Jumat, 28 Agustus 2009

Menjadi Penulis Buku Ajar

Hanya orang sibuk yang mempunyai waktu. Demikian kata dosen UKDW, Yogyakarta Budi Sutedjo Dharma Oetomo, S.Kom., MM dalam memotivasi para guru di SMA Santo Paulus, Pontianak untuk menulis buku ajar(22/1 2009). Lanjutnya, mengutip dari pesan penerbit Kanisius ... dengan membaca kita jadi tahu, dengan bicara kita jadi siap, dan dengan MENULIS kita jadi PENELITI. Menjadi penulis bukan bakat. Bakat itu terlihat setelah orang menghasilkan suatu karya. Menulis tidak sulit. Asal kita mau dan berusaha tentu akan bisa. Kita boleh saja menggunakan tips ATIM (amati lalu tiru dan akhirnya modifikasi). Jika kita sering menulis, lama-kelamaan menjadikan kita sebagai peneliti. Karena kita mendapat kesempatan belajar berkomunikasi, berpikir secara holistik, mengembangkan keterampilan teknis-nonteknis dan akhirnya dapat meneliti. Selain itu, dengan menulis kita mendapat kesempatan untuk berafiliasi, mempraktikan profesional, membentuk opini sehingga melayani dan mempengaruhi lebih banyak orang.

Budi Sutedjo menantang para guru, benarkah menulis buku ajar itu sulit? Menurut dosen UKDW ini bahwa menulis bagaikan orang bicara. Kesulitan itu seperti siswa baru yang belajar bahasa Inggris, hanya karena takut salah merangkaikan kata dan mengucapkannya. Kalau siswanya berani mencoba, berani memulai dan berani ... tentu akan bisa! Untuk mengatasi rasa takut itu, orang harus diberi tekanan. Dengan tekanan orang akan berusaha mewujudkannya.

Sebagai motivator dalam menulis buku ajar, Budi menjumpai hambatan yang disampaikan calon penulis. Hambatan itu dipetakan ada tiga, saat memulai, sedang menulis dan penyelsaian. Dikatakan, hambatan saat memulai menulis seperti tidak berbakat, sulit berpikir sistematis dan sederhana, sulit menyusun materi yang menarik, ada perasaan takut dan sia-sia, belum pengalaman, tidak punya waktu dan sudah banyak yang menulis buku itu. Pada tahap sedang menulis seperti pilihan kata, bahasa terbatas, peluncuran ide terhambat, tidak dapat mengejar target waktu, waktu dirampok TV, teman, acara, rapat bertele-tele, hoby dan lingkungan tidak mendukung. Pada tahap selesai hambatannya seperti ada rasa tidak puas, rasa puas yang tertunda, frustrasi banyak salah ketik, masih banyak yang mau ditambahkan dan disempurnakan. Sang penulis buku ajar untuk SMP dan SMA ini mengharapkan agar Bapak Ibu guru hendaknya memandang hambatan tersebagai ”hukuman” yang harus diselesaikan. Hambatan juga berarti dapat memurnikan tujuan, motivasi, semangat dan kemauan sang penulis. Ketika orang diberi tekanan maka ada daya tahan dan berjuang. Tips-tips untuk menulis : kaya infomarsi (baca, gaul, dengar), peka terhadap perkembangan, mampu pertimbangkan informasi yang ada, melihat gerakan pembaca, mampu menganalisis, mampu memilah/menggolongkan, dan menarik kesimpulan.

Tips-tips menulis buku ajar : tulis materi secara sederhana. Materi itu didukung oleh ide-ide dengan menyajikan contoh-contoh praktis, latihan secara bertahap, tips informasi, rangkuman, praktikum dan soal-soal evaulasi. Sederhanakan alur pemikiran dalam pilihan kata karena pembaca ingin segera menentukan pikiran utama. Jangan takut menerima masukan orang lain karena sulit bagi penulis secra objektif dan kritis menilai hasil karyanya. Jangan menerima pujian lebih dahulu sebelum mendapat koreksi. Jangan lupa gaya sesuai dengan sasaran pembaca.

