Jumat, 17 Oktober 2008

Ke manakah Tujuan Pendidikan Kita?

Dalam UUD 1945 termaktub bahwa tujuan pendidikan kita, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kata cerdas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti dsb.), tajam pikiran. Mencerdaskan bermakna mengusahkan supaya sempurna akal budinya. Pendidikan di sekolah seharusnya memahami benar arti kata cerdas dan mencerdaskan itu. Sebab tujuan orang tua menyekolahkan anaknya supaya cerdas, secara sempurna baik pikiran, akal maupun budi (perilaku-sikap). Namun demikian, orientasi pendidikan di sekolah-sekolah kita belummengarah kepada mencerdaskan peserta didik dalam arti yang benar. Peserta didik menurut teori pembelajaran mutakir adalah subjek namun tetap saja ddiperlakukan sebagai objek, sehingga dari hari ke hari masih saja keluhan tentang perilaku siswa-siswi di sekolah.

Ada terobosan membuat kita lebih bergairah di abad ke-21 ini. Pertama-tama bukan karena perkembangan teknologi yang modern melainkan sebuah perkembangan konsep tentang apa artinya menjadi manusia. Ambil contoh orang gila masih sadar bahwa mencuri itu tidak baik, tetapi orang waras yang tahu bahwa mencuri itu tidak baik, tetap saja ia lakukan. Manakh dari kedua perilaku kedua orang itu disebut manusia? Membicarakan apa artinya menjadi manusia bukan sekarang baru muncul. Sejak zaman Socrates (470-399 SM) sudah dibicarakan. Begitu pula N. Driyarkara tokoh filsafat pendidikan dan kajian humaniora sudah lama menempatkan manusia dan kemanusiaan dalam gerak peradaban suatu bangsa sangat penting. Penulis seri buku Megatrends 2000 , John Naisbitt dan Aburdene begitu getol mengangkat tema tentang manusia. Romo Y.B. Mangunwijaya, arsitek-sastrawan-pendidik mencoba berjuang memberi ruang gerak kebebasan kreatif bagi anak-anak agar memiliki kemandirian sebagai manusia lewat sekolah Mangunan-nya. Ahli filsafat M. Sastrapratedja mengutip kembali pendapat Naisbitt dalam suatu esainya, “Apa dan Siapakah Manusia?” menegaskan kembali bahwa kesadaran akan eksistensi manusia dan kemanusiaannyalah yang menjadi titik sentral dalam hidup (baca sekolah-pendidikan).

Menurut Sastrapratedja sepanjang sejarah kita berusaha menjawab pertanyaan yang diajukan kepada diri sendiri : apa dan siapakah manusia itu? Pertanyaan tersebut lalu bersentuhan dengan kebudayaan terutama yang dikembangkan dalam dunia pendidikan (sekolah) kita. Budaya apa yang kita tanamkan dalam pendidikan di sekolah? Budaya akal-pikiran ataukah budi? Paradigma kajian humniora, hakikat pendidikan harus dapat mengembangkan potensi peserta didik dalam aneka segi kemanusiaannya. Maka pendidikan tidak hanya mengembangakan ranah kognitif (akal-pikiran), tetapi juga ranah afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Di sinilah pertaruhan dedikasi seorang guru yang bukan sekadar profesi guru sehingga dapat mengembangkan ketiga aspek itu secara simultan-seimbang, tidak mendewakan salah satunya. Dengan demikian sungguh memprihatinkan bila dalam pendidikan (sekolah) kita hanya mendewakan aspek akal-pikiran (kognitif) saja.

Pengetahuan intelektual memang penting, tetapi bukanlah yang terpenting dalam kehidupan anak sebagai manusia. Masih ada aspek lain yang harus dikembangkan seperti olahraga, bakat-bakat seni, religiositas, moral, sikap sosial dan sebagainya. Menurut Mangunwijaya kreativitas dan sikap ingin tahu pada akhirnya menuntut model pendidikan yang eksploratif. Slain itu, prinsip pendidikan adalah mengembangkan kepribadian secara utuh, bakat dan potensi anak secara total-integral. Semuanya itu demi pembentukan dan perkembangan kepribadian yang seimbang. Maka kita boleh bertanya dan refleksi sudahkan sistem pendidikan kita memberi iklim dan ruang gerak kepada pembelajar supaya sungguh-sungguh mengembangkan potensi diri dari berbagai segi kemanusiaannya? Dan apa yang dapat kita lakukan kalau sistemnya justru membelenggu?

Paradigma pedagogis dan didaktik meyakini bahwa penembangan kreativitas manusia (peerta didik) mensyaratkan pendidikan itu sebagai suatu proses. Slain itu juga, pendidikan itu sebagai sarana utama untuk memanusiakan manusia. Keyakinan ini segera pupus manakalah kebijakan pendidikan di tanah air ini justru menghambatnya. Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai suatu proses pemanusiaan, melainkan produk hasil akhirnya. Pendidikan diperlakukan sebagai komoditas ekonomi, seperti dalam dunia industri yang terpenting produk akhirnya. Pemerintah tidak mau tahu bagaimana produk itu diproseskan. Hal itu sangat jelas ketika Wakil Presiden Yusuf Kalla menanggapi kritikan para ahli pendidikan tentang ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan. Yusuf Kalla mengillustrasikan dunia pendidikan seperti produk pakaian jadi. Sebagai konsumen, ia tidak peduli bagaimana proses pembuatan pakaian, karena yang terpenting adalah setelah jadi baju tersebut bagus atau jelek. Fenomena besar UN yang terjadi justru lebih banyak dilakukan dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang baik. Malah memberi citra dan budaya yang amora pada dunia pendidikan itu sendiri, bahkan mencoreng wajah dunia pendidikan, sehingga tujuan pendidikan kita dipertanyakan.

Begitulah potret pendidikan kita sampai saat ini. Kita merindukan apa yang ddiwacanakan mantan Menteri Pendidikan Nasional, A. Malik Fadjar bahwa kembalikan kelas sebagai tempat belajar yang menyenangkan. Di sanalah kehidupan miniatur manusia yang harus dimanusiakan. Bagaimana kelas menjadi tempat belajar yang menyenangkan jika anak dan guru selalu dibayangi oleh soal-soal UN yang akan mereka hadapi? Anak selalu dibayangi tentang ujian dan apa yang diujikan, lulus atau tidak? Maka tidak cukup hanya dengan latihan mengerjakan soal-soal di dalam kelas, tetapi setelah selesai sekolah mereka harus mengikuti bimbingan belajar, les privat, dan sebagainya. Sungguh-sungguh menyedihkan. Anak-anak kehilangan waktu untuk berekspresi diri dan menikmati dunianya. Bahkan demi UN mata pelajaran yang lain dianaktirikan. Jika demikian, nurani kita akan menggugatnya, untuk apa pendidikan (sekolah) diselenggarakan? Untuk mengejar nilai UN ataukah mencerdaskan kehidupan bangsa? Jika de facto demi UN, barangkali tujuan pendidikan dalam Pembukaan UUD 1945 itu perlu dirumuskan kembali. Karena mencerdaskan bangsa itu sangat abstrak maka harus diganti untuk UN saja.

Peserta didik mempunyai kepribadian yang utuh. Bkan hanya kepala (akal-pikiran) saja yang diperhatikan. Kita boleh merasa bangga karena menang dalam olimpiade sain di tingkat internasional. Itu pun satu dari sekian juta anak di Indonesia. Namun lebih memprihatinkan bila kita melihat moral, sikap, dan watak peserta didik. Pembelajaran kurang memberi ruang gerak kepada siswa untuk berinovasi, kreasi dan berkreativitas, semuanya disapu olej pembelajaranmodel “penyekapan” atau sistem drill, latihan soal-soal untuk UN. Jika demikian, sekolah untuk apa dan siapa? Bukankah tujuan dan arah pendidikan supaya membekali siswa sehingga mampu mandiri, mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam kompetisi dunia internasional? Jauh sebelumnya sinyalemen itu sudah ditangkap oleh Mangunwijaya bahwa dunia pendidikan – historis empiris selalu menjadi instrumen para penguasa untuk mengkonsolidasi dan melegitimasi kemapanan mereka. Selain itu, demi reproduksi sikap danmental yang melestarikan dan memperkuat status quo kekuasaan mereka. Kini krisauan Francis Bacon menjadi kenyataan, bahwa knowledge is power! Sungguh-sungguh memprihatinkan pendidikan di tanah air ini, berjalan tanpa tujuan dan sepertinya kehilangan jejak pendidikan itu sendiri.

Gerardus Weruin, MTB guru SMA Santo Paulus

Tidak ada komentar: