Senin, 20 April 2009

Guru : Model Pembelajaran BSI

Guru : Model Pembelajaran BSI

Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (BSI) di sekolah, guru memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi keberhasilan siswa. Walaupun sekolah mempunyai kurikulum yang baik, sarana dan prasarana yang lengkap, siswa yang pandai dan cerdas, tetapi guru kurang memiliki kemampuan dan kecakapan BSI, pembelajaran itu gagal. Sebaik apa pun kurikulum, sarana-prasarana yang lengkap, anak-anak yang kreatif, jika tidak ditunjang kompetensi guru, kemampuan berbahasa siswa tetap gagal.
Guru BSI tidak hanya menguasai konsep-teori, dan materi ajar. Guru harus memiliki kemampuan dan kecakapan berbahasa, sehingga menjadi model bagi siswa. Tujuan pembelajaran BSI bukan sekadar menguasai konsep-teori melainkan supaya siswa cakap dan terampil berbahasa. Pembelajaran BSI di sekolah saat ini masih menekankan konsep-teori yang berorientasi pada kognitif. Pengetahuan diperlukan siswa untuk membantu kelancaran dalam berbahasa. Siswa memiliki banyak pengetahuan BSI, tetapi tidak cakap dan trampil dalam berbahasa. Paradigma ini diubah karena pembelajaran BSI tidak terarah pada hakikat dan tujuannya.
Pembelajaran BSI sangat penting dalam kehidupan siswa. Dengan bahasa siswa dapat menyampaikan ide, gagasan, pendapat, perasaan dalam berkomunikasi sehari-hari. Melalui aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulislah, siswa dapat mempelajari ilmu pengetahuan. Akan tetapi, dalam pembelajaran BSI keempat aspek itu belum mendapat porsi yang maksimal. Siswa masih diajarkan konsep-teori dan materi tentang bahasa dan sastra. Bahkan pembelajaran BSI menjadi momok dan sangat membosankan karena siswa dijejal dengan latihan soal di buku lembaran kerja siswa (LKS) dan membahas soal untuk ujian nasional. Bagaimana mungkin siswa memandang pembelajaran BSI itu penting dalam hidupnya?
Untuk itu, guru harus menjadi model dalam pembelajaran BSI. Artinya guru harus menjadi contoh dalam hal menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan bersastra. Guru menjadi penyimak, pembicara, pembaca, penulis dan penggemar sastra yang baik, sehingga siswa lebih percaya akan apa yang diajarkan. Akan tetapi, tidak semua guru BSI cakap dan mampu. Bahkan sebagian guru BSI agak memaksa siswa supaya cakap dan terampil sementara ia sendiri tidak. Guru hanya terpaku pada halaman demi halaman buku pelajaran yang sudah siap pakai.
Taufik Ismail prihatin atas kondisi pembelajaran seperti itu. Terlebih dalam sastra ia mengharapkan agar ada paradigma baru pengajaran sastra. Guru harus membimbing siswa memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira. Kondisikan supaya sastra menjadi hal yang menyenangkan, sehingga siswa antusias dan merasa penting. Biasakan siswa menyimak, berbicara, membaca, dan menulis karya sastra berupa : puisi, pantun, cerita pendek, novel, roman, drama, dan esai. Guru mengajak siswa mengunjungi perpustakaan untuk membaca, mendiskusikan karya sastra. Selain itu, guru mengkondisikan kelas yang menyenangkan siswa untuk mengarang-menuliskan karya sastra. Pembelajaran BSI mestinya menyemaikan nilai-nilai positif dalam batin siswa sehingga merasa bangga, mencintai, dan pentingnya BSI dalam hidupnya.
Paradigma itu akan terlaksana bila guru menjadi model dalam pembelajaran BSI. Guru tidak hanya menyampaikan materi dari halaman-halaman buku teks dan pengetahuannya saja, tetapi harus bertolak dari pengalaman berbahasa dan bersastranya. Guru menceritakan pengalamannya menikmati bahasa, isi sastra, sehingga kegemarannya itu tergambar dalam dirinya. Nilai positif itu dipraktikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari dalam pembelajaran BSI sehingga menjadi panutan yang menyemaikan nilai-nilai positif di batin siswa.
Untuk melatih empat kecapakan dan keterampilan BSI kepada siswa, guru harus memberi contoh. Guru menjadi model dalam hal kebiasaan membaca, membacakan puisi di depan para siswa dengan suara, sikap, dan penjiwaan yang baik. Juga ia dapat membacakan cerita dengan intonasi dan bahasa yang tepat sehingga tokoh-tokohnya hidup dan mampu menarik perhatian siswa. Guru juga menjadi model pembicara yang baik. Ia dituntut terampil dalam berpidato, membawakan acara, diskusi, berpendapat, sapa-menyapa dengan berbahasa yang baik, kritik, dan sebagainya. Demikian juga, guru menjadi model dalam menulis, terampil menulis, dan menyajikan karya tulisnya. Dari karya tulis itu siswa dapat belajar bagaimana menggunakan tanda baca, menempatkan huruf kapital, membagi paragraf, menyusun paragraf, dan wacana. Guru dapat menulis bahan ajar, karya ilmiah, artikel, surat (email, blog dan web). Guru juga menulis sastra berupa puisi, pantun, cerita pendek, novel, drama, dan sebagainya. Contoh-contoh pengalaman berbahasa-bersastra guru tersebut setidak-tidaknya dapat menyakinkan dan mempengaruhi siswa mengikutinya. Hal itu karena guru tidak hanya bertolak dari materi di buku teks melainkan keluar dari pengalaman-pengalaman yang sangat berguna bagi siswa.

Pembelajaran BSI dewasa ini sepertinya kehilangan jejak bagi siswa. Ia mengetahui konsep-teori BSI, namun tidak cakap dan terampil berbahasa. Guru yang menjadi model untuk dicontohi ternyata gagal. Orang dewasa yang menjadi panutan pun susah. Siswa kehilangan model dan contoh berbahasa yang baik lagi. Model dan contoh berbahasa yang baik dan benar dalam pembelajaran BSI sangat diperlukan siswa saat ini. Karena ada gejala siswa-siswa kurang tertarik dan merasa penting belajar BSI di sekolah.

Di tengah hilangnya model dan contoh berbahasa ini, guru BSI-lah yang menjadi tumpuan bagi siswa dan masyarakat. Pembelajaran BSI harus memberi ruang gerak untuk latihan menyimak, berbicara, membaca, menulis dan bersastra. Pengetahuan BSI memang perlu untuk membantu latihan atas keempat ranah itu. Keberhasilan pembelajaran BSI di sekolah sangat ditentukan oleh guru bahasa dan sastra Indonesia. Guru yang memiliki kemampuan berbahasa yang baik akan menjadi model bagi siswa. Pembelajaran BSI akan berhasil baik kalau berpusat pada siswa. Karena bila siswa cakap dan terampil berbahasa akan menumbuhkan kecakapan dan keterampilan hidup berupa pengenalan diri, berpikir rasional, hidup sosial, akademik, dan dunia kerja.


Br. Gerardus Weruin, MTB guru SMA Santo Paulus

Tidak ada komentar: