Jumat, 22 Januari 2010

UN Meningkatkan Mutu Pendidikan?

Harap-harap cemas, takut, pesimis itulah perasaan peserta didik dalam menanti hasil ujian nasional (UN). Bukan hanya peserta didik saja, tetapi para guru, kepala sekolah, orang tua murid, dan pihak yang terkait (stakeholder) pun merasakan yang sama. Perasaan ini karena hasil UN sangat berpengaruh untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, seperti dari SD ke SMP, SMA dan perguruan tinggi. Hasil UN juga menjadi tolak ukur kinerja para guru dan kepala sekolah. Sumber daya guru dan kepala sekolah menjadi pertaruhannya, sedangkan sekolah mendudukan prestasi UN sebagai ajang pertarungan reputasinya di mata masyarakat dan pemangku kepentingan (dinas pendidikan dan pemerintah daerah). Selain itu, hasil UN menjadi indikator mutu pendidikan sekolah-sekolah di tanah air kita.

Namun, pernahkah kita berintrospeksi atas eksistensi UN? Jika UN tetap dipertahankan, kita akan bertanya-tanya ke manakah arah pendidikan di tanah air ini? Umpan balik dari UN selama ini tidak memberikan kontribusi yang handal, cerah ke arah peningkatan mutu pendidikan yang signifikan dan komprehensif. Bahkan justru UN mematikan roh pendidikan kita. Tidak sedikit dampak negatif yang dialami dalam pendidikan. Dalam realitas, UN hanya mengaburkan proses pembelajaran, peserta didik, dan pendidik itu sendiri.


Dalam Proses Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran peserta didik hanya menjalani latihan soal. Selama di kelas terakhir peserta didik dibekali dengan prediksi, bayangan soal-soal, cara cepat dan tepat dalam menjawab. Tidak cukup waktu di dalam kelas, peserta didik harus mengikuti bimbingan belajar baik di sekolah maupun luar sekolah. Selain itu, ada juga peserta didik mengikuti les privat. Setelah menempuh cara-cara belajar yang demikian itu, peserta didik mengikuti try out. Bahkan try out diadakan beberapa kali. Alhasil, bukannya meningkat malah semakin menurun, hanya beberapa peserta didik yang siap.

Proses pembelajaran lebih berkonsenrasi dan berorientasi pada UN. Pembelajaran dikondisikan bergaya instant, karbit, tanpa cara berpikir yang benar, dan nilai-nilai hidup. Cara ini menciptakan peserta didik untuk bersikap curang. Bahkan guru, kepala sekolah dan pihak terkait pun ikut curang. Demi mencapai target angka lulus kita mendengar ada yang menyontek, boncoran jawaban, dan sikap tidak jujur pun tetap ditempuh. Pelaksanaannya hanya mendatangkan ‘sakit’ bagi peserta didik dan guru. Secara fisik peserta didik mulai sakit seperti flu, demam dan pusing. Secara psikis siswa dan guru pun merasa takut, grogi dan stres. Sangat disayangkan, peserta didik dalam proses pembelajaran sampai dengan evaluasi harus ‘menderita’ baik fisik maupun psikis. Inikah cara kita meningkatkan mutu pendidikan?
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mengisyaratkan model pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran berpusat pada peserta didik. Pendidik sebagai fasilitator dan motivator, sehingga peserta didik menjadi inisiatif, aktif, kreatif, dan inovatif. Maka proses pembelajaran dan penilaian harus integral. Model penilaian harus bertolak dari proses pembelajaran. Jika proses pembelajaran dengan fasilitas, sarana prasarana yang sangat terbatas di setiap daerah, SDM guru yang berbeda, kemampuan peserta didik yang heterogen, kita perlu berpikir lagi tentang UN. Karena UN hanya menetapkan standar nilai yang harus dicapai siswa. Apalagi soal-soal UN sangat terbatas (limitative), sehingga tidak terakomodasi kemampuan peserta didik yang komperhensif. Bahkan UN kurang adil karena membuat dikotomi terhadap mata pelajaran yang dipelajari peserta didik. Ada sejumlah mata pelajaran, tetapi yang diujikan hanya beberapa saja. Maka sebenarnya UN mengabaikan disparitas kondisi di tiap daerah. Standar bukan soal nilai-angka kelulusan melainkan fasilitas, sarana prasarana dan SDM guru-guru yang berkualitas.

Dalam kelas pendidik tidak lagi mengikuti rambu-rambu dalam KTSP. Semuanya itu karena tuntutan UN lain. Demi UN, pendidik melaksanakan pembelajaran dengan model latihan dan membahas soal-soal baik dari buku teks, LKS ataupun soal-soal UN yang silam. Bahkan pembelajaran hanya terfokus pada kisi-kisi materi UN. Tidak heran pembelajaran sangat monoton dan membosankan peserta didik. Bentuk pembelajaran seperti itu hanya menurunkan kredibilitas pendidik, sehingga peran ini ‘tergantikan’. Masyarakat mulai membuka praktik ‘bimbingan belajar’ bagi peserta didik untuk menghadapi UN. Bahkan peserta didik lebih mengandalkan bimbingan belajar daripada pembelajaran di dalam kelas lagi.
Di sisi lain, kredibilitas pendidik semakin diragukan manakalah pemerintah melibatkan pihak-pihak lain untuk mengawas-memantau pendidik dalam pelaksanaan UN. Pihak pemantau independen dari perguruan tinggi, kepolisian, dinas pendidikan secara bersama mulai memantau kerja pendidik dalam UN. Akibatnya pendidik pun menjadi takut, grogi dan tidak bebas lagi dalam bertugas. Hasil pekerjaan siswa tidak dikoreksi guru, tetapi dengan scan. Walaupun canggih dan baik harus diakui scan tetap ada kekurangannya. Dan hasilnya tidak pernah dikembalikan kepada siswa atau guru. Mereka hanya mendapat nilainya di atas kertas. Apa motif semuanya ini? Yang jelas pendidik sudah mulai kehilangan akan wibawa dan kredibilitasnya. Jika sistem pendidikan dan pengajaran kita seperti ini, benarkah UN itu meningkatkan mutu pendidikan? Realitas pembelajaran di sekolah dan sistem pendidikan yang berlaku sangat kontradiksi. Pendidikan kita tidak lagi konsisten dan komitme dalam pembelajaran dan penilaian, bagaimana mungkin UN menjadi tolak ukur mutu pendidikan?

Dampak bagi Sekolah

UN memberi dampak bagi sekolah secara positif dan negatif. Jika persentase kelulusan UN mencapai 100%, sekolah tersebut dinilai bermutu. Reputasinya baik dan dipercayai masyarakat. Orang tua akan antean mendaftarkan anaknya. Sekolah tersebut akan mendapat peserta didik yang terselesksi (bibit unggul). Sebaliknya, jika persentase kelulusan tidak mencapai 100% sudah jelas sekolah itu tidak bermutu. Masyarakat kurang percaya lagi pada sekolah tersebut. Maka orang tua pun ragu-ragu menyekolahkan anaknya. Apalagi dalam pelaksanakan UN terendus sekolah itu curang (tidak jujur) kepala sekolah siap diganti atau pindah dan sebagainya.
Benarkah mutu pendidikan sekolah hanya diukur dengan hasil UN? Masih banyak unsur yang harus dicermati lagi. Aspek kemampuan peserta didiknya, keprofesionalan pendidik, penerapan kurikulum dan model pembelajaran, sarana dan prasaran pendukung, dana dan sebagainya perlu ditinjau lagi. Pendidikan tidak mengejar target nilai atau angka yang distandarkan supaya lulus, tetapi membantu peserta didik dalam kehidupannya. Non schole set vite dicimus. Itulah tugas esensial pendidikan di sekolah. Sebab kalau tidak disiapkan dengan baik, peserta didik tidak mampu bersaing yang pada akhirnya menambah pengangguran dalam masyarakat. Selain itu, peserta didik akan kehilangan identitas dirinya, budaya bangsanya karena nilai-nilai kemanusiaannya terabaikan.

Perbaiki Mutu Pendidikan

Usaha memperbaiki mutu pendidikan di tanah air ini bukan semata-mata dengan mengadakan UN. Usaha itu sangat tidak substansial. Yang patut diperhatikan bersama, yakni kita harus konsisten dan komitmen antara kurikulum, kebijakan, dan sistem pendidikan. Jika tetap rancu dan ambivalen, pendidikan kita tetap terpuruk dan tidak mampu bersaing dalam percaturan global dan modern ini.
Untuk itu, perlu revitalisasi dan restrukturisasi UN dalam pendidikan kita. Pelaksanaan UN harus ditinjau kembali. Selain itu, perlu adanya perubahan paradigma bahwa UN bukanlah cermin mutu pendidikan. Bebaskan UN dari berbagai kepentingan dalam pendidikan. Karena UN tidak ‘adil’, ia telah mengikis nilai-nilai pendidikan bagi peserta didik. Untuk memperbaiki mutu pendidikan, konsentrasi dan orientasi kita bukan pada UN, tetapi lebih pada pendidik, fasilitas, sarana dan prasarana serta dana yang memadai.

Perhatian berikutnya, yaitu pendidik. Karena guru merupakan garda terdepan pendidikan formal. Kita mempunyai kurikulum yang bagus, sarana dan prasarana yang lengkap, dana yang cukup, tetapi pendidik tidak profesional tetap nihil. Kita membutuhkan figur pendidik bukan hanya profesional, tetapi mempunyai hati untuk mendidik dan mengajar. Maka perlu pemberdayaan sang guru dalam tugas pendidikan dan pengajaran. Pengembangan diri sang guru menjadi profesional, sehingga menjadi kritis, kreatif, inovatif, dan kompatibel menghadapi tantangan zaman ini. Selain itu, guru juga dibekali dengan nilai-nilai hidup, sehingga ditularkan kepada peserta didiknya. Dalam bertugas, guru harus otonomi tanpa intimidasi dari berbagai pihak demi kepentingan tertentu.

Akhir kata, perlu ada perubahan paradigma tentang UN. UN bukan untuk menentukan mutu pendidikan, tetapi lebih sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, hadirnya UN bukan menakutkan semua pihak. Peserta didik, guru, sekolah, masyarakat, dinas pendidikan, pemerintah tidak lagi terbeban dengan UN. Semua pihak dengan tenang dan senang hati menjalani UN. Praktik-praktik kecurangan dan intimidasi antarberbagai pihak tidak terjadi lagi. Di samping itu, sistem dan kebijakan pemerintah harus konsisten dengan kurikulum, sarana prasarana, pendidik, peserta didik, dan dana yang diperlukan. Dengan memperhatikan semua aspek tersebut, pelaksanaan UN akan memotivasi dan memacu semua daerah untuk berkompetisi secara sehat, sehingga mendapat gambaran perkembangan pendidikan di tanah air ini. Semoga.

Gerardus Weruin, MTB SMA Santo Paulus.


Tidak ada komentar: