Jumat, 22 Januari 2010

CARA MEMBUAT MAJALAH SEKOLAH

YUP, Kamu dan teman-temanmu sudah ngebet mo bikin majalah atau buletin sekolah. Sebenarnya Majalah dan Buletin itu memiliki perbedaan lho but any bus way tuk JOB DESCRIPTION kita standartkan saja ok’s. Cari Bocoran informasi dana dari Pembina majalah sekolah. Berdasar informasi tersebut, kamu dapat memprediksi majalah sekolahmu nanti kayak apa. Hal yang penting untuk dipersiapkan sekarang adalah menyusun kepengurusan beserta tanggung jawabnya alias tugas-tugasnya (penting nich: berdasarkan pengalaman penulis ini adalah pondasi awal yang harus dibentuk dengan sebaik mungkin), trus setelah itu membuat proposal.


Tugas-Tugas Pasukan
Sebelum berangkat ke medan tempur bikin majalah sekolah, kamu perlu nyiapin pasukan. Pasukan majalah sekolah kudu dirancang sedemikian rupa sehingga formasinya bagus agar misi bikin majalah sekolah ini berhasil dengan baik. Nah, ini dia formasi pasukan masel(majalah sekolah) beserta tugas-tugasnya, semoga ini bisa membantu. Ini nih perinciannya:
Pemimpin Umum, Biasanya kepala sekolah.
Pembina, Biasanya guru bahasa Indonesia atau orang yang mengerti jurnalistik .
Pemimpin Redaksi
Pemimpin redaksi bertanggung jawab terhadap mekanisme dan aktivitas kerja keredaksian sehari-hari. Ia harus mengawasi isi seluruh rubrik majalah sekolah yang dipimpinnya. Ia yang harus mengkoordinasi seluruh anggota tim majalah sekolah serta mengatur agar setiap kegiatan masing-masing anggota timnya berjalan selaras saling melengkapi. Ia juga yang kudu berkonsolidkasi dengan Pembina tentang kebutuhan atau kesulitan dalam penerbitan masel.

Redaksi
Yang dipimpin pemimpin redaksi tentu adalah tim redaksi. Namanya tim, tentu anggotanya enggak Cuma satu orang. Betapa berat beban bikin majalah sekolah jika yang menggarap Cuma 1 redaksi. Bagusnya, 1 anggota tim redaksi majalah sekolah Cuma bertanggung jawab terhadap 1 atau 2 rubrik. Lebih dari itu bisa mengganggu kewajiban belajar pelajaran sekolah. Intinya, redaksi bertanggung jawab terhadap penyediaan naskah. Naskah harus ia sediakan entah dengan menulisnya sendiri atau menyeleksi dari kiriman siswa-siswa lain. Jika menyeleksi dari kiriman siswa, ia juga diharuskan menyuntingnya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan redaksi.
Melihat kerja redaksi di atas, seorang redaksi hendaklah tahu -minimal punya rasa ingin tahu- bagaimana mengkomunikasikan ide dalam bahasa tulis yang mudah dimengerti. Ia juga harus punya rasa ingin tahu tentang bagaimana menggunakan bahasa yang baik dan benar, termasuk masalah tata tulis.
Sebenarnya, termasuk dalam redaksi ini adalah reporter dan desainer grafis. Agar lebih jelas, deskripsi tugas 2 kru terakhir ini dijabarkan tersendiri.

Tim Reporter
Ada yang berpendapat reporter merupakan bawahan redaksi. Dalam jurnalisme umum atau surat kabar bisa saja begitu. Tapi dalam jurnalisme sekolah, agak repot ‘membawahkan’ reporter. Lebih enaknya reporter itu ya bagian dari redaksi.
Lalu ngapain reporter ‘dibedakan’ dengan redaksi?
Kerja reporter lebih terfokus pada liputan berita, ia bertanggung jawab mencari, melaporkan atau meliput peristiwa atau pendapat penting sesuai dengan visi misi majalah sekolah. Reporter lebih banyak bekerja di lapangan. Walaupun demikian, ia hendaknya menyerahkan hasil liputan dalam bentuk artikel liputan yang sudah bagus alias siap tampil di majalah. Rubrik-rubrik di mana para reporter bertanggung jawab adalah liputan kegiatan sekolah, wawancara, liputan kegiatan luar sekolah, dan semacamnya.

Apakah tim reporter harus dibuat secara khusus?
Bisa ya bisa tidak. Dalam praktiknya, ada rubrik yang kurang membutuhkan peliputan. Misal, rubric iptek, agama, opini, kiat, dan sebagainya. Seorang redaktur bisa membuatnya tanpa angkat kaki dari sekolah. Ia bisa memperoleh sumber penulisan rubric semacam di atas dari buku atau browsing internet. Ada juga rubrik yang butuh banget sama peliputan: misal laporan kegiatan sekolah atau wawancara tokoh tertentu. Ada juga rubric yang kudu digarap bersama, antara reporter dan redaksi non-liputan, missal: bahasan utama atau tema utama.
Dengan ilustrasi kerja yang demikian, baiknya, tim reporter dibuat secara khusus agar kerja mereka lebih fokus. Deskripsi tugas mereka adalah meliput suatu berita dan mengemasnya sampai siap tampil di majalah. Untuk kerja reporter, hendaknya dipilih kru redaksi yang berani, bersemangat, optimis, tahu sopan santun, dan mampu membangun komunikasi dengan orang lain (baca: asing/belum dikenal) dengan baik.

Tim Desain
Sebenarnya teman-teman yang berada dalam tim ini masih termasuk lingkup redaksi. Dalam jurnalisme umum, mereka biasa disebut sebagai redaktur artistic. Tugas mereka adalah menata letak tulisan-tulisan dari redaktur agar tampil apik dibaca. Mereka pula yang bertugas untuk memberi ilustrasi pada setiap rubrik. Desain per rubrik juga menjadi tanggung jawab mereka. Yang dimaksudkan dengan desain di sini adalah apakah pada rubrik anu itu memakai gambar latar belakang atau tidak, diberi header/footer atau tidak, dan sebagainya. Termasuk tugas tim ini adalah bikin cover majalah.
Sebaiknya, tim desain ini pula yang mengurus segala hal berkaitan majalah sekolah sampai sebelum naik cetak alias naskah siap cetak. Soalnya, kadang-kadang komputer yang kita gunakan tidak sesuai dengan standar komputer percetakan, akibatnya bisa saja warna jadi berubah (terlalu tua, terlalu muda), font hilang, gambar geser, dan lain sebagainya.
Para kru tim desain ini hendaknya orang yang memang bakat dalam bidang desain grafis. Di antara mereka sebaiknya ada yang pinter menggambar manual, teman kita yang seperti ini cocok dipasang sebagai illustrator. Selain illustrator, sebaiknya ada juga yang bisa mengoperasikan perangkat lunak desain seperti Adobe Indesign, Photoshop, Freehand, CorelDraw. Sebaiknya tidak sekadar bisa saja, ia tetap harus punya sense of art. Perangkat-perangkat lunak seperti itu hanyalah alat. Yang penting tetap saja the man behind the gun-nya.
Jadi, tim desain tapi belum bisa menggunakan perangkat lunak seperti itu? Buku-buku yang memberi petunjuk pengoperasian perangkat lunak seperti ini mudah didapat di toko-toko buku dan jalan terakhirnya kamu minta desainkan sama orang lain/percetakan.

Kru Opsional
Selain kru utama di atas, sebuah majalah sekolah boleh saja punya kru tambahan atau opsional -boleh punya, boleh juga tidak.
Contoh kru opsional yang mungkin saja diperlukan adalah bagian iklan. Siapa tahu Pembina majalah sekolahmu mengizinkan majalah sekolah untuk cari dana selain dana dari sekolah. Nah, kalo demikian, tentu iklan jadi bagian penting buat kelancaran hidup majalah sekolahmu. Untuk menangani iklan dengan baik, perlu dibentuk tim tersendiri.
Membuat JADWAL KERJA
Buatlah jadwal kerja, mulai rapat redaksi hingga naik cetak. Ikuti alur kerja berikut:

* News planning (rapat redaksi, membahas rencana isi masel atau bulletin, missal tiap tanggal 1 sekaligus evaluasi edisi sebelumnya).
* News hunting (pengumpulan data atau bahan-bahan tulisan, bisa melalui wawancara atau studi literature).
* News writing (pengolahan bahan tulisan menjadi tulisan alias menulis naskah)
* News editing (penyutingan naskah, koreksi, dan penyesuaian naskah dengan space/kolom yang tersedia).
* Lalu masuk ke Design Graphic (layout, artistic, ilustrasi) dan masuk ke percetakan (printing).
Dengan alur kerja seperti itu, insya allah kegiatan belajar tidak terganggu. Tentukan jadwal, misalnya rapat redaksi tiap tanggal 1, deadline tanggal 20, layout tanggal 21-22, masuk percetakan 23-24, selesai dah tinggal membagikan!

Bikin Proposal
Setelah kru terbentuk, susunlah proposal penerbitan majalah sekolah. Proposal ini penting buat bukti kalo kamu mo serius ngurusinnya. Terus juga buat semacam panduan kerja kamu untuk sementara.
Apa saja isi proposal penerbitan majalah sekolah ini?
Yang penting, proposal itu harus mengandung unsur-unsur berikut ini:

Latar Belakang
Bagian ini merupakan pengantar proposal. Jelaskanlah di sini mengapa sekolah kamu sudah memerlukan adanya majalah sekolah. Misalnya, karena siswa-siswa sudah membutuhkan media untuk menyalurkan aspirasinya, atau karena media majalah dinding sudah dianggap tidak mencukupi lagi untuk menampung aspirasi dan kreativitas siswa.
Sebutkan juga alasan kamu memilih bentuk majalah untuk mewujudkan media penerbitan berkala di sekolah ini. Kamu bisa mengutip tulisan di rubric ini sebelumnya tentang plus minusnya bentuk majalah sekolah. ?

Tujuan Pembuatan Majalah Sekolah
Sebutkanlah tujuan dan manfaat adanya majalah sekolah, misal: mewujudkan media sebagai tempat mengasah ketrampilan berbahasa yang baik dan benar, menjembatani jurang komunikasi antarsiswa, antara siswa dan guru, antara siswa dan alumni, dan antara itu semua, dan sebagainya.
Nama dan Slogan
Ketika proposal penerbitan dibikin, majalah sekolah kamu (se)harus(nya) sudah punya nama. Masak di proposal belum ada namanya? Masalah nama bisa kamu rapatin sesama timmu dan juga jangan lupa diusulkan dulu ke Pembina lho. Soalnya, nama ini juga masalah sensitive. Nggak boleh berkonotasi negative, bermuatan merendahkan kehormatan orang/kelompok lain, dll, dsb. Terus, sebutkan juga mengapa kamu memilih nama tersebut. Tentu dong nama majalah sekolahmu harus punya arti dan filosofi. Masak pilih nama begitu saja?
Slogan seharusnya juga punya. Slogan adalah kata-kata atau seruan yang mengekspresikan ide, motivasi, semangat, dan tujuan suatu organisasi -dalam konteks ini adalah majalah sekolahmu itu. Terangkan pula makna sloganmu itu apa.
Oh, ya, masalah slogan ini juga kamu rembug bersama dan kamu komunikasikan dengan bapak ibu Pembina.

Karakteristik Majalah
Sebutkan karakteristik fisik majalah sekolah yang ingin kamu buat itu. Sebutkan ukurannya (berapa mm kali berapa mm), posisinya tegak atau landscape, tebalnya, jenis kertas kovernya, jenis kertas isinya, halaman warna berapa persen, jilid pake lem atau benang atau stapler. Terangkan pula periode penerbitannya (berapa bulan sekali), waktu penerbitannya kapan, juga sekali terbit berapa eksemplar.

Rubrikasi
Datalah rubrik apa saja yang kamu rencanakan untuk tampil di majalah sekolahmu. Tidak hanya namanya saja, tapi juga deskripsi rubric tersebut. Misal rubric Iptek, membahas tentang informasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Nama rubrik tidak harus lugas. Misal saja, rubrik Iptek tidak harus bernama iptek, bisa saja: saintika.

Struktur Organisasi
Tulislah kepengurusan majalah sekolah ini, jabatan apa dipegang oleh siapa. Tulis juga masa jabatannya, biasanya setahun. Yang ini bisa juga diletakkan di lampiran.

Anggaran
Ini penting. Jangan lupa. Tuliskan pemasukan danamu berasal dari mana saja. Tulis juga pengeluaran danamu untuk biaya apa saja. Pihak sekolah tentu akan perhatian banget dengan yang ini.

IKLAN
Iklan ini berguna bagi pemasukan majalah sekolah kamu. Caranya kamu buat proposal seperti diatas dan tambahkan perjanjian-perjanjian harga kesepakatan, surat kesepakatan. Untuk mencari iklan, pasang dulu iklan pancingan, gratis dulu bila perlu. Kamu juga harus memperhitungkan iklan-iklan apa saja yang layak di iklankan, jangan sampek iklannya rokok misalnya, bisa berurusan sama pihak sekolah nanti. Selamat bikin majalah sekolah dan buletin!

Elvigto (Sumber: pengalaman penulis, www.huzaifah.org, www.irvansyaiban.wordpress.com)


Selengkapnya...

UN Meningkatkan Mutu Pendidikan?

Harap-harap cemas, takut, pesimis itulah perasaan peserta didik dalam menanti hasil ujian nasional (UN). Bukan hanya peserta didik saja, tetapi para guru, kepala sekolah, orang tua murid, dan pihak yang terkait (stakeholder) pun merasakan yang sama. Perasaan ini karena hasil UN sangat berpengaruh untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, seperti dari SD ke SMP, SMA dan perguruan tinggi. Hasil UN juga menjadi tolak ukur kinerja para guru dan kepala sekolah. Sumber daya guru dan kepala sekolah menjadi pertaruhannya, sedangkan sekolah mendudukan prestasi UN sebagai ajang pertarungan reputasinya di mata masyarakat dan pemangku kepentingan (dinas pendidikan dan pemerintah daerah). Selain itu, hasil UN menjadi indikator mutu pendidikan sekolah-sekolah di tanah air kita.

Namun, pernahkah kita berintrospeksi atas eksistensi UN? Jika UN tetap dipertahankan, kita akan bertanya-tanya ke manakah arah pendidikan di tanah air ini? Umpan balik dari UN selama ini tidak memberikan kontribusi yang handal, cerah ke arah peningkatan mutu pendidikan yang signifikan dan komprehensif. Bahkan justru UN mematikan roh pendidikan kita. Tidak sedikit dampak negatif yang dialami dalam pendidikan. Dalam realitas, UN hanya mengaburkan proses pembelajaran, peserta didik, dan pendidik itu sendiri.


Dalam Proses Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran peserta didik hanya menjalani latihan soal. Selama di kelas terakhir peserta didik dibekali dengan prediksi, bayangan soal-soal, cara cepat dan tepat dalam menjawab. Tidak cukup waktu di dalam kelas, peserta didik harus mengikuti bimbingan belajar baik di sekolah maupun luar sekolah. Selain itu, ada juga peserta didik mengikuti les privat. Setelah menempuh cara-cara belajar yang demikian itu, peserta didik mengikuti try out. Bahkan try out diadakan beberapa kali. Alhasil, bukannya meningkat malah semakin menurun, hanya beberapa peserta didik yang siap.

Proses pembelajaran lebih berkonsenrasi dan berorientasi pada UN. Pembelajaran dikondisikan bergaya instant, karbit, tanpa cara berpikir yang benar, dan nilai-nilai hidup. Cara ini menciptakan peserta didik untuk bersikap curang. Bahkan guru, kepala sekolah dan pihak terkait pun ikut curang. Demi mencapai target angka lulus kita mendengar ada yang menyontek, boncoran jawaban, dan sikap tidak jujur pun tetap ditempuh. Pelaksanaannya hanya mendatangkan ‘sakit’ bagi peserta didik dan guru. Secara fisik peserta didik mulai sakit seperti flu, demam dan pusing. Secara psikis siswa dan guru pun merasa takut, grogi dan stres. Sangat disayangkan, peserta didik dalam proses pembelajaran sampai dengan evaluasi harus ‘menderita’ baik fisik maupun psikis. Inikah cara kita meningkatkan mutu pendidikan?
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mengisyaratkan model pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran berpusat pada peserta didik. Pendidik sebagai fasilitator dan motivator, sehingga peserta didik menjadi inisiatif, aktif, kreatif, dan inovatif. Maka proses pembelajaran dan penilaian harus integral. Model penilaian harus bertolak dari proses pembelajaran. Jika proses pembelajaran dengan fasilitas, sarana prasarana yang sangat terbatas di setiap daerah, SDM guru yang berbeda, kemampuan peserta didik yang heterogen, kita perlu berpikir lagi tentang UN. Karena UN hanya menetapkan standar nilai yang harus dicapai siswa. Apalagi soal-soal UN sangat terbatas (limitative), sehingga tidak terakomodasi kemampuan peserta didik yang komperhensif. Bahkan UN kurang adil karena membuat dikotomi terhadap mata pelajaran yang dipelajari peserta didik. Ada sejumlah mata pelajaran, tetapi yang diujikan hanya beberapa saja. Maka sebenarnya UN mengabaikan disparitas kondisi di tiap daerah. Standar bukan soal nilai-angka kelulusan melainkan fasilitas, sarana prasarana dan SDM guru-guru yang berkualitas.

Dalam kelas pendidik tidak lagi mengikuti rambu-rambu dalam KTSP. Semuanya itu karena tuntutan UN lain. Demi UN, pendidik melaksanakan pembelajaran dengan model latihan dan membahas soal-soal baik dari buku teks, LKS ataupun soal-soal UN yang silam. Bahkan pembelajaran hanya terfokus pada kisi-kisi materi UN. Tidak heran pembelajaran sangat monoton dan membosankan peserta didik. Bentuk pembelajaran seperti itu hanya menurunkan kredibilitas pendidik, sehingga peran ini ‘tergantikan’. Masyarakat mulai membuka praktik ‘bimbingan belajar’ bagi peserta didik untuk menghadapi UN. Bahkan peserta didik lebih mengandalkan bimbingan belajar daripada pembelajaran di dalam kelas lagi.
Di sisi lain, kredibilitas pendidik semakin diragukan manakalah pemerintah melibatkan pihak-pihak lain untuk mengawas-memantau pendidik dalam pelaksanaan UN. Pihak pemantau independen dari perguruan tinggi, kepolisian, dinas pendidikan secara bersama mulai memantau kerja pendidik dalam UN. Akibatnya pendidik pun menjadi takut, grogi dan tidak bebas lagi dalam bertugas. Hasil pekerjaan siswa tidak dikoreksi guru, tetapi dengan scan. Walaupun canggih dan baik harus diakui scan tetap ada kekurangannya. Dan hasilnya tidak pernah dikembalikan kepada siswa atau guru. Mereka hanya mendapat nilainya di atas kertas. Apa motif semuanya ini? Yang jelas pendidik sudah mulai kehilangan akan wibawa dan kredibilitasnya. Jika sistem pendidikan dan pengajaran kita seperti ini, benarkah UN itu meningkatkan mutu pendidikan? Realitas pembelajaran di sekolah dan sistem pendidikan yang berlaku sangat kontradiksi. Pendidikan kita tidak lagi konsisten dan komitme dalam pembelajaran dan penilaian, bagaimana mungkin UN menjadi tolak ukur mutu pendidikan?

Dampak bagi Sekolah

UN memberi dampak bagi sekolah secara positif dan negatif. Jika persentase kelulusan UN mencapai 100%, sekolah tersebut dinilai bermutu. Reputasinya baik dan dipercayai masyarakat. Orang tua akan antean mendaftarkan anaknya. Sekolah tersebut akan mendapat peserta didik yang terselesksi (bibit unggul). Sebaliknya, jika persentase kelulusan tidak mencapai 100% sudah jelas sekolah itu tidak bermutu. Masyarakat kurang percaya lagi pada sekolah tersebut. Maka orang tua pun ragu-ragu menyekolahkan anaknya. Apalagi dalam pelaksanakan UN terendus sekolah itu curang (tidak jujur) kepala sekolah siap diganti atau pindah dan sebagainya.
Benarkah mutu pendidikan sekolah hanya diukur dengan hasil UN? Masih banyak unsur yang harus dicermati lagi. Aspek kemampuan peserta didiknya, keprofesionalan pendidik, penerapan kurikulum dan model pembelajaran, sarana dan prasaran pendukung, dana dan sebagainya perlu ditinjau lagi. Pendidikan tidak mengejar target nilai atau angka yang distandarkan supaya lulus, tetapi membantu peserta didik dalam kehidupannya. Non schole set vite dicimus. Itulah tugas esensial pendidikan di sekolah. Sebab kalau tidak disiapkan dengan baik, peserta didik tidak mampu bersaing yang pada akhirnya menambah pengangguran dalam masyarakat. Selain itu, peserta didik akan kehilangan identitas dirinya, budaya bangsanya karena nilai-nilai kemanusiaannya terabaikan.

Perbaiki Mutu Pendidikan

Usaha memperbaiki mutu pendidikan di tanah air ini bukan semata-mata dengan mengadakan UN. Usaha itu sangat tidak substansial. Yang patut diperhatikan bersama, yakni kita harus konsisten dan komitmen antara kurikulum, kebijakan, dan sistem pendidikan. Jika tetap rancu dan ambivalen, pendidikan kita tetap terpuruk dan tidak mampu bersaing dalam percaturan global dan modern ini.
Untuk itu, perlu revitalisasi dan restrukturisasi UN dalam pendidikan kita. Pelaksanaan UN harus ditinjau kembali. Selain itu, perlu adanya perubahan paradigma bahwa UN bukanlah cermin mutu pendidikan. Bebaskan UN dari berbagai kepentingan dalam pendidikan. Karena UN tidak ‘adil’, ia telah mengikis nilai-nilai pendidikan bagi peserta didik. Untuk memperbaiki mutu pendidikan, konsentrasi dan orientasi kita bukan pada UN, tetapi lebih pada pendidik, fasilitas, sarana dan prasarana serta dana yang memadai.

Perhatian berikutnya, yaitu pendidik. Karena guru merupakan garda terdepan pendidikan formal. Kita mempunyai kurikulum yang bagus, sarana dan prasarana yang lengkap, dana yang cukup, tetapi pendidik tidak profesional tetap nihil. Kita membutuhkan figur pendidik bukan hanya profesional, tetapi mempunyai hati untuk mendidik dan mengajar. Maka perlu pemberdayaan sang guru dalam tugas pendidikan dan pengajaran. Pengembangan diri sang guru menjadi profesional, sehingga menjadi kritis, kreatif, inovatif, dan kompatibel menghadapi tantangan zaman ini. Selain itu, guru juga dibekali dengan nilai-nilai hidup, sehingga ditularkan kepada peserta didiknya. Dalam bertugas, guru harus otonomi tanpa intimidasi dari berbagai pihak demi kepentingan tertentu.

Akhir kata, perlu ada perubahan paradigma tentang UN. UN bukan untuk menentukan mutu pendidikan, tetapi lebih sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, hadirnya UN bukan menakutkan semua pihak. Peserta didik, guru, sekolah, masyarakat, dinas pendidikan, pemerintah tidak lagi terbeban dengan UN. Semua pihak dengan tenang dan senang hati menjalani UN. Praktik-praktik kecurangan dan intimidasi antarberbagai pihak tidak terjadi lagi. Di samping itu, sistem dan kebijakan pemerintah harus konsisten dengan kurikulum, sarana prasarana, pendidik, peserta didik, dan dana yang diperlukan. Dengan memperhatikan semua aspek tersebut, pelaksanaan UN akan memotivasi dan memacu semua daerah untuk berkompetisi secara sehat, sehingga mendapat gambaran perkembangan pendidikan di tanah air ini. Semoga.

Gerardus Weruin, MTB SMA Santo Paulus.


Selengkapnya...

Jumat, 28 Agustus 2009

Kemenangan Maria Pesta Pengharapan Kita

Sabtu, 15 Agustus 2009 di gereja Katedral Santo Yoseph Pontianak para Bruder MTB (Maria Tak Bernoda) merayakan Bunda Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan raga. Perayaan ini merupakan hari kemenangan Bunda Maria atas iman kepercayaan, kasih dan pengharapannya di dunia. Bukan hanya Bunda Maria, tetapi para MTB pun merayakan pengharapan itu.

Bruder MTB yang berlindung dalam naungan Bunda Maria ini merayakan pesta kaul. Mereka merayakan 60, 50, 25 tahun hidup membiara, kaul kekal dan profesi pertama. Dalam perayaan itu, Br. Claudius merayakan 60 tahun, Br. Amideus 50 tahun dan Br. Thomas 25 tahun hidup membiara. Ada tiga bruder yang berprofesi kekal, yaitu Br. Paulus Subekti, Br. Agustinus Agato, dan Br. Dionisius. Dan lima novis yang berprofesi perdana, yakni Br. Yohanes Bosko, Br. Mateus, Br. Patrisius, Br. Ambrosius dan Br. Hieronimus.

Perayaan ini dipimpin oleh uskup Agung Pontianak, Mgr. Hieronymus Bumbun, OFM Cap. Dalam homilinya, uskup Agung Pontianak mengajak para bruder untuk meneladani Bunda Maria. Pesta ini bukan hanya pesta Bunda Maria, tetapi pesta kita. Maria seperti kapal yang sudah sampai di pelabuhan, sedangkan kita masih berlayar di tengah lautan menuju pelabuhan. Pelabuhan itu adalah surga. Maria telah hidup dekat dengan Allah pencipta, Yesus Kristus putranya dan para kudus.

Iman kepercayaan, kasih dan pengharapan Maria telah mengantarnya melihat dan merasakan kebahagiaan abadi di surga. Pesta kemenangan Maria ini juga merupakan pesta pengharapan kita. Jalan menuju ke surga terbuka lebar dan Maria adalah tanjung pengharapan kita.

Selesai Ekaristi di gereja, acara dilanjutkan di gedung Bina Remaja. Dalam acara tersebut, Dewan Umum para Bruder MTB, Br. Bram mengucapkan syukur dan banyak terima kasih bahwa kita boleh merayakan peristiwa istimewa ini. Perayaan ini merupakan titik temu antara masa lampau (60, 50, 25 tahun hidup membiara) dengan masa depan (kaul perdana dan kekal). Keduanya saling memerlukan. Masa depan saudara muda tidak terlepas dari masa lampau saudara tua. Dan sebaliknya, pilihan masa depan saudara muda ini ikut memberi makna khusus masa lampau saudara tua.

Dengan mengucapkan syukur dan terima kasih, saya tidak melupakan bahwa selama puluhan tahun bukan saja santapan manis yang disajikan para bruder melainkan juga pahit pun tidak ketinggalan. Namun, bruder telah rela menerima dan mengolah aneka macam penderitaan baik secara fisik maupun batin. Terima kasih atas kehadiran bruder dalam persaudaraan kita, apa yang telah dan masih dikerjakan. Kami bersyukur karena bruder menjadi saudara kami dan mudah-mudahan bruder pun dapat bersyukur kami dipanggil menjadi saudaramu. Selamat pesta kepada kita semua semoga pengaruh kehadiran Allah semakin nyata di antara kita, damai dan segala yang baik, salam atas nama Dewan Pimpinan Pusat. Profisiat!


Gerardus Weruin, MTB
Selengkapnya...

Menjadi Penulis Buku Ajar

Hanya orang sibuk yang mempunyai waktu. Demikian kata dosen UKDW, Yogyakarta Budi Sutedjo Dharma Oetomo, S.Kom., MM dalam memotivasi para guru di SMA Santo Paulus, Pontianak untuk menulis buku ajar(22/1 2009). Lanjutnya, mengutip dari pesan penerbit Kanisius ... dengan membaca kita jadi tahu, dengan bicara kita jadi siap, dan dengan MENULIS kita jadi PENELITI. Menjadi penulis bukan bakat. Bakat itu terlihat setelah orang menghasilkan suatu karya. Menulis tidak sulit. Asal kita mau dan berusaha tentu akan bisa. Kita boleh saja menggunakan tips ATIM (amati lalu tiru dan akhirnya modifikasi). Jika kita sering menulis, lama-kelamaan menjadikan kita sebagai peneliti. Karena kita mendapat kesempatan belajar berkomunikasi, berpikir secara holistik, mengembangkan keterampilan teknis-nonteknis dan akhirnya dapat meneliti. Selain itu, dengan menulis kita mendapat kesempatan untuk berafiliasi, mempraktikan profesional, membentuk opini sehingga melayani dan mempengaruhi lebih banyak orang.

Budi Sutedjo menantang para guru, benarkah menulis buku ajar itu sulit? Menurut dosen UKDW ini bahwa menulis bagaikan orang bicara. Kesulitan itu seperti siswa baru yang belajar bahasa Inggris, hanya karena takut salah merangkaikan kata dan mengucapkannya. Kalau siswanya berani mencoba, berani memulai dan berani ... tentu akan bisa! Untuk mengatasi rasa takut itu, orang harus diberi tekanan. Dengan tekanan orang akan berusaha mewujudkannya.

Sebagai motivator dalam menulis buku ajar, Budi menjumpai hambatan yang disampaikan calon penulis. Hambatan itu dipetakan ada tiga, saat memulai, sedang menulis dan penyelsaian. Dikatakan, hambatan saat memulai menulis seperti tidak berbakat, sulit berpikir sistematis dan sederhana, sulit menyusun materi yang menarik, ada perasaan takut dan sia-sia, belum pengalaman, tidak punya waktu dan sudah banyak yang menulis buku itu. Pada tahap sedang menulis seperti pilihan kata, bahasa terbatas, peluncuran ide terhambat, tidak dapat mengejar target waktu, waktu dirampok TV, teman, acara, rapat bertele-tele, hoby dan lingkungan tidak mendukung. Pada tahap selesai hambatannya seperti ada rasa tidak puas, rasa puas yang tertunda, frustrasi banyak salah ketik, masih banyak yang mau ditambahkan dan disempurnakan. Sang penulis buku ajar untuk SMP dan SMA ini mengharapkan agar Bapak Ibu guru hendaknya memandang hambatan tersebagai ”hukuman” yang harus diselesaikan. Hambatan juga berarti dapat memurnikan tujuan, motivasi, semangat dan kemauan sang penulis. Ketika orang diberi tekanan maka ada daya tahan dan berjuang. Tips-tips untuk menulis : kaya infomarsi (baca, gaul, dengar), peka terhadap perkembangan, mampu pertimbangkan informasi yang ada, melihat gerakan pembaca, mampu menganalisis, mampu memilah/menggolongkan, dan menarik kesimpulan.

Tips-tips menulis buku ajar : tulis materi secara sederhana. Materi itu didukung oleh ide-ide dengan menyajikan contoh-contoh praktis, latihan secara bertahap, tips informasi, rangkuman, praktikum dan soal-soal evaulasi. Sederhanakan alur pemikiran dalam pilihan kata karena pembaca ingin segera menentukan pikiran utama. Jangan takut menerima masukan orang lain karena sulit bagi penulis secra objektif dan kritis menilai hasil karyanya. Jangan menerima pujian lebih dahulu sebelum mendapat koreksi. Jangan lupa gaya sesuai dengan sasaran pembaca.

Menulis buku ajar bagi guru itu mudah. Karena hanya merangkum apa yang diajarkan, kecuali ia tidak menguasai apa yang diajarkan. Maka menulis itu perlu keuletan supaya kelak menjadi kupu-kupu yang indah. Selama menempuh perjuangan dan derita menjadi penulis bangkitkan semangat terus dengan mengingat manfaatnya. Jangan menunda karena tenggang waktu sangat sempit. Bebaskan diri untuk berkreasi, jangan terjerat oleh contoh atau aturan baku. Dengan terus menulis menjadikan guru terus-menerus refleksi akan proses pembelajaran sehingga ada perubahan yang positif terhadap siswa. Selain itu, membantu guru menentukan metode pembelajaran yang beragam sehingga menyenangkan siswa dalam belajar.
Sementara Jessica Christie, mahasiswa yang juga motivator dan nara sumber penulisan buku ajar mengsharekan pengalamannya meneliti siswa dalam belajar. Siswa mengungkapkan bahwa mereka dalam belajar dibebani banyak tugas dan latihan. Guru kurang memahami dan mengerti bagaimana mungkin siwa harus mengerjakan tugas dan latihan dari sejumlah mata pelajaran? Mereka stres dan frustrasi belajar sungguh menjadi beban. Ini bermuara pada teror mental siswa. Siswa menghendaki supaya latihan, tugas, soal tes harus sesuai dengan kemampuan dan memberikan semangat untuk mengerjakan.

Guru sebaiknya memperhatikan materi secara sistematis, runtut, dan disertai contoh yang banyak. Cara mengajarnya sebaiknya cerama yang menarik (entertaiment), bahasa yang digunakan mudah dipahami, memeberi bantu loncatan untuk pemahaman materi, dan jangan berbasis tugas. Antara teori dan praktik harus berkaitan erat dengan materi, disampaikan step by step dalam pengoperasian alat, para siswa jangan dianggap sudah bisa. Selain itu, secara finansial agar hemat, pengeluaran terkendali, dan mendapat informasi gratis. Secara teknis, agar siswa cepat mempelajari materi, melakukan pengutipan, dan fleksibel ( konsultasi, tugar hasil kerja kelompok, pengumpulan tugas via email, mendapatkan materi pelajaran kapan dan di mana saja).

Dalam pembelajaran siswa pun mengalami kesulitan. Jika guru menggunakan IT (informasi teknologi), siswa bagaikan robot. Tatap muka siswa dengan guru menjadi kurang, hilang kebijaksanaan guru, dan pemberian tugas materi cenderung copy flash to flash. Keterampilan IT siswa tidak merata, karakteristik komputer siswa tidak semuanya sama bahkan ada yang tidak punya, lemah dalam bahasa Inggris, dan kesulitan membaca cepat. Pembelajaran IT membentuk mental tidak mau susah (hanya copy paste), malas, dan siswa masih memilih guru yang ’keren’ dan ’beken’. Kesulitan secara finansial, yakni biaya pembelian komputer dan biaya hubungan internet. Selain itu, terdapat perbedaan pandangan bahwa siswa ingin menikmati kehidupan sementara informasi dan ilmu pengetahuan melaju tiada hentinya, siswa mau menikmati pergaulan sedangkan guru memberikan banyak tugas. Dengan demikian, dalam hal teknis tidak jarang slide materi dan teknik penyampaian membosankan. Materi hanya berupa teks, kurang ada visualisasi dalam bentuk animasi atau film. Pembelajaran yang berbasis pustaka, teknologi informasi terasa kaku dibandingkan dengan tugas lapangan.
Dalam pembelajaran siswa berharap TI tidak sekadar menggunakan komputer, tetapi model pendidikan dapat dilakukan lebih menarik dengan mengoptimalkan fasilitas multimedia. Guru dan siswa hubungannya tidak sekadar seperti robot. Meskipun menggunakan TI, para guru harus tetap memiliki hati dan kebijaksanaan. Materi yang didownload hendaknya berukuran kecil, sehingga dapat didownload di rumah. Guru cepat merespon email saat siswa konsultasi. Web sekolah memiliki tampilan yang menarik dan cepat dibuka.

Menciptakan keunggulan dan menyusun buku ajar
Dalam menciptakan keunggulan, penulis harus memperhatikan paparan materi dan dinamika. Secara umum paparan materi harus sistematis (alur pembahasan berurutan dan mengalir) bahasa dan penggunaan istilah yang mudah dipahami, dan contoh-contoh yang sesuai dan mudah dicerna sehingga mendukung pemahaman. Buku ajar memiliki dinamika sehingga mendukun siswa memahami, mengingat dan menerapkan materi. Usaha dinamika dapat menyentuh seluruh aspek, yakni indra, pikiran, dan perasaan siswa seperti : paparan materi, informasi, praktik, tugas, diskusi, kegiatan (pengamatan, analisis, pembuatan kesimpulan) ringkasan pelajaran, dan soal. Sistematika buku ajar disusun dengan memperhatikan kompetensi yang akan ditumbuhkan (lihat SK dan KD). Jabarkan kompetensi itu dalam materi ajar, contoh menguraikan pokok-pokok pikiran dan akhirnya uraikan itu dalam bentuk paragraf.

Pengeritan, Kegunaan dan penilaian Tes atau Soal

Tes ialah suatu pertanyaan atau tugas atau seperangkat tugas yang direncakan untuk memperoleh informasi tentang atribut pendidikan atau psikologik yang setiap butir pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar. Setiap tes menuntut keharusan adanya respon dari orang yang dites yang dapat disimpulkan sebagai suatu atribut pendidikan yang dimiliki oleh orang lyang dites yang sedang dicari informasinya. Tes dapat dikelompokan ada uraian (terbatas jawban singkat, melengkapi; bebas sederhana dan ekspresif) dan pilihan (benar-salah, menjodohkan, pilihan ganda: biasa, analisis kasus, kompleks, membaca diagram). Pengukuran diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal atau objek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas seperti : mengukur tinggi, berat, suhu, pendengaran, penglihatan, kepekaan lebih kompleks, psikologik, kecerdasan, kematngan berpikir, kepribadian yang dewasa sangat kompleks. Pengukuran terhadap siswa dapat dilakukan dengan atribut atau karakteristik siswa, bukan siswa itu sendiri. Tidak jarang terjadi siswa yang mendapat nilai-nilai rata-rata, ternyata kelak ia menjadi manajer, sedangkan yang nilainya tinggi justru menjadi karyawan. Perlu kita sadari bahwa pengukuran terhadap siwa berdasarkan atribut atau karekteristik berarti hanya mengukur sebagian dari seluruh potensi, talenta dan diri siswa tersebut. Gunakanlah angka atau skala dan aturan atau formula tertentu. Misalnya skala nominal : benar = 1, salah = 0; skala ordinal : menunjukkan urutan tanpa memperhatikan jarak antara urutan tersebut, misalnya ranking 1 tidak berarti dua kali lebih pandai dari ranking 2; skala interval angka yang menunjukkan jarak yang sama dari angka yang berurutan, misalnya 1 ke 2, sama jaraknya dengan 3 ke 4; skala rasio (pandangan), misalnya rumah A ke SMA 2 km, rumah B ke SMA 4 km, jadi jarak rumah A hanya ½ dari jarak rumah B ke SMA.

Kegunaan tes, pengukuran dan penilaian untuk seleksi, penempatan, diagnosis kekuatan dan kelemahan, umpan balik, memotivasi dan membimbing belajar, memperbaiki kurikulum dan program pendidikan, dn pengembangan ilmu atau metodologi. Adapun etika tes sebagai berikut. Tes menggambarkan rahasia pribadi siswa, sehingga perlu dijaga dan dihormati pribadi siswa; jangan menciptakan suasana kecemasan yang berlebihan, karena tes itu sendiri memiliki daya yang menimbulkan rasa cemas; tidak jarang tes justru menghukum siswa yang kreatif, karena tidak memberi ruang jawaban yang mengandung gagasan atau pola berpikir yang kreatif; tes selalu terikat pada ”budaya” penyusun tes, sehingga tidak jarang siswa gagal karena berbeda budaya. Tes hanya mengukur sebagian dari keutuhan pribadi siswa. Untuk itu, hindarilah pola penilaian yang bergerak, cap terhadap siswa, karena hal itu dapat membentuk apriori penilaian. Penilaian memiliki potensi kesalahan dalam menginterpretasi hasil tes.

Pelaksanaan tes hendaknya diberitahukan, termasuk kisi-kisinya. Guru harus menjelaskan cara menjawab yang dituntut dalam tes. Guru perlu memotivasi peserta tes, jangan menciptakan ketakutan. Jumlah soal harus berbanding dengan jumlah waktu yang diberikan kepada siswa untuk menjawab. Guru harus memperhatikan distribusi tingkat kesukaran soal seperti perbendaharaan kata yang dimiliki siswa (tingkat bacaan), tingkat keterampilan untuk menguraikan masalah dan mencari solusi (jam berlatih), banyak materi yang harus dihafalkan (daya ingat), pola kalimat yang memiliki siasat logika perpikir, lompatan dari metode mengajra ”memberitahu” ke metode menjawab ”analisis atau ”terapan” dan tujuannya bergeser dari menilai penguasaan materi menjadi tes mental. Tingkat kesukaran harus berimbang untuk memotivasi siswa dalam belajar. Untuk itu, guru harus menyusun kisi-kisi tes dengan memperhatikan proses berpikir : ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Selengkapnya...

Alam Menjerit ‘Sakit’

Kata bijak seorang Indian tua, “Ketika sungai terakhir sudah kering, pohon terakhir ditebang, orang baru sadar bahw uang tidak bisa dimakan.” Kata bijak itu dapat diteruskan lagi. Ketika hewan terakhir dibunuh, ketika hutan terakhir dibakar menjadi lahan perkebunan, bukit terakhir digali-diratakan, dan sampah-sampah bertumpukan di mana-mana orang baru sadar bahwa alam ini sakit dan bisa marah. Tangan-tangan sebagian orang yang tidak bertanggung jawab itu telah menyakitkan alam yang indah dan harmonis. Keindahan dan kekayaan ala mini kian hari dirampas, dijarah, dan ‘diperkosa’ dengan tidak adil. Kini alam hanya menjerit ‘sakit’ dab sebenatar lagi akan menerima ajalnya, kepunahan hidup.


Seandainya alam bisa menjerit, berteriak, dan protes, ia akan berdemonstrasi kepada manusia. Namun, itu tidak ia lakukan. Ia hanya diam membisu dan menerima-melayani semua perlakuan manusia atas dirinya. Alam tidak dapat bersuara. Ia hanya memberi isyarat bahwa ekosistemnya yang harmonis dan baik adanya seperti sedia kala sedang disakiti oleh manusia. Ia mencoba menjerit dan isyarat bahwa ada erosi, banjir, longsor, gersang, tandus, panas, polusi udara, tanah kehilangan humusnya, air sungai keruh, populasi hewan-hewan mulai punah, dan perubahan iklim yang tidak teratur yang berbuntut global warming. Isyarat demi isyarat datang menemui manusia, tetapi itu semua dipandang sebelah mata. Manusia tidak sadar bahkan semakin menyakiti alam, sehingga alam terus menjerit. Alam mau berdemonstrasi kepada manusia, tetapi manusia sendiri tidak ada belas kasihan, keprihatinan dan mendengarkan jeritan alam tersebut.

Hari demi hari sebagian manusia terus-menerus mengadakan eksploitasi dan perlakukan yang tidak adil terhadap alam. Manusia tidak pernah puas mengeruk, menjarah bahkan memperkosa alam untuk keperluan hidupnya. Alam selalu diobjekkan, sehingga tidak ada rasa hormat dan menghargai alam ini. Tampaknya belum ada kesadaran manusia bahwa alam yang diciptakan Sang Pencipta ini harus dipelihara dan dijaga demi kelangsungan hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kekayaan ala mini bukan hanya dinikmati oleh generasi tertentu saja. Eksplorasi tanpa batas, penggunaan teknologi modern yang salah sasaran, dan nafsu serakah sebagian orang yang tidak pernah mencapai titik klimaks rasa puas menyebabkan alam ini menderita sakit. Sungguh disayangkan, struktur alam yang pada mulanya baik adanya, harmonis, dan indah itu kini telah dijarah, dirampas, dan diperkosa oleh kaki tangan yang angkuh dan merasa diri berkuasa atasnya. Sampai kapankah manusia merasa selalu berkuasa atas alam ini? Jika tidak ada kesadaran akan kekuasaan yang dipercayakan kepada manusia dalam memaknai alam, sebenarnya tindakan manusia membawa dampak baik terhadap alam maupun manusia sendiri. Tindakan manusia itu mengakibatkan alam sakit demikian pula manusia. Jadi, sama-sama menderita sakit atas tindakan itu. Yang paling terasa sekarang ini berupa global warming, perubahan iklim yang tidak menentu dan penyakit yang aneh-aneh.
Manusia yang mendapat mandat dari Sang Pencipta untuk memelihara dan memanfaatkan alam seharusnya bersikap belas kasihan terhadap alam yang sudah mulai sakit ini. Ada rasa menghormati dan menghargai alam yang memberikan kehidupan bagi manusia. Alam dipandang sebagai subjek karena semuanya karya tangan Sang Pencipta. Kalau melihat alam sudah mulai sakit, manusialah yang harus berusaha mencegah dan mengobati. Bukannya semakin menambah parah sakitnya.

Paradigma itu karena sumber kehidupan semua makhluk di jagad termasuk manusia hanya satu, yaitu Allah, Tuhan Sang Pencipta. Satu dengan yang lain adalah sahabat dan saudara. Sebagai ciptaan, manusia dan alam ini sama. Kita hanya berbeda dalam fungsi. Fungsi khas manusia adalah bekerja sama (co-creator) dengan Sang Pencipta dalam menyempurnakan karya ciptaan ini. Manusia hidup, bekerja dan mengolah alam hendaknya sesuai dengan maksud dari Sang Pencipta. Segala isi kosmos adalah manifestasi kehendak Allah. Apa yang hidup dan bergerak dalam kosmos ini merupakan cermin dari karya Allah. Jika demikian, tidak ada unsur kejahatan, saling menyakiti antara manusia dan alam. Bila alam menjerit sakit, manusia pun akan ikut menejerit sakit. Siapakah yang harus merawat dan mengobatinya? Apakah ini takdir dan hukuman dari Allah, Sang Pencipta? Tidak! Ini semua adalah konsekuensi logis hukum sebab akibat dari suatu tindakan manusia sendiri.

Br. Gerardus Weruin, MTB
(sudah dimuat di majalah DUTA, hari lingkungan hidup, 2003)




Salam Bruder Gerard,

Kekecewaan Bruder atas perilaku anak didik di SMA Paulus dapat dimaklumi namun kiranya jangan menjadi "harga mati" bahwa mereka sudah tidak dapat di ubah lagi. Peluang tetap ada, karena usia mereka masih muda dan masih sangat mungkin untuk di ubah ke arah yang lebih baik, bukankah itu fungsi pengetahuan & tugas pendidikan yang mengasah batu alam menjadi intan permata ?

Karena diminta ide dari Bruder, maka saya kasih saran sbb:
Isu sadar lingkungan dan kebersihan perlu ditumbuhkan terlebih dahulu dari pengelola sekolah dengan membuat suasana / situasi yang bersih (infrastuktur & orangnya) setelah itu konsisten merawat. Pada bagian konsistensi merawat inilah anak didik dilibatkan secara lebih serius, hanya saja......mungkin karena perkembangan jaman maka metode melibatkan mereka dalam menjaga kebersihan bukan lagi berbentuk suruh mereka cuci WC dan membersihkan selokan (yang oleh sebagian orang tua ditentang karena alasan higien), ok lah....mungkin dapat di cari cara yang lebih terlihat elegan namun tidak mengurangi pesan moralnya, misalnya mereka diserahkan tanggung jawab untuk mengelola kebersihan ruang kelas, WC , halaman selokan dll dan pihak sekolah lah yang mereview hasil kerja mereka. Model aplikasinya bisa saya buatkan kalau pihak sekolah tertarik.
Soal lapangan volley yang di semen, banjir & kurang penghijauan, kalau alasan yang dulu sudah tidak cocok lagi situasi & kondisi saat ini, tentu tidak boleh ditinggal diam dong..... Coba undang kontraktor atau landscaper secara terbuka (alumni atau non alumni, ini kompetisi bebas)) untuk design ulang lingkungan sekolah, kalau soal drainase di luar lingkungan sekolah mampet, coba hubungi Pak Walikota Sutarmiji (alumnus SMA Paulus 81 lho...) bicarakan & lihat apa yang bisa dia bantu ? kalau soal kurang penghijauan rasanya urusan tanam pohon tidak harus mulai dari kecambah lagi deh..... kita bisa pesan pohon besar (umur dewasa) untuk di tanam di dimana saja sesuai pesanan seperti yang terjadi di depan hotel & mall.
Mudah-mudahan isu ini dapat berkelanjutan & tidak berhenti sebatas diskusi milis saja, dan Selamat bertugas untuk Br.Yanuarius & kabinetnya, kiranya isu sadar lingkungan & kebersihan bisa memperoleh porsi perhatian yang lebih besar lagi. Serta terimakasih kepada Br. Aloysius & kabinetnya atas pengabdiannya di periode yang lalu.


Salam,
Wiro Asali











Saya takjub dengan keberadaan incenerator (alat pembakar sampah) di salah satu bagian lapangan sekolah yang perlu di pikirkan lagi adalah konsistensi petugas untuk lebih memanfaatkan alat tersebut sehingga lingkungan sekolah




Hampir menjadi kelemahan semua orang adalah di dalam konsistensi menjaga


__._,_.___






GO GREEN!!!!



















GO GREEN!!!!
Servern Cullis-Suzuki
Cerita ini berbicara mengenai seorang anak yg bernama Severn Suzuki seorang anak yg pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental Children's Organization ( ECO ).ECO sendiri adalah Sebuah kelompok kecil anak" yg mendedikasikan diri Untuk belajar dan mengajarkan pada anak" lain mengenai masalah" lingkungan.Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB tahun 1992, dimana pada saat itu Seveern yg berusia 12 Tahun memberikan sebuah pidato kuat yg memberikan pengaruh besar ( dan membungkam ) beberapa pemimpin dunia terkemuka.Apa yg disampaikan oleh seorang anak kecil ber-usia 12 tahun hingga bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai ruang sidang penuh dengan orang" terkemuka yg berdiri dan memberikan Tepuk Tangan yg meriah kepada anak berusia 12 tahun.Inilah Isi pidato tersebut: ( sumber The Collage Foundation )Halo, nama Saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O - Enviromental Children OrganizationKami Adalah Kelompok dari kanada yg terdiri dari anak" berusia 12 dan 13 tahun. Yang mencoba membuat Perbedaan: Vanessa Suttie, Morga, Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk bisa datang kesini sejauh 6000 mil. Untuk memberitahukan pada anda sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, Hari ini Disini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan masa depan bagi diri saya saja.Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yg akan datang.Saya berada disini mewakili anak" yg kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar.Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang" yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan habitat nya. kami tidak boleh tidak di dengar.Saya merasa takut untuk berada dibawah sinar matahari karena berlubang nya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yg dibawa oleh udara.Saya sering memancing di di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan"nya penuh dengan kanker. Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang" dan tumbuhan satu persatu mengalami kepunahan tiap harinya - hilang selamanya.Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar binatang" liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan burung dan kupu". tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal" tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah" kecil ini ketika anda sekalian masih berusia sama seperti saya sekarang?Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua pemecahan nya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki semua pemecahan nya tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa anda sekalian juga sama seperti saya!Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita.Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan" salmon ke sungai asal nya.Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang" yang telah punah.Dan anda tidak dapat mengembalikan Hutan-Hutan seperti sediakala di tempatnya yang sekarang hanya berupa padang pasir.Jika anda tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!Disini anda adalah deligasi negara-negara anda. Pengusaha, Anggota perhimpunan, wartawan atau politisi - tetapi sebenarnya anda adalah ayah dan ibu, saudara laki" dan saudara perempuan, paman dan bibi - dan anda semua adalah anak dari seseorang.Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi udara, air dan tanah di planet yang sama - perbatasan dan pemerintahan tidak akan mengubah hal tersebut.Saya Hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama.Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.Di Negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan, kami membeli sesuatu dan kemudian membuang nya, beli dan kemudian buang. walaupun begitu tetap saja negara" di utara tidak akan berbagi dengan mereka yang memerlukan.Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan dan papan yang berkecukupan - kami memiliki jam tangan, sepeda, komputer dan perlengkapan televisi.Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami menghabiskan waktu dengan anak" yang hidup di jalanan. Dan salah satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: " Aku berharap aku kaya , dan jika Aku kaya, Aku akan memberikan anak" jalanan makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal . dan Cinta dan Kasih sayang " .Jika seorang anak yang berada dijalanan yang tidak memiliki apapun, bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih begitu serakah?Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak" tersebut berusia sama dengan saya , bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan yang begitu besar. bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari anak" yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak yang kelaparan di Somalia ; seorang korban perang timur tengah atau pengemis di India .Saya hanyalah Seorang anak kecil namun saya tahu bahwa jika semua Uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat kemisikinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa indah jadinya dunia ini.Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak anda mengajarkan kami untuk berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan orang lain.Mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang kita timbulkan.Tidak menyakiti makhluk hidup lain, Berbagi dan tidak tamak.Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang anda ajarakan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut?Jangan lupakan mengapa anda menghadiri Konfrensi ini. mengapa anda melakukan hal ini - kami adalah anak" anda semua , Anda sekalianlah yang memutuskan dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua seharus nya dapat memberikan kenyamanan pada anak" mereka dengan mengatakan " Semuanya akan baik-baik saja ". 'kami melakukan yang terbaik yang dapat kami lakukan' dan ' ini bukanlah akhir dari segalanya'Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda semua?Ayah saya selalu berkata ' kamu akan selalu dikenang karena perbuatan mu bukan oleh kata" mu 'Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari. kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami.Saya menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata" tersebut.Sekian dan terima kasih atas perhatian nya.Servern Cullis-Suzuki telah membungkam 1 ruang sidang Konfrensi PBB, membungkam seluruh Orang" penting dari seluruh dunia hanya dengan pidatonya, setelah pidato nya selesai serempak seluruh Orang yang hadir diruang pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah kepada anak berusia 12 tahun.dan setelah itu ketua PBB mengatakan dalam pidato nya.." Hari ini Saya merasa sangatlah Malu terhadap Diri saya sendiri karena saya baru saja disadarkan betapa penting na linkungan dan isi nya disekitar kita oleh Anak yang hanya berusia 12 tahun yang maju berdiri di mimbar ini tanpa selembar pun Naskah untuk berpidato, sedang kan saya maju membawa berlembar naskah yang telah dibuat oleh assisten saya kemarin Saya ... tidak kita semua dikalahkan oleh anak yang berusia 12 tahun "------------ --------- --------- --------- --------- ---------Cerita ini benar" terjadi dan pidato severn Cullis-Suzuki itu benar" pidato yang dikatakan nya dalam pidato tersebut tanpa dilebih" kan .Apa yang anda dapat dari cerita tersebut?


Luar biasa anak yang berumur 12 tahun waktu itu sudah berani berpidato di depan sidang international. Bukan hanya berpidato akan tetapi sudah berpikir tentang bagaimana menyelamatkan lingkungan hidup yang kita kongsi bersama. Two thumbs up for her. salud untuk dia.Kalau ada yang mau lihat pidato asli nya bisa klik link ini: http://www.youtube.com/watch?v=TQmz6Rbpnu0&feature=relatedSaya coba ceritakan sedikit yang yang sudah di lakukan Amerika, khususnya California.Kota San Fransisco sudah melarang mengunakan kantong plastik kresek, yang mana merusak lingkungan dan plastik itu akan hancur memakan waktu paling sedikit 30 tahun atau lebih. Dan rencananya Kota Los Angeles dan banyakkota lagi akan ikut langkah tersebut.Starbuck coffee, kalau anda bawa cup sendiri , kamu akan dikasih discount 10%.Mobil hybrid di California yang bisa menempuh 45 mile keatas diperbolehkan di jalur 3 in 1 biarpun sendiri yang nyetir dan beberapa waktu lalu pembeli mobil hybrid dikasih tax credit , akan tetapi sekarang ngak ada fund itu lagi, akan tetapi sekarang orang yang pasang solar cell di rumah sekarang di kasih tax credit , dan itu tergantung state masing-masing juga.Beli toilet, faucet yang bisa hemat air, dapat rebate, beli A.C, water heater, lampu, jendela, kulkas, kompor,mesin cuci yang hemat energy juga dapat rebate.Saya berusaha mulai dari lingkungan sendiri, dan saya ajarkan anak saya recycle (pemulung) all beverage container ( botol, kaleng minuman), dan anak-anak juga senang karena mendapatkan uang jajan.Print kertas bolak balik, cuci mobil pakai ember air instead selang air, waktu sikat gigi, atau lagi shampoo, airnya dimatikan dulu.Dan masih banyak lagi yang dibisa kita lakukan asalkan ada kesadaran dan kemauan meyelamatkan likungan hidup yang sehat, yang penting kita sendiri yang mulai dulu.Bagaimana kita usulkan untuk Br. Aloysius (Santo Paulus +SD+SMP ) sebagai pelopor dalam hal lingkungan hidup.Seperti kita tanamkan lebih banyak pohon lagi, olah kompos dari sampah organik, recycle.Dalam science class juga bisa diajarkan cara membuat Ethanol dari singkong, tebu, tanaman lainnya, mengolah sampah menjadi energy (Biomass energy),dan yang sebenarnya paling bagus adalah tenaga sinar matahari( Solar energy) karena kita pass di bawah equator yang mana titik panas selalu ada dan lebih panjang waktunya.Salam David

Cungkilan kisah mengenai penyelamatan lingkungan hidup selalu merambatkan getaran keterpesonaan, suatu sikap takjub dan makhlum yang mendalam. Sebab bagaimanapun kita - manusia adalah bagian kecil dari kosmos yang besar dan menakjubkan.Aku membaca sepotong kisah yang dimuat di Kompas 19 Januari lalu, kisah si Badri Ismaya. Kisah itu membuat saya percaya bahwa jangan-jangan ada mukjizat, kata lain dari sesuatu yang menakjubkan. Mukjizat dalam versi ini tak datang ke dunia secara spektakular. Ia menyusup dalam berkas-berkas kecil. Empat tahun setelah tahun 1975 ia keluar masuk hutan dengan gergaji dan parang. Ia merusak hutan dan mnejual kayu hutan sebagai kayu bakar. Ia mendapatkan nafkah dengan merusak hutan. Tapi suatu ketika, 6 Oktober 1979, ketika ia beristirahat dari penat, setetes air menetes dari pohon yang baru ditebangnya. Setetes air itu menjadi titik kulminasi hidupnya. Setelahnya ia memang keluar masuk hutan tapi tak lagi memotong pohon, malah ia menanam pohon. Selama 3 dasawarna ia berusaha menanam dan terus menanam, walau ia mesti kehilangan pekerjaan, tak ada penghasilan, dimarah istri, dianiaya oleh spekulan tanah dan petugas keamanan.
Saya kira kita perlu melihat bahwa kisah orang ini adalah sebuah cerita penebusan yang mendasar: di zaman yang dibentuk oleh keserakahan manusia, Badri jadi sebuah antidot. Ia menangkal kerakusan. Ia tak mengambil. Ia menyumbang. Agaknya ia tak ingin kita membunuh diri dengan saling menghancurkan, setelah putus asa melihat diri sendiri sebagai unsur yang keji di planet bumi. Agaknya ia ingin manusia seperti pohon hutan: makhluk yang luka tapi memberi tetes air dan keajaiban.
Agaknya keajaiban tak akan pernah terentang nyata ketika penyelamatan lingkungan hidup hanya sebatas wacana. mukjijat itu hanya akan merembes dalam sikap kerendahan hati yang memberi tanpa lagi ditangkap oleh sikap 'rakus'.
dan saya yakin, di luar sana, banyak pahlawan lingkungan hidup sekalipun mereka tak pernah dikenal. :)

jabat erat,
Bernard
Selengkapnya...

UN Meningkatkan Mutu Pendidikan?

Harap-harap cemas, takut, pesimis itulah perasaan peserta didik dalam menanti hasil ujian nasional (UN). Bukan hanya peserta didik saja, tetapi para guru, kepala sekolah, orang tua murid, dan pihak yang terkait pun demikian. Perasaan itu karena hasil UN sangat berpengaruh pada jenjang berikutnya, seperti dari SD ke SMP, SMA dan perguruan tinggi. Hasil UN juga menjadi gambaran kinerja para guru dan kepala sekolah. Profesional guru dan kepala sekolah menjadi pertaruhannya. Sekolah-sekolah mendudukan prestasi UN sebagai ajang pertarungan reputasinya bagi masyarakat, dinas pendidikan dan pemerintah daerah. Selain itu, hasil UN menjadi indikator mutu pendidikan di tanah air kita.
Namun, pernahkah kita berintrospeksi atas eksistensi UN? Jika UN tetap dipertahankan, kita akan bertanya-tanya ke manakah arah pendidikan di tanah air ini? Umpan balik dari UN selama ini tidak memberikan kontribusi yang handal, cerah ke arah peningkatan mutu pendidikan yang signifikan dan komprehensif. Bahkan justru UN mematikan roh pendidikan kita. Tidak sedikit dampak negatif dalam pendidikan kita. Dalam realitas, UN hanya mengaburkan proses pembelajaran, peserta didik, dan pendidik itu sendiri.
Dalam Proses Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran, peserta didik hanya menjalani latihan soal. Selama di kelas terakhir peserta didik dibekali dengan prediksi, bayangan soal-soal, cara cepat dan tepat menjawab. Tidak cukup waktu di dalam kelas, peserta didik harus mengikuti bimbingan belajar baik di sekolah maupun luar sekolah. Selain itu, ada juga peserta didik mengikuti les privat. Setelah menempuh cara-cara belajar yang demikian, peserta didik mengikuti try out. Bahkan sekolah mengadakan try out beberapa kali. Alhasil, bukannya meningkat malah semakin menurun, hanya beberapa peserta didik yang siap.
Proses pembelajaran lebih berkonsentrasi dan berorientasi pada UN. Pembelajaran dikondisikan bergaya instant, karbit, tanpa cara berpikir yang benar, dan nilai-nilai hidup. Cara ini menciptakan peserta didik untuk bersikap curang. Bahkan guru, kepala sekolah dan pihak terkait pun ikut curang. Demi mencapai target angka lulus kita mendengar ada yang menyontek, boncoran jawaban, dan sikap tidak jujur pun tetap ditempuh. Pelaksanaannya hanya mendatangkan ‘sakit’ bagi peserta didik dan guru. Secara fisik peserta didik mulai sakit seperti flu, demam dan pusing. Secara psikis siswa dan guru pun merasa takut, grogi dan stres. Sangat disayangkan, peserta didik dalam proses pembelajaran sampai dengan evaluasi harus ‘menderita’ baik fisik maupun psikis. Inikah cara kita meningkatkan mutu pendidikan?
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mengisyaratkan model pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran berpusat pada peserta didik. Pendidik sebagai fasilitator dan motivator, sehingga peserta didik menjadi inisiatif, aktif, kreatif, dan inovatif. Maka proses pembelajaran dan penilaian harus integral. Model penilaian harus bertolak dari proses pembelajaran. Jika proses pembelajaran dengan fasilitas, sarana prasarana yang sangat terbatas di setiap daerah, sumber daya manusia (SDM) guru yang berbeda, kemampuan peserta didik yang heterogen, kita perlu berpikir lagi tentang UN. Karena UN hanya menetapkan standar nilai yang harus dicapai siswa. Apalagi soal-soal UN sangat terbatas (limitative), sehingga tidak terakomodasi kemampuan peserta didik yang komperhensif. Bahkan UN kurang adil karena membuat dikotomi terhadap mata pelajaran yang dipelajari peserta didik. Ada sejumlah mata pelajaran, tetapi yang diujikan hanya beberapa saja. Maka sebenarnya UN mengabaikan disparitas kondisi di tiap daerah. Standar bukan soal nilai-angka target UN melainkan fasilitas, sarana prasarana dan SDM guru-guru yang berkualitas.
Dalam kelas pendidik tidak lagi mengikuti rambu-rambu dalam KTSP. Semuanya itu karena tuntutan UN lain. Demi UN, pendidik melaksanakan pembelajaran dengan model latihan dan membahas soal-soal baik dari buku teks, LKS ataupun soal-soal UN yang silam. Bahkan pembelajaran hanya terfokus pada kisi-kisi materi UN. Tidak heran pembelajaran sangat monoton dan membosankan peserta didik. Bentuk pembelajaran seperti itu hanya menurunkan kredibilitas pendidik, sehingga peran ini ‘tergantikan’. Masyarakat mulai membuka praktik ‘bimbingan belajar’ bagi peserta didik untuk menghadapi UN. Akhirnya, peserta didik lebih mengandalkan bimbingan belajar daripada pembelajaran di dalam kelas lagi.
Di sisi lain, kredibilitas pendidik semakin diragukan manakalah pemerintah melibatkan pihak-pihak lain untuk mengawas-memantau pendidik dalam pelaksanaan UN. Pihak pemantau independen dari perguruan tinggi, kepolisian, dinas pendidikan secara bersama mulai memantau kerja pendidik dalam UN. Akibatnya pendidik pun merasa takut, grogi dan tidak bebas lagi dalam bertugas. Hasil pekerjaan siswa tidak dikoreksi guru, tetapi komputer. Harus diakui computer pun tetap ada kekurangannya. Hasil koreksinya tidak pernah dikembalikan kepada siswa atau guru. Mereka hanya mendapat nilai di atas kertas. Apa motif semuanya ini? Yang jelas pendidik sudah mulai kehilangan wibawa dan kredibilitasnya. Jika sistem pendidikan dan pengajaran kita seperti ini, benarkah UN itu meningkatkan mutu pendidikan? Pembelajaran di sekolah dan sistem pendidikan yang berlaku sangat kontradiksi. Pendidikan kita tidak lagi konsisten dan komitmen dalam pembelajaran dan penilaian (evaluasi), bagaimana mungkin UN menjadi tolak ukur mutu pendidikan?
Dampak bagi Sekolah
UN memberi dampak bagi sekolah secara positif dan negatif. Jika persentase kelulusan UN mencapai 100%, sekolah itu bermutu. Reputasinya baik dan dipercayai masyarakat. Orang tua akan antean mendaftarkan anaknya. Sekolah tersebut akan mendapat peserta didik yang terselesksi (bibit unggul). Sebaliknya, jika persentase kelulusan tidak mencapai 100% sekolah itu tidak bermutu. Masyarakat kurang percaya lagi pada sekolah tersebut. Maka orang tua pun ragu-ragu menyekolahkan anaknya. Apalagi dalam pelaksanakan UN terendus sekolah itu curang (tidak jujur) kepala sekolah siap diganti atau pindah dan sebagainya.
Benarkah mutu pendidikan sekolah hanya diukur dengan hasil UN? Masih banyak unsur yang harus dicermati lagi. Aspek kemampuan peserta didiknya, keprofesionalan pendidik, penerapan kurikulum dan model pembelajaran, sarana dan prasaran pendukung, dana dan sebagainya perlu ditinjau lagi. Pendidikan tidak mengejar target nilai atau angka yang distandarkan supaya lulus, tetapi membantu peserta didik dalam kehidupannya. Non scholae set vitae dicimus. Itulah tugas esensial dan roh pendidikan di sekolah. Sebab kalau tidak disiapkan dengan baik, peserta didik tidak mampu bersaing yang pada akhirnya menambah pengangguran dalam masyarakat. Selain itu, peserta didik akan kehilangan identitas dirinya, budaya bangsanya karena nilai-nilai kemanusiaannya terabaikan.
Perbaiki Mutu Pendidikan
Usaha memperbaiki mutu pendidikan di tanah air ini bukan semata-mata dengan mengadakan UN. Usaha itu sangat tidak substansial. Yang patut diperhatikan bersama, yakni kita harus konsisten dan komitmen atas kurikulum, kebijakan, dan sistem pendidikan. Jika itu rancu dan ambivalen, pendidikan kita tetap terpuruk dan tidak mampu bersaing dalam percaturan global dan modern ini.
Untuk itu, perlu revitalisasi dan restrukturisasi UN dalam pendidikan kita. Pelaksanaan UN harus ditinjau kembali. Selain itu, perlu adanya perubahan paradigma bahwa UN bukanlah cermin mutu pendidikan. Bebaskan UN dari berbagai kepentingan dalam pendidikan. Karena UN tidak ‘adil’, ia telah mengikis nilai-nilai pendidikan. Untuk memperbaiki mutu pendidikan, konsentrasi dan orientasi kita bukan pada UN, tetapi lebih pada pendidik, peserta didik, fasilitas, sarana dan prasarana serta dana yang cukup.
Perhatian berikutnya, yaitu pendidik. Karena guru merupakan garda terdepan pendidikan formal. Kita mempunyai kurikulum yang bagus, sarana dan prasarana yang lengkap, dana yang cukup, tetapi pendidik tidak profesional tetap nihil. Kita membutuhkan figur pendidik bukan hanya profesional, tetapi mempunyai hati untuk mendidik dan mengajar. Maka perlu pemberdayaan sang guru dalam tugas pendidikan dan pengajaran. Pengembangan diri sang guru menjadi profesional, sehingga menjadi kritis, kreatif, inovatif, dan kompatibel menghadapi tantangan zaman ini. Selain itu, guru juga dibekali dengan nilai-nilai hidup, sehingga ditularkan kepada peserta didiknya. Dalam bertugas, guru harus otonomi tanpa intimidasi dari berbagai pihak demi kepentingan tertentu.
Akhirnya, perlu ada perubahan paradigma tentang UN. UN bukan untuk menentukan mutu pendidikan, tetapi lebih sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran. Kehadiran UN bukan menakutkan dan beban bagi semua pihak. Dengan demikian, praktik kecurangan dan intimidasi antarberbagai pihak tidak terjadi lagi. Di samping itu, sistem dan kebijakan pemerintah harus konsisten dengan kurikulum, sarana prasarana, pendidik, peserta didik, dan dana yang diperlukan. Dengan memperhatikan semua aspek tersebut, pelaksanaan UN dimaksudkan lebih memotivasi dan memacu semua sekolah untuk berkompetisi secara sehat, sehingga mendapat gambaran perkembangan pendidikan di tanah air ini secara valid. Semoga.

Gerardus Weruin, MTB guru SMA Santo Paulus. Selengkapnya...

Selasa, 09 Juni 2009

Mari Berpantun

Mari Berpantun
Oleh : Bernardus Anen

Anak ikan dan anak kerudu
Banyak terdapat dalam perigi
Kalau program kerawam terpadu
Tahun depan bertemu lagi

Kalau membeli batu asah
Pilih saja yang merah tua
Walau hati kita berpisah
Kita tetap seia sekata

Bersantai-santai waktu pulang
Karena semua sudah beres
Pandai-pandai cari peluang
Dalam menentukan capres

Agak dekat sarang penyengat
Itu tarang di dahan landai
Satukan tekad bulatkan semangat
Agar tahan menentang badai

Buah cempedak enak rasanya
Setelah di makan ludes segera
Walau tidak bertanda jasa
Tetap tekun dalam berkarya

Nasi kuah enak dimakan
Karena dicampur bumbu kari
Selamat berpisah selamat jalan
Semoga panjang umur dan murah rejeki

(Pantun ini merupakan kesimpulan dalam pertemuan Kerawam di Tirta Ria, pada tgl 4-5 Juni 2009) Selengkapnya...

Generasi Minimalis dan Ambivalensi

Anak-anak merupakan generasi penerus masa depan suatu bangsa. Segala perjuangan, cita-cita dan harapan bangsa ada di pundaknya. Mereka mejadi aset dan sumber daya manusia bagi keluarga dan bangsa. Harga berharga ini haruslah kita jaga dan pelihara, sehingga mereka tumbuh berkembang dan belajar hidup secara wajar dalam menatap mas depan yang penuh optimis. Tanggung jawab dan perhatian akan masa depan mereka bukan semata-mata urusan keluarga melainkan pemerintah, sekolah dan lingkungan masyarakat. Persoalan masa depan mereka juga merupakan bagian dari persoalan hidup kita semua.
Kak Seto Mulyadi mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai dan menghargai anak-anak karena anak-anaklah pemimpin bangsa masa depan. Kata-kata saleh dan bijak ini memposisikan anak sebagi pribadi yang bermartabat. Anak bukanlah objek untuk dieksploitasi, dijadikan kelinci percobaan, dan botol kosong yang harus diisi oleh siapa pun sesuai selera dan kehendaknya sendiri. Anak tidak boleh diperlakukan seperti orang dewasa mini. Dunia anak mempunyai kekhasan tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Ia dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Dia merupakan pribadi unik yang memiliki kebutuhan, minat, kemampuan, dan kegemaran secara unik pula. Namun, orang dewasa belum begitu mengenal dan memahami kebutuhan anak-anak.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Apabila di tempat yang jauh pun tetap dikenal jenis pohonnya. Buah tetap mempertahankan identitas pohonnya. Demikian pula, orang tua dan anaknya. Orang tua mengakui bahwa anak merupakan bauah hatinya. Buah hati mempresentasikan bahwa anak dekat dan bagian darinya. Orang tua memberikan perhatian, kasih sayang, kepercayaan, kepercayaan, keamanan, penghargaan, penghormatan akan martabat, motivasi, pujian dan sebagainya kepada anak. Orang tua mulai menanamkan nilai-nilai hidup seperti : disiplin, kejujuran, kepekaan, solider, toleransi, ulet, tekun, sabar, kerja keras, dan sebagainya kepada anak di dalam keluarga. Anak-anak dibiasakan oleh orang tua tentang moral, etika, estetika, sopan santun, keharmonisan, keadilan, dan rasa percaya diri sejak dini. Hal-hal itu mestinya dapat dialami dan dirasakan anak-anak pertama-tama dan terutama di dalam keluarga.
Namun, dunia telah berubah. Orang tua sekarang super sibuk (karier) di luar rumah, sehingga nilai-nilai itu dapat digantikan oleh pihak-pihak lain. Misalnya Baby sister dapat mengambil peran orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak. Play group, tempat penitipan anak, dan sebagainya telah membius tanggung jawab dan perhatian orang tua. Di samping itu, sejak dini anak-anak telah digiring untuk mengikuti les-les baik di rumah maupun di luar rumah. Terlepas dari minat dan kegemaran anak, suka tidak suka, mau tidak mau anak dipaksakan untuk mengikuti kehendak orang tuanya dengan mengorbankan dunia bermainnya. Anak-anak pun dimanjakan dengan materi-materi yang menggiurkan. Semuanya itu hanya untuk meredam dan mempersempit ruang gerak anak. Ternyata tawar-tawaran itu tidak semuanya memuaskan kebutuhan anak dan dapat menggantikan peran orang tua dalam keluarga.
Dunai anak bukanlah dunia orang dewasa yang dibuat super sibuk untuk mengejar sesuatu. Dunia anak adalah bermain. Bermain yang diwarnai dengan keceriaan, kreatif, spontanitas, suka bertanya, punya imajinasi yang tinggi. Peta perhatian orang tua kepada anak tidak lagi pada for the best interest of the chlid, melainkan pada the best interest in the parent. Demi ambisi dan gensi orang tua akan masa depan anak, maka anak “dipaksakan” mengikuti kemauan orang tua. Apabila anak melakukan dalam keadaan terpaksa, takut, terancam, dan tidak bebas tentu saja hasilnya pun sangat minimalis. Ia melakukannya demi kesenangan dan kebanggaan orang tua agar tidak dimarahi dan dihukum. Berhadapan dengan nilai-nilai penghargaan dan penghormatan akan martabat, kepercayaan, mandiri, disiplin, jujur, kerja keras, dan sebagainya anak menjadi semakin ambivalensi dalam hidupnya. Memang tidak semua anak dan orang tua. Akan tetapi, orang tua belum sungguh-sungguh memahami dan mengenal akan kebutuhan, minat, kemampuan, kemauan, dan masalah-masalah yang dihadapi anak-anak pada zaman ini. Kegagalan ini mengisyaratkan suatu gejala bahwa pola dan gaya-gaya anak-anak pada zaman ini bermental minimalis dan ambivalensi.
Kegagalan pendidikan dalam keluarga belum terobati di sekolah. Lingkungan formal ini belum mampu sebagai jembatan antara rumah dan masyarakat. Sekolah belum (tidak) mampu menjadi wadah dan memberikan kesempatan kepada anak untuk tumbuh dan berkembang supaya belajar secara integrasi-holistik. Dari pihak pemerintah sampai pada para guru di sekolah hanya sibuk mengotak-atik perihal sistem pendidikan, kurikulum, buku pelajaran, materi pembelajaran, sistem penilaian, profesional guru, menejeman sekolah, dan sebagainya. Anak hanya mendapat sebutan subjek , tetapi makna ke-subjek-an-nya sungguh-sunggu tidak terpahami secara baik dan benar. Konteks kehidupan, kebutuhan, , minat, kemampuan anak, dan anak-anak yang dihadapi anak tidak terselami. Mencermati kebijakan pemerintah dan pelaksana kebijakan di sekola-sekolah bukan pertama-tama mengabdi kepada anak, tetapi justru mengabdi kepada atasan. Maka tidak heran pendidikan dan pengajaran bukan memberi kesempatan dan kepercayaan kepada calon pemimpin bangsa- generasi penerus bangsa, melainkan demi pihak yang berkuasa.
Anak dididik dan diajarkan bukan dengan tujuan untuk hidup yang bermoral, beretika, berestetika, sopan santun, etiket, menggunakan emosi yang baik, memiliki jiwa spiritual yang tinggi, berbudaya, tetapi lebih pada alasan ekonomi belaka. Fenomena itu memunculkan adagium bahwa buat apa sekolah bila tujuannya mencari uang? Andrias Harefa (2002) telah melontarkan kritikan bahwa sekolah kita hanya melahirkan ”generasi sarimi” yang ”ketagihan sekolah”. Dalam bukunya Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, ia memaparkan bahwa generas kita telah kehilangan daya kritis dan kreatif bila memasuki dunia kerja. Mereka seperti monyet yang terlatih mengikuti intruksi dan perintah sang majikan agar kebagian ”hadiah” (uang, jabatan, proyek KKN, dan sejenisnya).
Menurut Harefa, penjara adalah ”sekolah” para bandit dan penjahat tulen. Sebagian besar bandit yang keluar dari penjara tidak menjadi manusia yang insaf dan bertobat, tetapi semakin mahir melakukan kejahatan dan semakin sering melakukannya tnpa harus ditangkap. Mungkin ada benarnya, karena sistem pendidikan kita ini lebih menekankan aspek kognitif (kepandaian otak), sedangkan asfek afektif (emosional) dan psikomotoriknya terabaikan. Maka salah kaprah bila kita mengukur tingkat keberhasilan anak berdasarkan hasil nilai ujian nasionalnya. Kita telah terjebak oleh reka-reka dan yasa-yasa proyek itu. Kehadirnya UN telah banyak menyedot perhatian, tenaga, waktu, bagi guru dan peserta didik serta tidak sedikit uang demi proyek itu. Guru-guru dan anak-anak telah dihipnotis dengan gaya UN standar tertentu yang hampir setiap hari bukan belajar melainkan latihan soal dan latihan menyontek. Bahkan dengan adanya standar UN tertentu membius orang tua siswa sehingga mencari les-les tambahan dan try out bagi anaknya dalam menghadapi UN. Semuanya itu dihantui rasa takut, khawatir, dan cemas akan nasib anak-anaknya. Sementara anaknya sendiri berusaha semangat minimal karena tidak mampu lagi, tetapi dipaksakan supaya bisa. Ternyata dari hasil NEM tercium ada praktik yang amoral, segala cara bisa ditempu yang penting halal. Sungguh suatu tindakan yang membuat citra pendidikan yang semakin kehilangan identitas dan kepercayaan dirinya. Anak-anak menjadi semakin ambivalensi menyaksikan sandiwara tujuan dan arah pendidikan bangsa ini. Kita kehilangan makna dan hakikat proses pembelajaran yang hanya memburu selembar kertas (ijazah dan NEM) bukan keterampilan dalam hidup. Proses pembelajaran dalam arti sesungguhnya telah direduksi maknanya. Sangat disayangkan anak belajar dalam suasana dan kondisi yang minimalis dan ambivalensi.
Lingkungan masyarakat mempunyai andil yang sama. Ia bukan menjadi tempat bersosial yang aman, sejuk dan hangat bagi anak-anak untuk berekspresi kebebasannya. Anak justru terjerumus dalam lembah hitam. Kekerasan, teroris, obat-obat terlarang, pergaulan bebas, semaraknya perselingkuhan dan perceraian, perjudian, korupsi, dan eksploitasi lingkungan hidup yang disaksikan anak. Belum lagi gaya hidup zaman modern yang diwarnai dengan materialisme, konsumerisme, hedonisme, dan mengagung-agungkan prestasi, gelar kekuasaan yang diperoleh dengan uang. Nilai uang menjadi penentu segala kesuksesan dan tujuan hidup. Relasi antarsesama dibangun bukan pada tataran solider, toleransi, persaudaraan, melainkan pada perhitungan ekonomis (uang). Di sisi lain, tayangan iklan-iklan di tv telah mengubah identitas diri anak-anak. Mereka lebih percaya diri bila tampil seperti dalam layar kaca yang maya. Iklan memberi mereka sebuah gambaran diri dan hidup yang palsu, yang lebih mendewakan tubuh dari pada penerimaan diri apa adanya. Sadar tidak sadar semuanya itu telah membentuk kepribadiannya sebagai generasi penerus keluarga dan bangsa ini. Menyaksikan itu semua mereka menjadi sangat minimalis dan ambivalensi.
Apa yang didapat dari keluarga, sekolah, dan lingkungan masyrakat sangat kontradiksi dengan realitas hidupnya. Tidak ada suatu kebenaran yang pasti. Ia hanya bergulat dengan dirinya yang dari hari ke hari tiada terbebaskan dengan masalah. Ia harus tumbuh-berkembang dan belajar hidup dalam keterpaksaan demi kehendak dan kemauan orang lain. Rasa takut, cemas, bingung, stres, depresi dan bunuh diri sudah enjadi bagian dari hidupnya. Ia berusaha bertahan dalam hidup dengan sikap yang minimalis dan ambivalensi tanpa ada yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan dan persoalan hidupnya. Dunianya adalah dunia orang dewasa mini. Sampai kapankah anak harus tumbuh dan berkembang serta belajar hidup seperti ini?
Begitu banyak paradoksal di depan orang dewasa yang disaksikan anak setiap hari. Anak mulai merekam, menyimpan bahkan meniru perilaku orang dewasa. Hidup mewah, mandiri, tetapi tidak merasa bahagia. Mereka mencari makna hidup ke mana-mana termasuk narkoba, pergaulan bebas, namun tidak menemukannya. Hidup mewah dan modern justru menyebabkan mereka ’lapar dan haus’ akan banyak hal. Krisis spiritual, kasih sayang, ketenangan jiwa, hidup yang tidak bermakna (meaningless life) banyak melanda anak-anak. Ia ada di pihak lemah yang tidak mampu melawan. Sebutannya subjek namun diperlakukan sebagai objek yang kurang dihargai, dicintai, dan dipercayai.
Khalil Gibran pernah berkata anak bukan milik kita. Mereka adalah anak panah dan kita busurnya. Kebebasan anak tidak boleh dirampas oleh arah busur hidup yang salah. Hari depan mereka jangan disesatkan oleh ambisi dan keinginan orang dewasa. Pesan ini membuka cakrawala kita bahwa kita harus belajar memahami dan mengenal dunia anak. Kita harus belajar menyelami kebutuhan, minat, kegemaran, dan kemampuan anak. Dengan demikian, kita memberi ruang gerak kesempatan dan kepercayaan kepada generasi penerus bangsa ini untuk tumbuh-berkembang dan belajar hidup secara benar. Jika tidak generasi mendatang sangat minimalis dan ambivalensi. Untuk itu, kita perlu mengagendakan dan memetakan program pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebutuhan dan kemampuan anak sesuai perkembangan globalisasi ini dengan tidak mehilangkan budaya kita. Apabila terabaikan generasi masa depan ini akan terasing dengan budayanya sendiri dan kehilangan identitas dirinya.

Br. Gerardus Weruin, MTB Selengkapnya...

Senin, 20 April 2009

SMA Santo Paulus Dalam Kenangan

Apa yang masih dapat dikenang kalau orang-orang pada bincang-bincang tentang SMA Paulus? Tentu saja bincangan para alumni dari setiap angkatan akan berbeda. Akan tetapi, satu hal yang patut dicatat bahwa Paulus yang dulu telah mencatat suatu prestasi yang gemilang dan sangat kredibel di masyarakat. Namanya pun sangat harum di kawasan Pontianak dan mungkin Kalbar pada saat itu. Semuanya itu tidak diragukan lagi karena ada pengakuan bahwa sebagian besar alumni Paulus sudah pada sukses dan berhasil hidup di masyarakat. Memang ada juga sejumlah alumni yang kurang beruntung membangun hidup, namun satu dari sekian sehingga secara makro pada berhasil. Barangkali baik juga bila SMA Paulus yang sekarang dapat melihat kembali ke belakang apa yang dilakukan pada saat itu sehingga menjadi eksis sampai saat ini?
Pertama, Paulus pada saat itu sangat dikenal dengan DISIPLIN. Baik guru maupun siswanya sangat disiplin. Inilah factor keberhasilan itu. Disiplin waktu, kerja, dan sebagainya sehingga memberi kesan bahwa SMA Paulus begitu ketat. Tetapi sebenarnya tidak, tergantung kesadaran tiap pribadi. Jika mau berhasil harus sungguh-sungguh patuh pada setiap peraturan yang ada di sekolah. Justru dari kiat inilah Paulus mulai menumbuhkembangkan sumber daya manusianya. Sehingga di masyarakat sikap ini menjadi bagian dari cermin tiap pribadi keluaran Paulus.
Kedua, Paulus pada saat itu sangat familier – kekeluargaan. Baik guru maupun siswanya tidak ada rasa untuk membeda-bedakan yang namanya suku, agama, dan sebgainya. Semuanya menjadi akrab dalam relasi kekeluargaan. Relasi ini mencerminkan suatu misi-visi penyelenggara sekolah, yaitu persaudaraan. Setiap pribadi dihormati, dihargai dan dipercaya sehingga berpacu untuk memajukan sekolah. Dan pemberdayaan pada setiap pribadi karena setiap pribadi memiliki bakat dan talenta istimewa. Nah, bakat dan talenta itu dibaktikan demi keharuman nama Paulus, misalnya dalam bidang olah raga, pelajaran yang sangat di kenal dan termasuk disegani kala itu, yakni hitung dagang. Semua mendukung keunggulan itu dengan partisipasinya. Bahkan karena terasa begitu kental suasana kekeluargaan sehingga suasana dalam kelas pun kadang-kadang relasi itu dapat dialami seperti relasi orang tua kepada anaknya sendiri. Guru begitu pengertian, memperhatikan siswa sehingga para siswa tidak lagi macam-macam selain patuh kepadanya karena patut dicontoh dan diteladani. Perhatian itulah cara guru membangun ikatan emosional dengan siswanya sehingga ‘enak’ dalam belajar. Dan jangan lupa ikatan emosi itulah membuat relasi siswa tidak berhenti di dalam kelas berlanjut sampai di luar yang sekarang kita lihat relasi antar alumni.
Ketiga, Paulus pada saat itu ‘ringan tangan’ atau dikalangan siswanya dikenal dengan istilah saling membantu. Membantu atau menolong satu sama lain ketika ada yang mengalami kekurangan. Bantuan tidak hanya pada materi (uang-barang). Bantuan dapat juga berupa pikiran, perhatian, membagikan bakat atau talenta sehingga semua akhirnya dapat mengatasi persoalan itu. Dan itu terbawa terus sampai di masyarakat. Di antara alumni pun mereka masih saling membantu bahkan bukan hanya di kalangan alumni tapi merambah ke almamaternya. Bantuan sekecil apa pun jika diberikan dengan tulus dan ikhlas akan memberi semangat dan daya hidup paa orang yang bersangkutan.
Keempat, Paulus pada saat itu memiliki kredibel dan nilai plus di masyarakat. Tamatan dari Paulus tidak diragukan lagi. Masyarakat sudah kenal, tahu dan percaya. Mereka sudah mendapat kepercayaan sehingga sebelum tamat kantor atau perusahan sudah memesan siswanya. Apa yang disiapkan di Paulus paling tidak menjawabi kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja-pasaran juga. Dan itu tidak perlu tes atau melamar lagi, langsung masuk kerja. Bahkan mereka diberi pos-pos penting seperti pengambil keputusan dan sebagainya. Khusunya dalam bidang Hitung Dagang (akuntasi) sangat dibanggakan karena hanya satu-satunya yang ada di Paulus. Hitung Dagang telah mengharumkan nama Paulus. Perkembangan zaman sedikit demi sedikit telah menggeser Hitung Dagang. Maka Paulus sekarang mau menampilkan apa sehingga menjadi nilai plusnya?
Nah, kalau kita menggali terus tentu masih banyak hal yang membuat Paulus dikenal dan dipercaya oleh masyarakat. Namun, perjalanan waktu dan perkemangan zaman telah mengubah kondisi dan lingkungan hidup pada umumnya dan SMA Paulus pada khususnya. Paulus yang dulu telah berjuang dan berkorban memberi warna dan mengharumkan nama. Mereka meletakan dan membangun SMA Paulus dengan nilai-nilai tersebut sehingga terkenal. Semua usaha itu memang berat, tetapi lebih berat untuk bertahan. Memulai itu mudah, tetapi meneruskan dan mempertahankan itulah persoalan tersendiri. Kini kita pada posisi untuk meneruskan dan mempertahankan apakah sulit? Pernakah kita duduk bersama dan menengok ke belakang bahwa Paulus mempunyai jurus jitu yang tidak tersaingi oleh sekolah yang lain? Kini sudah banyak sekolah di Pontiank dan Kalbar dengan embel-embel sekolah plus, standar nasional, bertaraf internasional. Harga jual “Hitung Dagang” tidak zamannya lagi. Lalu kita mau jual apa yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat, lapangan kerja, atau dunia kampus? Semuanya itu kalau kita duduk bersama satu meja melihat kembali apa yang tidak kita perhatikan selama ini, kita lalai, lengah sehingga tak mampu bersaing. Bagaimana mekanisme kerja, manajemen pengelolaan sekolah, dan misi-visi, nilai-nilai yang mau kita perjuangkan? Semuanya tersimpan rapi dalam kata komunikasi . Mari kita mulai lagi dengan cara berkomunikasi yang baik dan sepantasan sebagai manusia yang disebut sebagai makhluk yang paling mulai karena ia memiliki pikiran dan hati yang terangkum dalam bahasa. Bahasa dapat kita ekspresikan dalam majalah kesayangan kita … Varia … inilah wajah dan kepribadian SMA Paulus. Semoga apa yang kita mulai hari ini tumbuh dan berbuah di kemudian hari. Semoga….

Bruder Gerardus Weruin, MTB di hari kelahiran, Kamis, 6 Maret 2008.
(Ini sebuah cuplikan wawancara dengan Pak wakil wali kota Pontianak, alumni SMA Santo Paulus). Selengkapnya...

YPSB Menggelar Budaya Nilai





Yayasan pendidikan sekolah Bruder (YPSB) menggelar pembinaan bagi guru dan karyawan TK, SD, SMP dan SMA di Pontianak (10-13/2-’09). Pembinaan ini diikuti oleh guru-karyawan TK, SD SMP Bruder dan SMP Santo Tarsisius Singkawang, SMP Bruder Pontianak dan SMA Santo Paulus Pontianak. Kegiatan ini diadakan di gedung Bina Remaja dan ruang Multimedia SMA Santo Paulus. Pembinaan kali ini membahas tema ”Pendidikan Nilai atau Budaya Nilai”. Dalam kegiatan tersebut para guru dan karyawan dibimbing oleh tim Living Values, yakni Drs. MC Gunawan dan Drs. Petrus Damianus Subagya, MM dari Jakarta.
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari pembinaan sebelumnya yang mengangkat lima tema yang dianggap urgen berkaitan dengan tuntutan masyarakat. Kelima hal yang merupakan tuntutan masyarakat yakni, quality (kualitas pelayanan jasa), cost (biaya sebanding dengan perolehan), delivery time (tepat waktu, disiplin), safety ( aman, tercipta budaya sekolah), morale (etika, pendidikan nilai, moral terjalin secara terpadu). Tuntutan itu sekaligus menjadi refleksi YPSB, apakah sekolah kita masih mempunyai daya tarik, saing, dan bertahan di zaman global ini? Menjawabi refleksi itu maka tema moral menjadi prioritas untuk pembinaan bagi para guru dan karyawan di lingkungan YPSB.
Menurut Drs. PD Subagya pendidikan nilai sangat mendesak bagi anak didik kita. Hal ini bertolak dari masyarakat internasional dan nasional saat ini tumbuh dalam suasana yang tidak bernilai. Karena kehidupan sehari-hari diwarnai dengan kekerasan yang semakin meluas. Tindakan kekerasan telah melahirkan ketidakadilan dan penindasan terhadap sesama manusia. Kita hidup dalam suatu masa yang penuh persaingan dan saling menyingkirkan satu sama lain. Hal ini membuat hidup kita tidak aman, nyaman, damai, dan bahagia lagi. Kondisi tersebut sangat mengancam, sehingga kita harus cepat merespon supaya siswa tumbuh dan berkembang secara positif dan bertanggung jawab. Para guru dan karyawan harus memberikan penghargaan kepada anak didik, sehingga mereka dapat berubah. Bapak – Ibu guru diharapkan mulai dengan hal yang positif sedikit demi sedikit pada diri sendiri. Dengan demikian hal positif itu berpengaruh pada anak didik, sehingga merasa aman, bernilai, berharga, dipahami dan dicintai di lingkungan sekolah.
Sementara itu, Bapak Drs. M. Gunawan lebih menekankan bahwa dalam pendidikan nilai kita dapat belajar dari sang guru utama, Yesus Kristus. Ia memberi contoh dengan tindakan bukan hanya kata-kata. Ia merasa kasihan, iba lalu mengulurkan tangan baru berkata bukan sebaliknya. Yesus juga memberi kesempatan kepada orang berdosa- bersalah untuk diam berpikir, sehingga ada kesempatan untuk menjadi baik. Bapak Gunawan berharap agar para guru dan karyawan dapat mencontohi tindakan Yesus tersebut.
Kegiatan ini ditutup dengan Ekaristi yang dipimpin oleh Pastor Samuel Jumen, OFM Cap. Pastor Samuel berpesan walaupun pendidikan nilai ini belum berhasil, tetapi kita harus bersyukur ada yang mulai menggerakan kita. Sementara itu, Bapak Subagya menambahkan bahwa kita harus belajar burung Elang. Burung Elang mempunyai kebiasaan lain dengan semua burung. Ketika tiba saatnya, ia terbang ke gunung yang tinggi. Di sana ia melakukan transformasi diri, yakni menggantikan buluh, paruh, kuku yang tajam, sehingga menjadi baru kembali. Proses ini dilalui penuh dengan penderitaan. Namun, dengan cara itulah yang membuat dia bertahan hidup hidup lebih lama dari semua burung. Begitu pula dengan kita para guru-karyawan perlu melakukan transformasi diri. Setelah kita mengalami pendidikan nilai ini diharapkan supaya tim ini mulai ”membakar” Kalimantan Barat supaya sadar akan pentingnya budaya nilai. Mulailah dari diri sendiri! Budaya nilai tersebut akan menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah kita. Kemudian ketua YPSB, Br. Yanuarius, MTB menutup kegiatan pembinaan guru-karyawan itu dengan berpesan aga guru-karyawan dapat melaksanakan nilai-nilai yang sudah didapat dengan gembira bukan membuat masalah. Bapak Ibu guru jangan berharap anak melakukan cinta kasih, menghormati, memahami dan sebagainya jika tidak bermula dari gurunya. Nilai-nilai bukan sekadar diucapkan melainkan harus diwujudkan dalam tindakan, perbuatan dan sikap, sehingga menjadi kebiasaan, budaya nilai. Semuanya itu demi mencerdaskan anak didik kita sehingga mereka tumbuh dan berkembang dalam suasana aman, bernilai, berharga, dipahami, dan dicintai. Sang moderator, Bapak Bernard mengakhirnya kegiatan ini dengan berpantun :





Orang bujang hatinya panas
sehingga terlihat mukanya merah
Selamat berjuang, selamat bertugas
raihlah masa depan nan cerah.

Bersantai-santai waktu pulang
karena semua sudah lurus
pandai-pandai cari peluang
supaya Anda meraih sukses.



Br. Gerardus Weruin, MTB (sudah dimuat di majalah EDUCARE Edisi Maret 2009).
Selengkapnya...

Guru Itu Panggilan

Menjadi guru itu suatu panggilan. Bahkan dalam iman Kristiani, guru itu panggilan dari Tuhan sendiri. Guru dipanggil untuk mengembangkan anak menjadi pribadi yang utuh. Selain itu, guru juga dapat membawa pembebasan bagi tawanan, penglihatan bagi orang buta khususnya bagi anak didik. Hansen dalam bukunya Call to teach mengemukakan bahwa tugas guru merupakan panggilan seperti dokter dan perawat. Guru membantu anak untuk mengembangkan diri dan menemukan kebahagiaan sehingga pada akhirnya dia pun merasa bahagia. Demikianlah motivasi, hiburan dan peneguhan dari Rm. Paul Suparno, SJ bagi guru karyawan SMA Santo Paulus, Pontianak dalam workshop di ruang Multimedia (31 Oktober- 1 November 2008). Workshop tersebut merupakan rangkaian kegiatan dalam merayakan hari ulang tahunnya yang ke-45 (lustrum IX). Adapun tema perayaan tersebut, yakni SMA Santo Paulus eksis, dinamis, kualitas dan favorit di Pontianak, Kalimantan Barat.
Dalam acara tersebut, Rm. Paul mengajak guru dan karyawan berefleksi bahwa menjadi guru tidak sekadar profesi, tetapi panggilan. Guru dipanggil untuk membantu siswa supaya menjadi cerdas dan baik. Guru membantu siswa menjadi manusia yang utuh dan sempurna (holistik). Guru tidak mengikuti arus zaman sekarang yang hanya mendewakan kognitif sehingga aspek emosi, estetika, sosial, religius dan moral terabaikan bahkan kurang mendapat perhatian lagi. Tugas guru membantu siswa supaya mengetahui yang baik dan tidak, dan pada akhirnya dapat mengambil keputusan secara benar. Rm. Paul menantang para guru karyawan bahwa kalau ternyata dalam membantu siswa guru karyawan tidak merasa bahagia, damai, merasa berarti itu bukanlah panggilan. Bapak Ibu guru mungkin salah alamat, lebih baik berhenti sebelum terlambat karena guru tidak akan menjadi jutawan atau milioner.
Zaman sekarang banyak persoalan dalam pendidikan. Untuk menjadi pendidik yang baik, guru harus memiliki cinta. Cinta membuat guru tidak cepat marah, putus asa, mengeluh dan mandek. Cinta memberikan semangat berjuang, mau berkorban demi anak, dan merasa empati kepada anak. Dengan cinta guru rela diganggu, direpoti anak, seperti Yesus mencintai anak-anak … “Biarlah anak-anak datang kepadaKu jangan menghalangi mereka”. Dengan cinta, guru dapat memprioritaskan perhatiannya kepada siswa yang lamban, bermasalah, kecil, tersingkir, sakit, dan menderita.
Cinta akan tugas dan profesi ini membuat guru akan terus maju dan berkembang. Banyak guru hanya mengeluh dan terus mengeluh; mengajar sejak dulu sama saja, tidak kreatif. Guru bukanlah tukang, tetapi dia seorang intelektual yang kreatif dan inovatif. Maka guru dituntut supaya terus belajar mengembangkan diri. Dengan demikian guru diharapkan terus belajar berpikir kritis, bebas, rational, mengembangkan angan-angan, berimajinasi, berani bertindak dan bertanggung jawab, memperjuangkan keadilan dan kebenaran serta selalu refleksi atas tugas pelayanannya.
Selain itu, guru juga harus proaktif, inisiatif, berani bicara dan mengungkapkan gagasan, membangun kerja sama dengan sesama guru, siswa serta dapat berelasi dengan kepala sekolah, yayasan, diknas dan orang tua. Ada beberapa guru masih suka main otoriter, diktator dan memaksakan kehendaknya. Zaman ini sudah demokrastis maka pendidikan pun harus menyesuaikannya. Kebebasan lebih mengembangkan anak menjadi pribadi yang jujur dan tidak bertopeng. Guru perlu membebaskan siswa, mengembangkan talenta yang dimiliki siswa dan mencintai semuai siswa walaupun ada ilalang dan gandum. Dengan menyadari guru sebagai suatu panggilan dari Tuhan, guru diharapkan membantu dan mengantar siswa untuk mengenal Tuhan secara pribadi.
Setelah berefleksi dan sharing, acara itu ditutup dengan Ekaristi. Kemudian dilanjutkan dengan foto bersama dan ramah tamah sederhana bersama. Selamat berulang tahun ke-45 semoga SMA Santo Paulus tetap eksis, dinamis, kualitas dan favorit di Pontianak, Kalimantan Barat.


Br. Gerardus weruin, MTB (sudah dimuat di Majalah HIDUP). Selengkapnya...

Bahasa Indonesiaku Sayang, Tapi Malang

Sungguh menarik, kita membaca tulisan sang editor, Agus M. Irkham tentang Pudarnya Pesona Bahasa Indonesia (Kompas, 12/1). Di era modern dan global ini masih ada putra bangsa yang merasa cemas dan prihatin yang intens atas eksistensi dan martabat Bahasa Indonesia. Kiranya generasi muda (siswa) bangsa ini peduli akan kecemasan dan keprihatinan sang editor tersebut.
Mari kita bayangkan kalau orang muda anonim pencetus sumpah pemuda itu bangkit dari kubur dan mendapati generasi muda sekarang ketika berbicara dan menulis lebih suka menggunakan bahasa Inggris. Reaksi mereka tentu kecewa dan marah bahwa usaha dan perjuangannya kurang dihargai dan dihormati. Namun, ada reaksi lain bahwa mereka tentu bingung melihat generasi muda sekarang agak kebaratan (nginggris). Dan bukan hanya Inggris, tetapi masih ada yang lain, seperti Mandarin, Jepang, Korea, Arab dan sebagainya. Mestinya mereka tidak kecewa, marah bahkan bingung menyaksikan itu semua. Karena setiap generasi mempunyai pola pikir, pergaulan, lingkungan, dan perkembangan tersendiri. Bisa jadi timbul keheran-heranan dalam diri mereka. Sebab mereka belum mengenal komputer, internet, email, HP dengan gaya SMS yang sungguh tidak dimengerti dalam berbahasa, aneka cenel televisi, berbagai produk surat kabar, majalah, buku-buku, dan sebagainya. Dan saya kira mereka akan memaklumi dan menerimanya.
Pembelajaran Bahasa Indonesia
Walaupun siswa dalam berbicara dan menulis itu ada kecenderungan nginggris, mereka masih cinta dan sayang pada Bahasa Indonesia. Tidak proporsional mencap siswa kini menempatkan bahasa Indonesia pada nomor urut sepatu. Selain itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak favorit, sehingga tidak penting untuk dipelajari. Soal favorit itu relatif karena minat dan kegemaran siswa berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari faktor kecerdasan yang dimilikinya. Berkaitan dengan rendahnya minat siswa memilih jurusan bahasa Indonesia di perguruan tinggi tentu saja bukan indikasi dari nilai ujian nasional (UN). Nilai UN itu hanya permukaannya saja, sedangkan yang tidak kelihatan justru menyimpan permasalahan yang begitu kompleks. Ambil contoh apakah memilih jurusan bahasa Indonesia menjanjikan masa depannya? Maka, di sini berkaitan dengan lapangan pekerjaan. Untuk itu, kita perlu mengkaji kembali.
Sebenarnya yang membuat pesona bahasa Indonesia ini menjadi pudar bukan semata UN. Memang UN menjadikan cara dan sistem pendidikan ini kehilangan identitas dan jati diri bangsa Indonesia. Karena UN lebih menekankan kuantitatif daripada kualitatif. Padahal pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu proses yang harus dialami atau dilakukan oleh siswa. Realitasnya pembelajaran bahasa Indonesia hanya mengerjakan soal-soal dalam buku latihan kerja siswa (LKS), latih soal-soal dalam buku paket dan soal-soal try out sebagai persiapan UN. Itu semua sangat membosankan bagi siswa, sehingga “terpaksa” harus dipelajari. Kalau orang melakukan sesuatu dengan terpaksa, alhasilnya pun tidak memuaskan dan sempurna. Guru dan siswa mau mengembangkan pembelajaran seperti yang dianjurkan sang editor. Hanya kita akan merasa kasihan melihat hasil UN siswa akan lebih buruk lagi dan tentu mematikan semangat mereka.
Di sisi lain, orang tua dalam keluarga menanamkan konsep yang keliru pada anak-anaknya. Anak-anak sejak kecil sudah “dipaksakan” belajar bahasa Inggris, Mandarin dan sebagainya lewat kursus, les privat atau bimbingan belajar. Sekolah pun memperlihatkan bahwa ada gradasi pembelajaran bahasa Indonesia dan Inggris. Sarana penunjang bahasa Inggris disiapkan sementara bahasa Indonesia tergantung dari kreativitas gurunya. Belum lagi anak menyaksikan di lingkungan masyarakat. Lewat televisi mereka mendengarkan contoh omongan sang figur dan tokoh-tokoh yang bergaya keinggris-inggrisan. Mereka juga membaca tulisan di media massa dan di tempat-tempat umum yang cenderung menggunakan bahasa Inggris. Semuanya menjadi tekanan dan tuntutan bagi siswa di zaman modern dan global ini. Akhirnya mereka mengikuti gaya dan trend zaman itu. Mereka berguru dari kita penutur bahasa Indonesia ini.
Perlu Arif, Konsisten, dan Telandan
Gaya, trend, dan kecenderungan siswa itu hendaknya diterima dan dipahami. Bukannya kita cepat mencap yang negatif dan mengadili mereka. Yang sudah salah dipersalahkan lagi akan menjadi fatal. Secara arif kita mendamping dan membina mereka dalam proses penyadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ini memerlukan waktu yang lama bukan dikarbit.
Dalam berbahasa Indonesia kita harus konsisten. Artinya kita berpedoman pada kaidah yang sudah ada seperti Ejaan Yang Disempurnakan, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia dan sebagainya. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus dikemas secara menarik dan menyenangkan sehingga lebih hidup, dinamis dan penuh kejutan. Itulah menjadi harapan kita semua. Jika pembelajaran demikian dengan menekankan empat ranah, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, penilaiannya pun dilakukan secara integral dan komperhensif. Penilaian bukan membuat siswa merasa cemas dan takut karena menekankan aspek kognitif semata. Penilaian dilakukan sesuai dengan model pembelajaran seperti yang sudah digariskan dalam kurikulum tingkat satuan pelajaran. Siswa diharapkan memiliki kompetensi bukan nilai (angka-angka). Maka model UN perlu ditinjau kembali atau bahkan ditiadakan saja.
Di samping arif, dan konsisten, siswa memerlukan suatu teladan dalam berbahasa. Ini bukan semata tugas guru bahasa Indonesia. Semua guru wajib memberi teladan berbahasa yang baik dan benar. Begitu juga orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, media massa, buku-buku yang diterbitkan mempunyai andil yang besar untuk memberikan teladan dalam berbahasa.
Kiranya kekecewaan dan keprihatinan sang editor ini tidaklah berlarut-larut. Kita semua masih sayang dan cinta pada Bahasa Indonesia. Kita juga prihatin melihat nasibnya yang malang. Tugas dan tanggung jawab kita semua dalam mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia kepada generasi penerus bangsa ini. Mereka harus didampingi dan dibina agar menghargai dan menghormati bahasanya sendiri. Di tengah kompetisi modern dan global siswa kita tidak merasa inferior, tetapi merasa bangga dan percaya diri. Bahwa bahasa Indonesia menjadi identitas diri dan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Dengan demikian, kita diharapkan lebih giat dan proaktif dalam membina dan membiasakan siswa untuk belajar bahasa dan sastra Indonesia yang baik dan benar, sehingga Bahasa Indonesia jangan sampai pudar oleh ulah kita sendiri. Semoga.

Br. Gerardus Weruin, MTB guru SMA Santo Paulus Selengkapnya...