Senin, 20 April 2009

Guru Itu Panggilan

Menjadi guru itu suatu panggilan. Bahkan dalam iman Kristiani, guru itu panggilan dari Tuhan sendiri. Guru dipanggil untuk mengembangkan anak menjadi pribadi yang utuh. Selain itu, guru juga dapat membawa pembebasan bagi tawanan, penglihatan bagi orang buta khususnya bagi anak didik. Hansen dalam bukunya Call to teach mengemukakan bahwa tugas guru merupakan panggilan seperti dokter dan perawat. Guru membantu anak untuk mengembangkan diri dan menemukan kebahagiaan sehingga pada akhirnya dia pun merasa bahagia. Demikianlah motivasi, hiburan dan peneguhan dari Rm. Paul Suparno, SJ bagi guru karyawan SMA Santo Paulus, Pontianak dalam workshop di ruang Multimedia (31 Oktober- 1 November 2008). Workshop tersebut merupakan rangkaian kegiatan dalam merayakan hari ulang tahunnya yang ke-45 (lustrum IX). Adapun tema perayaan tersebut, yakni SMA Santo Paulus eksis, dinamis, kualitas dan favorit di Pontianak, Kalimantan Barat.
Dalam acara tersebut, Rm. Paul mengajak guru dan karyawan berefleksi bahwa menjadi guru tidak sekadar profesi, tetapi panggilan. Guru dipanggil untuk membantu siswa supaya menjadi cerdas dan baik. Guru membantu siswa menjadi manusia yang utuh dan sempurna (holistik). Guru tidak mengikuti arus zaman sekarang yang hanya mendewakan kognitif sehingga aspek emosi, estetika, sosial, religius dan moral terabaikan bahkan kurang mendapat perhatian lagi. Tugas guru membantu siswa supaya mengetahui yang baik dan tidak, dan pada akhirnya dapat mengambil keputusan secara benar. Rm. Paul menantang para guru karyawan bahwa kalau ternyata dalam membantu siswa guru karyawan tidak merasa bahagia, damai, merasa berarti itu bukanlah panggilan. Bapak Ibu guru mungkin salah alamat, lebih baik berhenti sebelum terlambat karena guru tidak akan menjadi jutawan atau milioner.
Zaman sekarang banyak persoalan dalam pendidikan. Untuk menjadi pendidik yang baik, guru harus memiliki cinta. Cinta membuat guru tidak cepat marah, putus asa, mengeluh dan mandek. Cinta memberikan semangat berjuang, mau berkorban demi anak, dan merasa empati kepada anak. Dengan cinta guru rela diganggu, direpoti anak, seperti Yesus mencintai anak-anak … “Biarlah anak-anak datang kepadaKu jangan menghalangi mereka”. Dengan cinta, guru dapat memprioritaskan perhatiannya kepada siswa yang lamban, bermasalah, kecil, tersingkir, sakit, dan menderita.
Cinta akan tugas dan profesi ini membuat guru akan terus maju dan berkembang. Banyak guru hanya mengeluh dan terus mengeluh; mengajar sejak dulu sama saja, tidak kreatif. Guru bukanlah tukang, tetapi dia seorang intelektual yang kreatif dan inovatif. Maka guru dituntut supaya terus belajar mengembangkan diri. Dengan demikian guru diharapkan terus belajar berpikir kritis, bebas, rational, mengembangkan angan-angan, berimajinasi, berani bertindak dan bertanggung jawab, memperjuangkan keadilan dan kebenaran serta selalu refleksi atas tugas pelayanannya.
Selain itu, guru juga harus proaktif, inisiatif, berani bicara dan mengungkapkan gagasan, membangun kerja sama dengan sesama guru, siswa serta dapat berelasi dengan kepala sekolah, yayasan, diknas dan orang tua. Ada beberapa guru masih suka main otoriter, diktator dan memaksakan kehendaknya. Zaman ini sudah demokrastis maka pendidikan pun harus menyesuaikannya. Kebebasan lebih mengembangkan anak menjadi pribadi yang jujur dan tidak bertopeng. Guru perlu membebaskan siswa, mengembangkan talenta yang dimiliki siswa dan mencintai semuai siswa walaupun ada ilalang dan gandum. Dengan menyadari guru sebagai suatu panggilan dari Tuhan, guru diharapkan membantu dan mengantar siswa untuk mengenal Tuhan secara pribadi.
Setelah berefleksi dan sharing, acara itu ditutup dengan Ekaristi. Kemudian dilanjutkan dengan foto bersama dan ramah tamah sederhana bersama. Selamat berulang tahun ke-45 semoga SMA Santo Paulus tetap eksis, dinamis, kualitas dan favorit di Pontianak, Kalimantan Barat.


Br. Gerardus weruin, MTB (sudah dimuat di Majalah HIDUP).

Tidak ada komentar: