Jumat, 17 Oktober 2008

Eksistensi Bahasa Indonesia Menghadapi Globalisasi

Era globalisasi membawa dapak baik positif maupun negatif. Hal-hal positif dapat membawa kita pada perkembangan menuju suatu masyarakat yang berkembang dan beradab. Akan tetapi, tidak sedikit membawa dapak yang negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu sisi negatif yang sangat dirasakan adalah Bahasa Indonesia. Dengan adanya globalisasi ini bahasa Indonesia mengalami diskriminasi dari para penuturnya sendiri. Era globalisasi boleh datang, namun kita hendaknya tetap mempertahankan identitas bangsa, yakni bahasa Indonesia yang sebagai bahasa persatuan, negara dan nasional kita. Kita sedapat mungkin menggunakan bahasa-bahasa asing sesuai dengan proporsional. Bahasa asing tetap kita gunakan untuk ahli teknologi atau berkomunikasi antarbangsa.


Bahasa asing memang penting namun jangan sampai terjadi diskriminasi. Artinya bahasa Indonesia tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. Ia tidak lagi menjadi bahasa persatuan, negara, dan nasional yang seutuhnya. Bahasa Indonesia digunakan sebagai pilihan utama dan pertama daripada bahasa asing. Akan tetapi, dalam kenyataan kita tidak konsisten dan berkomitmen mempertahankan bahasa Indonesia. Sebagai contoh kita dapat membaca papan nama atau petunjuk arah di hotel-hotel atau bandara menggunakan bahasa asing lebih dahulu baru BI. Dalam pendidikan kita menjumpai sejak TK, SD, sudah diajarkan bahasa asing sementara bahasa Indonesia ala bisa karena biasa mendengarkan orang lain. Dan menjadi suatu ironis memang, yaitu ada kebijakan yang mengharuskan sekolah Indonesia berstandar international menggunakan bahasa Inggris dalam menyampaikan pelajarannya. Bahkan dalam menentukan kelulusan, bahasa Inggris ikut menjadi faktor penentu lulusan.


Semua hal tersebut membawa dampak bahwa BI cenderung ditinggalkan. BI mulai terasa kehilangan wibawa dan kebanggaan sebagai identitas bangsa Indonesia. Kecenderungan itu dapat kita amati di kota-kota besar, misalnya nama gedung, kompleks perumahan atau pertokoan dan papan-papan iklan menggunakan bahasa asing. Bahkan yang paling buruk kita rasakan dalam komunikasi sudah sebagaian besar mulai menggunakan bahasa asing. Dan lebih parah di kalangan orang muda yang menggunakan campuran dan bahasa prokem.


Kita memutuhkan UU kebahasaan yang tegas dalam mengatur penggunaan BI di berbagai bidang-sektor. Hal ini karena para penutur BI sendiri tidak tertib dan disiplin dalam menggunakannya. Diharapkan UU tersebut memberi kesadaran bahwa dengan berbahasa mengungkapkan identitas bangsa, diri sendiri, budaya, dan sopan santu kita sebagai suatu bangsa.


Makna dan nilai-nilai yang syarat dalam bahasa dan sastra Indonesia lambat laun akan ditinggalkan. Ada tiga hal yang akan ditinggalkan, yakni pertama menyangkut kaidah berbahasa. Kaidah berbahasa terutama mengenai ejaan yang disempurnakan (EYD) itu mulai kacau balau- ambulradul. Bahkan salah menggunakan dalam karya ilmiah atau dalam forum resmi pun sah-sah saja. Kedua, berkaitan dengan etika berbahasa, sopan santun berbahasa (pragmatik berbahasa). Dalam sapa menyapa, yang tua dan muda, cara mengungkapkan emosional, pikiran dan pendapat, menanggapi, kritik dan sebagainya. Semuannya itu perlu suatu kiat yang seni sehingga santun dan sopan sebagai ciri budaya kita. Ketiga, nilai politis bahasa bisa membahayakan bahkan dapat punah. Nilai politis ini terutama dari pemerintah (pemimpin) atau pengambil kebijakan. Terutama dalam pendidikan, kita lihat mulai dari TK, SD anak-anak sudah diajarkan bahasa asing. Hal itu boleh saja. Namun dampak negatif bahwa anak merasa lebih bangga dan senang bila ia menggunakan bahasa asing. Pembelajaran bahasa asing sungguh-sungguh diperhatikan, sarana dan prasaran dilengakpi atau diadakan. Pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan siswa, minat, kemampuan dan lingkungan anak-anak. Sementara bahasa Indonesia dianaktirikan. Secara politis kita menanamkan dikotami dan diskriminasi antara bahasa Indonesia dan asing. Maka tidak heran kaum muda merasa diri lebih keren menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Lagi-lagi eksistensi bahasa Indonesia terus-menerus terusik di dalam pembelajaran dan pemakaian dalam komunikasi.


Bagaimana usaha kita menyelamatkannya? Kita mulai dari keluarga. Peran orang tua sangat penting mengajar dan menanamkan cara berbahasa yang baik dan benar kepada anak-anak. Juga selektif dengan acara sinetron-sinetron yang seringkali menggunakan bahasa kekerasan, intimidasi, teroris dan sebagainya. Di sekolah pembelajaran yang dirasakan momok selama ini segera ditinggalkan. Kita tidak lagi belajar tentang (pengetahuan-ilmu) bahasanya melainkan bagaimana berbahasa. Maka di sana tujuan dan arahnya adalah keterampilan anak menggunakan bahasa dalam situasi yang kontekstual. Strategi pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga mengembangkan keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis dengan baik. Dan semua aspek itu pertama-tama bukan untuk mendapat nilai melainkan supaya penutur dapat berkomunikasi dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran harus memberi ruang gerak yang banyak kepada anak untuk berlatih, sedangkan guru memfasilitas, memotivasi dan memperbaiki, menunjukkan kesalahan kepada mereka. Belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar, dikolaborasikan dengan semua mata pelajaran. Karena bahasa Indonesia merupakan pintu masuk ilmu pengetahuan. Praktik dan latihan itu bertolak dari kebutuhan, minat, kemampuan dan lingkungan siswa. Pembelajaran pertama-tama melayani kebutuhan anak bukan kepada pemerintah, penyelenggara pendidikan dan sebagainya. Lingkungan masyarakat pun punya andil bahwa bahasa bisa membahayakan, tetapi juga menyejukan. Hal ini tergantung bagaimana lingkungan masyarakat membangun komunikasi bersama dengan menggunakan BI.


Kiranya beberapa hal yang dikemukan itu dapat berguna bagi perkembangan dan peradaban bangsa kita. Satu kata bisa mengubah dunia. Satu kata dapat menggoyangkan dunia. Tergantung kata itu mempunyai nilai yang baik atau buruk. Semoga apa yang diperjuangkan dan dicetuskan para pendahulu kita tetap kita lestarikan dan pelihara baik-baik. Ingat! Bahasa menunjukan bangsa, identitas bangsa, dan cermin budaya kita. Semoga BI tetap eksis dalam menghadapi era globalisasi ini.

Gerardus Weruin, mtb guru sma st. Paulus, Pontianak. (14 Februair 2008).

Tidak ada komentar: