Jumat, 17 Oktober 2008

Dongeng : Menanamkan Empati pada Anak

Pendidikan di sekolah kita akhir-akhir ini lebih menekankan pada kognitif atau ilmu pengetahuan. Walaupun disadari bahwa manusia (siswa) tidak hanya memiliki kecerdasan inteligensi, tetapi memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Dalam proses pendidikan kecerdasan kognitif masih lebih diutamakan. Akibatnya kecerdasan emosional dan spiritualitas terabaikan. Penanaman kecerdasan kognitif pun tidak pada proses yang sebenarnya melainkan dengan cara-cara karbit atau instan. Siswa dibiasakan dengan menghafal dan menebak jawaban yang benar. Mereka tidak dibekali dengan cara-cara berpikir yang baik dalam menyelesaikan suatu problem. Bahkan jarang menemukan siswa yang menggunakan cara berpikir yang logis dan sistematis. Pengetahuan anak hanya sebuah karbitan belaka.


Dewasa ini guru dan orang tua mengeluh bahwa anak yang cukup cerdas namun kurang peka terhadap perasaan orang lain. Keluhan seperti itu wajar karena anak-anak dikondisikan berinteraksi serba kompetitif dalam hal kognitif (baca juara-rangking). Hal itu berpengaruh secara signifikan terhadap problem-problem emosional dan ketidakmampuan anak dalam berempati. Lantas, apakah dengan demikian anak yang salah, sekolah yang salah menanamkannya, ataukah orang tua dan lingkungannya? Cukup disadari bahwa kita belum memperhatikan kecerdasan emosional dan sosial-spiritual. Kita masih mengagungkan kecerdasan kognitif pada anak sehingga kecerdasan yang lain menjadi korban.


Kita dapat memaklumi bahwa sebagian besar institusi sekolah formal telah mengikuti arus sistem pendidikan itu. Maka patut kita refleksikan bahwa tidaklah bijaksana sekolah formal tenggelam dalam arus demi prestasi di tengah kompetisi dengan sekolah lain. Hal mendasar yang harus diperhatikan bahwa usia tertentu anak-anak merupakan episode penting dan kritis bukan hanya dalam membentuk kecerdasan kognitif melainkan kecerdasan emosional, sosial atau spiritual. Ketiga aspek tersebut sangat vital demi kelangsungan perkembangan hidup anak menuju kedewasaan dan kematangan sebagai pribadi. Aspek-aspek tersebut harus mendapat perhatian yang proporsional sehingga tidak membentuk kepribadian yang pincang.


Handal dalam kecerdasan kognitif itu penting untuk menopang kompetensi dirinya secara individual. Di sisi lain, handal dalam kecerdasan emosional, sosial, spiritual pun sangat penting perannya bagi anak. Dengan kecerdasan itu anak mampu mengembangkan kemampuan berempati dengan sesama dalam hidupnya. Kemampuan berempati adalah anak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, termasuk mampu untuk menempatkan diri dan merespon sesuai dengan perasaan dan situasi yang dialami orang lain. Kemampuan tersebut bersifat universal. Di sinilah diperlukan kebijaksanaan dan kearifan dari sang guru. Di satu pihak menjadi peluang dapat berdongeng dan bercerita-cerita, tetapi di pihak lain menjadi tantangan besar karena di lapangan sudah pusing dengan tuntutan dari birokrasi pendidikan.


Mengharapkan guru saja dalam menanamkan kecerdasan emosional dan sosial-spiritual sepertinya berat. Diperlukan berbagai pihak secara bersama untuk membentuk kecerdasan emosional dan sosial itu. Pertama dan terutama tentu peran orang tua di rumah. Momen masa peka dan kritis anak jangan sampai terlewatkan. Membentuk dan menanamkan kemampuan anak berempati dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya orang tua memberikan pola pengasuhan yang tepat, memberi contoh dengan tindakan konkret yang dilihat anak, mendongeng atau juga sharing bersama dalam keluarga. Selain itu, pola pengasuhan yang demokratis yakni interaksi dialogis, kehangatan, saling mendengarkan, menghindari disiplin yang kaku dan sistem hukuman dengan kekerasan. Hukuman dan kekerasan hanya menciptakan konsep diri yang negatif pada anak.


Lawrence Kutner PhD, ahli jiwa mengatakan dongeng dapat mengarahkan anak memasuki berbagai pengalaman kehidupan yang menyentuh. Anak dapat memetik hikmah dari dongeng tersebut. Anak juga dapat mengindentifikasikan dirinya dengan sang tokoh dalam dongeng tersebut. Hampir semua anak menyukai dongeng dan cerita-cerita. Tentu saja tema dongeng dan cerita-cerita itu disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia mereka. Di samping dongeng dan cerita, untuk menumbuhkan kemampuan empati pada anak dapat dirangsang dengan bermain peran (role playing). Anak bermain peran dan orang tua berperan sebagai patner atau fasilitatornya. Dengan bermain peran, anak secara langsung terlibat dalam situasi empati tertentu, baik sebagai pemberi empati maupun penerima empat. Mudah-mudahan guru-guru dan orang tua dapat mendongeng bagi anak-anak.

Gerardus Weruin, mtb guru SMA Santo Paulus

Tidak ada komentar: