Senin, 20 April 2009

Bahasa Indonesiaku Sayang, Tapi Malang

Sungguh menarik, kita membaca tulisan sang editor, Agus M. Irkham tentang Pudarnya Pesona Bahasa Indonesia (Kompas, 12/1). Di era modern dan global ini masih ada putra bangsa yang merasa cemas dan prihatin yang intens atas eksistensi dan martabat Bahasa Indonesia. Kiranya generasi muda (siswa) bangsa ini peduli akan kecemasan dan keprihatinan sang editor tersebut.
Mari kita bayangkan kalau orang muda anonim pencetus sumpah pemuda itu bangkit dari kubur dan mendapati generasi muda sekarang ketika berbicara dan menulis lebih suka menggunakan bahasa Inggris. Reaksi mereka tentu kecewa dan marah bahwa usaha dan perjuangannya kurang dihargai dan dihormati. Namun, ada reaksi lain bahwa mereka tentu bingung melihat generasi muda sekarang agak kebaratan (nginggris). Dan bukan hanya Inggris, tetapi masih ada yang lain, seperti Mandarin, Jepang, Korea, Arab dan sebagainya. Mestinya mereka tidak kecewa, marah bahkan bingung menyaksikan itu semua. Karena setiap generasi mempunyai pola pikir, pergaulan, lingkungan, dan perkembangan tersendiri. Bisa jadi timbul keheran-heranan dalam diri mereka. Sebab mereka belum mengenal komputer, internet, email, HP dengan gaya SMS yang sungguh tidak dimengerti dalam berbahasa, aneka cenel televisi, berbagai produk surat kabar, majalah, buku-buku, dan sebagainya. Dan saya kira mereka akan memaklumi dan menerimanya.
Pembelajaran Bahasa Indonesia
Walaupun siswa dalam berbicara dan menulis itu ada kecenderungan nginggris, mereka masih cinta dan sayang pada Bahasa Indonesia. Tidak proporsional mencap siswa kini menempatkan bahasa Indonesia pada nomor urut sepatu. Selain itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak favorit, sehingga tidak penting untuk dipelajari. Soal favorit itu relatif karena minat dan kegemaran siswa berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari faktor kecerdasan yang dimilikinya. Berkaitan dengan rendahnya minat siswa memilih jurusan bahasa Indonesia di perguruan tinggi tentu saja bukan indikasi dari nilai ujian nasional (UN). Nilai UN itu hanya permukaannya saja, sedangkan yang tidak kelihatan justru menyimpan permasalahan yang begitu kompleks. Ambil contoh apakah memilih jurusan bahasa Indonesia menjanjikan masa depannya? Maka, di sini berkaitan dengan lapangan pekerjaan. Untuk itu, kita perlu mengkaji kembali.
Sebenarnya yang membuat pesona bahasa Indonesia ini menjadi pudar bukan semata UN. Memang UN menjadikan cara dan sistem pendidikan ini kehilangan identitas dan jati diri bangsa Indonesia. Karena UN lebih menekankan kuantitatif daripada kualitatif. Padahal pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu proses yang harus dialami atau dilakukan oleh siswa. Realitasnya pembelajaran bahasa Indonesia hanya mengerjakan soal-soal dalam buku latihan kerja siswa (LKS), latih soal-soal dalam buku paket dan soal-soal try out sebagai persiapan UN. Itu semua sangat membosankan bagi siswa, sehingga “terpaksa” harus dipelajari. Kalau orang melakukan sesuatu dengan terpaksa, alhasilnya pun tidak memuaskan dan sempurna. Guru dan siswa mau mengembangkan pembelajaran seperti yang dianjurkan sang editor. Hanya kita akan merasa kasihan melihat hasil UN siswa akan lebih buruk lagi dan tentu mematikan semangat mereka.
Di sisi lain, orang tua dalam keluarga menanamkan konsep yang keliru pada anak-anaknya. Anak-anak sejak kecil sudah “dipaksakan” belajar bahasa Inggris, Mandarin dan sebagainya lewat kursus, les privat atau bimbingan belajar. Sekolah pun memperlihatkan bahwa ada gradasi pembelajaran bahasa Indonesia dan Inggris. Sarana penunjang bahasa Inggris disiapkan sementara bahasa Indonesia tergantung dari kreativitas gurunya. Belum lagi anak menyaksikan di lingkungan masyarakat. Lewat televisi mereka mendengarkan contoh omongan sang figur dan tokoh-tokoh yang bergaya keinggris-inggrisan. Mereka juga membaca tulisan di media massa dan di tempat-tempat umum yang cenderung menggunakan bahasa Inggris. Semuanya menjadi tekanan dan tuntutan bagi siswa di zaman modern dan global ini. Akhirnya mereka mengikuti gaya dan trend zaman itu. Mereka berguru dari kita penutur bahasa Indonesia ini.
Perlu Arif, Konsisten, dan Telandan
Gaya, trend, dan kecenderungan siswa itu hendaknya diterima dan dipahami. Bukannya kita cepat mencap yang negatif dan mengadili mereka. Yang sudah salah dipersalahkan lagi akan menjadi fatal. Secara arif kita mendamping dan membina mereka dalam proses penyadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ini memerlukan waktu yang lama bukan dikarbit.
Dalam berbahasa Indonesia kita harus konsisten. Artinya kita berpedoman pada kaidah yang sudah ada seperti Ejaan Yang Disempurnakan, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia dan sebagainya. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus dikemas secara menarik dan menyenangkan sehingga lebih hidup, dinamis dan penuh kejutan. Itulah menjadi harapan kita semua. Jika pembelajaran demikian dengan menekankan empat ranah, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, penilaiannya pun dilakukan secara integral dan komperhensif. Penilaian bukan membuat siswa merasa cemas dan takut karena menekankan aspek kognitif semata. Penilaian dilakukan sesuai dengan model pembelajaran seperti yang sudah digariskan dalam kurikulum tingkat satuan pelajaran. Siswa diharapkan memiliki kompetensi bukan nilai (angka-angka). Maka model UN perlu ditinjau kembali atau bahkan ditiadakan saja.
Di samping arif, dan konsisten, siswa memerlukan suatu teladan dalam berbahasa. Ini bukan semata tugas guru bahasa Indonesia. Semua guru wajib memberi teladan berbahasa yang baik dan benar. Begitu juga orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, media massa, buku-buku yang diterbitkan mempunyai andil yang besar untuk memberikan teladan dalam berbahasa.
Kiranya kekecewaan dan keprihatinan sang editor ini tidaklah berlarut-larut. Kita semua masih sayang dan cinta pada Bahasa Indonesia. Kita juga prihatin melihat nasibnya yang malang. Tugas dan tanggung jawab kita semua dalam mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia kepada generasi penerus bangsa ini. Mereka harus didampingi dan dibina agar menghargai dan menghormati bahasanya sendiri. Di tengah kompetisi modern dan global siswa kita tidak merasa inferior, tetapi merasa bangga dan percaya diri. Bahwa bahasa Indonesia menjadi identitas diri dan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Dengan demikian, kita diharapkan lebih giat dan proaktif dalam membina dan membiasakan siswa untuk belajar bahasa dan sastra Indonesia yang baik dan benar, sehingga Bahasa Indonesia jangan sampai pudar oleh ulah kita sendiri. Semoga.

Br. Gerardus Weruin, MTB guru SMA Santo Paulus

3 komentar:

Elora mengatakan...

Bruder ini ELORA,, baguss bgd bruder tulisan na...ehhehehe..
sukses bt bruder

Weruin Stephanus mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Weruin Stephanus mengatakan...

makasih ya Anda telah melihat dan membacanya.
salam