Menulis buku ajar bagi guru itu mudah. Karena hanya merangkum apa yang diajarkan, kecuali ia tidak menguasai apa yang diajarkan. Maka menulis itu perlu keuletan supaya kelak menjadi kupu-kupu yang indah. Selama menempuh perjuangan dan derita menjadi penulis bangkitkan semangat terus dengan mengingat manfaatnya. Jangan menunda karena tenggang waktu sangat sempit. Bebaskan diri untuk berkreasi, jangan terjerat oleh contoh atau aturan baku. Dengan terus menulis menjadikan guru terus-menerus refleksi akan proses pembelajaran sehingga ada perubahan yang positif terhadap siswa. Selain itu, membantu guru menentukan metode pembelajaran yang beragam sehingga menyenangkan siswa dalam belajar.
Sementara Jessica Christie, mahasiswa yang juga motivator dan nara sumber penulisan buku ajar mengsharekan pengalamannya meneliti siswa dalam belajar. Siswa mengungkapkan bahwa mereka dalam belajar dibebani banyak tugas dan latihan. Guru kurang memahami dan mengerti bagaimana mungkin siwa harus mengerjakan tugas dan latihan dari sejumlah mata pelajaran? Mereka stres dan frustrasi belajar sungguh menjadi beban. Ini bermuara pada teror mental siswa. Siswa menghendaki supaya latihan, tugas, soal tes harus sesuai dengan kemampuan dan memberikan semangat untuk mengerjakan.

Guru sebaiknya memperhatikan materi secara sistematis, runtut, dan disertai contoh yang banyak. Cara mengajarnya sebaiknya cerama yang menarik (entertaiment), bahasa yang digunakan mudah dipahami, memeberi bantu loncatan untuk pemahaman materi, dan jangan berbasis tugas. Antara teori dan praktik harus berkaitan erat dengan materi, disampaikan step by step dalam pengoperasian alat, para siswa jangan dianggap sudah bisa. Selain itu, secara finansial agar hemat, pengeluaran terkendali, dan mendapat informasi gratis. Secara teknis, agar siswa cepat mempelajari materi, melakukan pengutipan, dan fleksibel ( konsultasi, tugar hasil kerja kelompok, pengumpulan tugas via email, mendapatkan materi pelajaran kapan dan di mana saja).

Dalam pembelajaran siswa pun mengalami kesulitan. Jika guru menggunakan IT (informasi teknologi), siswa bagaikan robot. Tatap muka siswa dengan guru menjadi kurang, hilang kebijaksanaan guru, dan pemberian tugas materi cenderung copy flash to flash. Keterampilan IT siswa tidak merata, karakteristik komputer siswa tidak semuanya sama bahkan ada yang tidak punya, lemah dalam bahasa Inggris, dan kesulitan membaca cepat. Pembelajaran IT membentuk mental tidak mau susah (hanya copy paste), malas, dan siswa masih memilih guru yang ’keren’ dan ’beken’. Kesulitan secara finansial, yakni biaya pembelian komputer dan biaya hubungan internet. Selain itu, terdapat perbedaan pandangan bahwa siswa ingin menikmati kehidupan sementara informasi dan ilmu pengetahuan melaju tiada hentinya, siswa mau menikmati pergaulan sedangkan guru memberikan banyak tugas. Dengan demikian, dalam hal teknis tidak jarang slide materi dan teknik penyampaian membosankan. Materi hanya berupa teks, kurang ada visualisasi dalam bentuk animasi atau film. Pembelajaran yang berbasis pustaka, teknologi informasi terasa kaku dibandingkan dengan tugas lapangan.
Dalam pembelajaran siswa berharap TI tidak sekadar menggunakan komputer, tetapi model pendidikan dapat dilakukan lebih menarik dengan mengoptimalkan fasilitas multimedia. Guru dan siswa hubungannya tidak sekadar seperti robot. Meskipun menggunakan TI, para guru harus tetap memiliki hati dan kebijaksanaan. Materi yang didownload hendaknya berukuran kecil, sehingga dapat didownload di rumah. Guru cepat merespon email saat siswa konsultasi. Web sekolah memiliki tampilan yang menarik dan cepat dibuka.

Menciptakan keunggulan dan menyusun buku ajar
Dalam menciptakan keunggulan, penulis harus memperhatikan paparan materi dan dinamika. Secara umum paparan materi harus sistematis (alur pembahasan berurutan dan mengalir) bahasa dan penggunaan istilah yang mudah dipahami, dan contoh-contoh yang sesuai dan mudah dicerna sehingga mendukung pemahaman. Buku ajar memiliki dinamika sehingga mendukun siswa memahami, mengingat dan menerapkan materi. Usaha dinamika dapat menyentuh seluruh aspek, yakni indra, pikiran, dan perasaan siswa seperti : paparan materi, informasi, praktik, tugas, diskusi, kegiatan (pengamatan, analisis, pembuatan kesimpulan) ringkasan pelajaran, dan soal. Sistematika buku ajar disusun dengan memperhatikan kompetensi yang akan ditumbuhkan (lihat SK dan KD). Jabarkan kompetensi itu dalam materi ajar, contoh menguraikan pokok-pokok pikiran dan akhirnya uraikan itu dalam bentuk paragraf.

Pengeritan, Kegunaan dan penilaian Tes atau Soal

Tes ialah suatu pertanyaan atau tugas atau seperangkat tugas yang direncakan untuk memperoleh informasi tentang atribut pendidikan atau psikologik yang setiap butir pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar. Setiap tes menuntut keharusan adanya respon dari orang yang dites yang dapat disimpulkan sebagai suatu atribut pendidikan yang dimiliki oleh orang lyang dites yang sedang dicari informasinya. Tes dapat dikelompokan ada uraian (terbatas jawban singkat, melengkapi; bebas sederhana dan ekspresif) dan pilihan (benar-salah, menjodohkan, pilihan ganda: biasa, analisis kasus, kompleks, membaca diagram). Pengukuran diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal atau objek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas seperti : mengukur tinggi, berat, suhu, pendengaran, penglihatan, kepekaan lebih kompleks, psikologik, kecerdasan, kematngan berpikir, kepribadian yang dewasa sangat kompleks. Pengukuran terhadap siswa dapat dilakukan dengan atribut atau karakteristik siswa, bukan siswa itu sendiri. Tidak jarang terjadi siswa yang mendapat nilai-nilai rata-rata, ternyata kelak ia menjadi manajer, sedangkan yang nilainya tinggi justru menjadi karyawan. Perlu kita sadari bahwa pengukuran terhadap siwa berdasarkan atribut atau karekteristik berarti hanya mengukur sebagian dari seluruh potensi, talenta dan diri siswa tersebut. Gunakanlah angka atau skala dan aturan atau formula tertentu. Misalnya skala nominal : benar = 1, salah = 0; skala ordinal : menunjukkan urutan tanpa memperhatikan jarak antara urutan tersebut, misalnya ranking 1 tidak berarti dua kali lebih pandai dari ranking 2; skala interval angka yang menunjukkan jarak yang sama dari angka yang berurutan, misalnya 1 ke 2, sama jaraknya dengan 3 ke 4; skala rasio (pandangan), misalnya rumah A ke SMA 2 km, rumah B ke SMA 4 km, jadi jarak rumah A hanya ½ dari jarak rumah B ke SMA.

Kegunaan tes, pengukuran dan penilaian untuk seleksi, penempatan, diagnosis kekuatan dan kelemahan, umpan balik, memotivasi dan membimbing belajar, memperbaiki kurikulum dan program pendidikan, dn pengembangan ilmu atau metodologi. Adapun etika tes sebagai berikut. Tes menggambarkan rahasia pribadi siswa, sehingga perlu dijaga dan dihormati pribadi siswa; jangan menciptakan suasana kecemasan yang berlebihan, karena tes itu sendiri memiliki daya yang menimbulkan rasa cemas; tidak jarang tes justru menghukum siswa yang kreatif, karena tidak memberi ruang jawaban yang mengandung gagasan atau pola berpikir yang kreatif; tes selalu terikat pada ”budaya” penyusun tes, sehingga tidak jarang siswa gagal karena berbeda budaya. Tes hanya mengukur sebagian dari keutuhan pribadi siswa. Untuk itu, hindarilah pola penilaian yang bergerak, cap terhadap siswa, karena hal itu dapat membentuk apriori penilaian. Penilaian memiliki potensi kesalahan dalam menginterpretasi hasil tes.

Pelaksanaan tes hendaknya diberitahukan, termasuk kisi-kisinya. Guru harus menjelaskan cara menjawab yang dituntut dalam tes. Guru perlu memotivasi peserta tes, jangan menciptakan ketakutan. Jumlah soal harus berbanding dengan jumlah waktu yang diberikan kepada siswa untuk menjawab. Guru harus memperhatikan distribusi tingkat kesukaran soal seperti perbendaharaan kata yang dimiliki siswa (tingkat bacaan), tingkat keterampilan untuk menguraikan masalah dan mencari solusi (jam berlatih), banyak materi yang harus dihafalkan (daya ingat), pola kalimat yang memiliki siasat logika perpikir, lompatan dari metode mengajra ”memberitahu” ke metode menjawab ”analisis atau ”terapan” dan tujuannya bergeser dari menilai penguasaan materi menjadi tes mental. Tingkat kesukaran harus berimbang untuk memotivasi siswa dalam belajar. Untuk itu, guru harus menyusun kisi-kisi tes dengan memperhatikan proses berpikir : ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Tidak ada komentar: