Jumat, 17 Oktober 2008

Perpustakaan dan Budaya Membaca

Perpustakaan merupakan gudang ilmu. Hampir setiap sekolah pada umumnya memiliki perpustakaan. Namun apakah perpustakaan dapat digunakan sesuai dengan fungsinya? Ada siswa mengunjungi perpustakaan untuk meminjam buku, membaca, mengerjakan tugas dari guru. Akan tetapi, ada siswa yang datang ke perpustakaan tidak tahu apa yang dibuatnya. Ada yang hanya sekadar ngobrol, duduk istirahat dan makan-makan, ikut-ikutan teman bermain, bahkan ada yang memakainya untuk pacaran.


Di kalangan siswa belum memiliki sikap untuk mencintai perpustakaan. Mengapa demikian? Ada sejumlah alasan yang kita jumpai antara lain : guru tidak mengarahkannya, petugas di perpustakaan yang kurang simpatik, kekurangan buku, ruangan kecil dan sumpek, dan sebagainya. Akan tetapi, di sana terdapat suatu kebiasan yang buruk, yaitu malas dan merasa rugi karena membaca tidak menghasilkan apa-apa. Kita hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan hasilnya sia-sia. Benarkah begitu?


Padahal kalau kita berpikir agak kritis, ada banyak manfaat membaca. Dengan membaca seseorang dapat menerima informasi, memperdalam pengetahuan, dan meningkatkan kecerdasan. Pemahaman akan kehidupan pun semakin tajam karena membaca dapat membuka cakrawala untuk berpikir kritis dan sistematis. Kita dapat mengenal pengarangnya dan memahami isi atau makna yang tertulis dalam buku. Membaca merupakan kegiatan sederhana yang dapat dilakukan siapa saja dengan modal meluangkan waktu, tetapi menuai begitu banyak keuntungan yang diperoleh. Jika kegiatan sederhana ini dilakukan sejak kecil dia akan membentuk suatu kebiasaan dan sikap dalam hidup pada orang tersebut.


Era globalisasi ini telah menciptakan iklim persaingan menuntut kita mencari ilmu yang banyak. Karena itu reading society dan learning society diperlukan untuk menciptakan kompetisi yang sehat, sekaligus membentuk suatu komunitas yang gemar membaca dan belajar. Melalui membaca dan belajar, komunitas sekolah dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dicita-citakan dapat terwujud.


Salah satu indikator penentu mutu pendidikan di suatu negara, yaitu tinggi atau rendahnya minat baca di kalangan peserta didiknya. Semakin tinggi minat membaca peserta didik semakin bersikap kritis. Sebaliknya, semakin rendahnya kebiasaan dan kemampuan membaca berpotensi menurunkan angka melek huruf. Hal ini akan mengakibatkan rendahnya minat baca di kalangan peserta didik kita. Jika para pendidik dan pendidikan tidak memperhatikan kegiatan membaca maka kualitas pendidikan dan sumber daya manusianya kurang dapat diandalkan. Mutu pendidikan dan kualitas pendidikan dari tahun ke tahun tetap menjadi pertanyaan yang tidak habis-habis. Untuk menjadikan kegiatan sederhana itu menjadi suatu kebiasaan bahkan membentuk sikap dan minat membaca tidak mudah. Maka perlu kerja sama setiap elemen baik di rumah, sekolah maupun masyarakat.


Sebagian besar keluarga telah masuk dalam budaya nonton (watching-culture). Budaya nonton menjadikan seseorang makhluk individual. Ia mengingkari bahwa manusia pada dasarnya makhluk sosial (homo socius) yang membutuhkan orang lain. Kebiasaan menonton yang tidak terkontrol dan berlebihan akan membentuk manusia individualistik dan bersikap amoral. Hal ini menjadi ancaman sekaligus peluang bagi keluarga-keluarga untuk segera menggantinya dengan budaya membaca (reading-culture).

Di rumah-rumah kita bukan saja hanya televisi diberi ruang yang bagus, tetapi juga disiapkan ruang untuk buku-buku (perpustakaan). Cicero, filsuf dan politisi Roma (106-43 sM) mengatakan “A room without books is like a body without soul”. Suatu ruangan tanpa buku ibarat badan tanpa jiwa. Buku dan bahan bacaan adalah roh keluarga. Keluarga yang hanya menonton televisi memperoleh hiburan dangkal. Akan tetapi, suatu keluarga akan lebih hidup dengan dan melalui membaca. Bacaan dapat memperkaya intelektual sekaligus menghibur. Hal itu seperti dikatakan Horatius, penyair Romawi kuno bahwa dalam membaca termaktub makna dulce dan utile (yang indah dan berfaedah). Tidak mudah menjadikan budaya membaca dalam keluarga karena berbentur dengan berbagai hal. Namun, orang tua menjadi kunci keberhasilan dan berperan penting dalam membiasakan anggota keluarga untuk membaca.


Langkah berikut ini dapat membantu orang tua menciptakan budaya membaca dalam keluarga. Pertama, menjadi contoh dalam membaca. Orang tua menyukai buku-buku, berlangganan koran, majalah dan membaca-menikmati setiap hari. Lama-kelamaan kebiasaan itu tertular kepada anggota keluarga. Kedua, orang tua menyiapkan ruang atau tempat khusus untuk buku, majalah dan sebagainya. Orang tua mengkondisikan anggota keluarga untuk mencintai buku sebagai bahan bacaan, menyukainya, memetik hikmah dan hiburan segar dari bacaan itu. Ketiga, membaca bersama. Menentukan waktu untuk membaca bersama dalam keluarga. Setiap anggota keluarga sibuk dengan bacaannya masing-masing. Di lain kesempatan ada buku yang dapat dibaca bersama, dinikmati bersama, dan didiskusikan. Cara ini dapat membangun kedekatan satu sama lain dan tali pengikat keluarga. Keempat, hadialah dengan buku. Setiap anggota keluarga yang berulang tahun atau merayakan pesta tertentu diberi hadiah berupa buku. Hadiah sederhana itu akan membuatnya menyukai dan mencintai buku. Kelima, menentukan waktu untuk menonton televisi. Orang tua bersama anak menyepakati jam-jam dan mata acara menonton televisi. Orang tua harus mengontrol anak-anak bila mereka sedang menonton televisi. Kiranya dengan langkah itu keluarga pun turun berpartisipasi dalam menanamkan minat membaca pada peserta didik kita. Karena di keluarga anak pertama dan terutama mendapatkan pengalaman itu dari orang tuanya.


Begitu pula budaya membaca di sekolah. Hampir setiap sekolah mempunyai perpustakaan. Namun, sejauh mana perpustakaan memberi andil terhadap budaya membaca? Terlepas dari kekurangan dan keterbatasan perpustakaan sejauh mana para guru dan petugas perpustakaan menciptakan suasana yang kondusif untuk membaca? Apakah guru-guru juga memanfaatkan perpustakaan sebagai gudang ilmu pengetahuan dan bukulah jendela dunia? Yang jelas di sekolah sendiri belum memaksimalkan perpustakaan. Hal lain bahwa guru kurang memberi contoh dalam membaca, peserta didik kurang (tidak) dibekali teknik-teknik membaca sehingga terkesan monoton yang membuat mereka bosan dan malas. Selain itu, guru kurang memberi semangat dan motivasi kepada peserta didik untuk meraih kesuksesan hidup lewat banyak membaca. Untuk itu, para guru diharapkan memberi contoh dan membiasakan peserta didik untuk membaca terlebih di perpustakaan.


Lingkungan masyarakat turut berintervensi atas budaya membaca. Lingkungan masyarakat menjadi tempat sosial terjadi saling mempengaruhi gaya dan pola hidup. Di lingkungan masyarakat kita mudah kita menjumpai perpustakaan kota, perpustakaan keliling, dan taman bacaan. Di samping itu juga, ada banyak toko buku di kota kita. Fasilitas sudah mendukung namun buku dan membaca belum menjadi suatu kebutuhan hidup. Jika diurutkan barangkali ia menjadi yang ke sekian. Tidak ada cara lain menciptakan budaya membaca selain mengambil buku dan membaca. Walaupun ada sarana dan fasilitas tersedia lengkap, tetapi jika tidak ada kemauan orang untuk membaca maka mustahil mengharapkan ada budaya membaca di negeri ini. Maka persoalannya pada pribadi masing-masing, apakah membaca menjadi suatu kebutuhan hidup atau sekadar sisa waktu? Dengan demikian, setiap pribadi dalam masyarakat akan saling berpengaruh dalam pola dan gaya hidup di era globalisasi ini.


Perpustakaan yang megah dan lengkap fasilitasnya diharapkan mampu membangkitkan budaya membaca terlebih bagi guru-guru dan peserta didik. Kita tidak hanya mengharapkan budaya membaca itu dari keluarga dan masyarakat. Budaya membaca itu sebuah mata rantai yang dimulai dari keluarga (rumah) diteruskan di sekolah dan akhirnya dipraktikan di masyarakat atau keluarga lagi. Jika salah satu atau ketiga mata rantai itu macet maka sekarang tugas kita memperbaikinya. Mengingat era globalisasi ini penuh kompetisi hidup. Bila tidak membaca kita menjadi pribadi yang kurang bermutu dan kurang dalam pengetahuan, informasi dan sebagainya. Akhirnya kita selalu kalah dan menderita miskin dalam segala bidang kehidupan. Awalilah hidup dengan membaca, maka lama-kelamaan menjadi suatu budaya membaca baik di perpustakaan maupun di tempat lain. Isilah hidup ini dengan membaca dan membaca. Semoga.

Gerardus Weruin, MTB guru SMA Santo Paulus Pontianak.(pontianak, 5 Januari 2008).

Tidak ada komentar: