuk menentukan mutu pendidikan, tetapi lebih sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, hadirnya UN bukan menakutkan semua pihak. Peserta didik, guru, sekolah, masyarakat, dinas pendidikan, pemerintah tidak lagi terbeban dengan UN. Semua pihak dengan tenang dan senang hati menjalani UN. Praktik-praktik kecurangan dan intimidasi antarberbagai pihak tidak terjadi lagi. Di samping itu, sistem dan kebijakan pemerintah harus konsisten dengan kurikulum, sarana prasarana, pendidik, peserta didik, dan dana yang diperlukan. Dengan memperhatikan semua aspek tersebut, pelaksanaan UN akan memotivasi dan memacu semua daerah untuk berkompetisi secara sehat, sehingga mendapat gambaran perkembangan pendidikan di tanah air ini. Semoga.

Gerardus Weruin, MTB SMA Santo Paulus.


Selengkapnya...